Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Dibanding sebelumnya, Pemilu kali ini cukup membukakan gerbang oase politik perempuan. Tinggal bagaimana sepak terjang perempuan dalam memanfaatkan peran dan peluang tersebut. Jangan sampai perempuan—lagi-lagi—hanya dijadikan bulanan-bulanan oleh laki-laki. Konsekuensinya, quota 30 persen di legislatif yang dijanjikan dalam UU No. 12/2003 harus dapat menuntut adanya kesadaran partai-partai politik untuk memberikan hak politik kepada para pendukungnya yang perempuan.
Dan yang harus diperhatikan pasca perebutan kursi legislatif di Pemilu nanti adalah tatakala perempuan telah duduk di kursi legislatif. Jangan sampai keberadaan mereka hanyalah artifisial belaka. Makanya, harus difungsikan semaksimal mungkin agar tidak melenceng dari mainstream perjuangan perempuan.
Sebagai laki-laki, saya sangat membanggakan peran politik perempuan pada Pemilu 1999 dan 2004, yang sontak melesat jauh dibanding era-era sebelumnya. Semisal pada era demokrsi terpimpin, dari 10 parpol konstestan Pemilu hanya seorang perempuan yang menjabat di posisi ketua umum, yakni Hj. Ratu Aminah Hidayat sebagai pimipinan parpol IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Setelah itu tak seorang pun perempuan yang menduduki jabatan ketua umum atau sekjen parpol selama hampir 30 tahun-an.
Sekarang, mereka bukan sekedar menjadi caleg (calon legislatif), tapi mereka juga menempati jabatan nomor wahid di jajaran partai politik. Misalnya, Megawati Soekarno Putri (Presiden dan ketua PDI-P), Sukmawati Soekarno Putri (ketua PNI), Rachmawati Soekarno Putri (ketua pelopor), dan Hardiyanti Rukmana (capres). Jika kita lebih teliti dan cermat dalam menganalisa nama-nama tersebut, mengapa figur-figur perempuan yang muncul masih ada sangkut pautnya dengan orde-orde yang dulu pernah berkuasa? Realitas inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.
Bagi penulis, sosok perempuan Indonesia yang muncul di posisi “atas” saat pemilu 2004 bukan—sepenuhya—akibat kapabilitas dirinya sendiri. Tapi ada faktor lain, yaitu faktor geneologis. Sebut saja nama Megawati, Rachmawati, dan Sukkmawati bisa langsung melejit dan mendapatkan dukungan yang tidak sedikit, tak lain karena dompleng ke bokapnya, Soekarno. Selain itu, ada juga nama Siti Hardiyanti Rukmana yang—bisa jadi—menjadi rival kuat Mega di Pemilu mendatang, juga tak lain akibat ketiban pulung dari bapaknya, Soeharto.
Realitas politik perempuan Indonesia memang terlihat begini adanya. Jika memang benar, maka perempuan masih belum bisa membongkar kospirasi rezim laki-laki, sebab popularitas perempuan Indonesia masih mengekor pada Bapaknya (baca: laki-laki). Dengan kata lain, perempuan belum bisa mandiri.
Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud merendahkan perempuan, akan tetapi mencoba untuk memberikan sketsa dan ilustrasi tentang masyarakat kita yang belum sadar dan melek politik, khususnya kalangan akar rumput (grass root). Mereka lebih sering terjebak dengan mitos-mitos yang—dulu pernah—mapan.
Misalnya, sosok Soekarno (Orla) akrab dengan mitos Ratu Adil, Soeharto (Orba) terkenal dengan mitos Bapak Pembangunan, Habibie lengket dengan Kemajuan Teknologi, Gus Dur masyhur dengan mitos Pemersatu Nasional, dan PDI-P kental dengan mitos Sang Korban.
Mitos-mitos yang dikonstruk penguasa itu tidak bisa hilang dari mindset rakyat, bahkan terus (semakin) melekat. Sehingga, setelah lama ditinggal (baca: lengser) masih ada perasaan rindu dan mengelu-elukan figur yang dikultuskan. Anehnya, di Indonesia, keangkuhan mitos-mitos itu diwarisi oleh anak perempuan mantan penguasa. Sebagaimana yang telihat sekarang, popularitas nama Mega, Rahma, Sukma, Tutut—ternyata—dapat mengalahkan popularitas seudara-saudaranya yang cowok.
Jadi, tidak hanya budaya patriarki saja yang menjadi ganjalan perempuan. Mitos geneologis juga turut menghambat laju gerakan (politik) perempuan Indonesia. Kenapa demikian? Sebab, ada stigma yang berkembang di masyarakat, bahwa keunggulan kepemimpinan perempuan Indonesia menjadi bermakna jika dirinya dan arah perjuangannya telah dianggap sebagai bentuk personifikasi dari nilai-nilai kultural perjuangan Bapaknya. Dengan kata lain, pemimpin perempuan yang muncul merupakan bentuk reinkarnasi dari Bapaknya. Jadi, mitologisasi di Indonesia sudah menggurita dan benar adanya.
Lalu, pertanyaannya sekarang adalah figur perempuan manakah yang bisa mengalahkan popularitas dan kharismatik anak-anak perempuan mantan penguasa? Di sinilah—antara lain—letak kelemahan kesadaran politik rakyat Indonesia, yaitu terjangkit “mitologisasi”. Untuk bisa sembuh dari penyakit ini, rakyat harus diberikan obat penawar, yaitu demitologisasi (peniadaan mitos). Gagasan ini yang diharapkan bisa membukakan pintu gerbang kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu kultus individu dan mitos geneologis. Siapapun figurnya tak kan ada lagi embel-embel kecuali sesuatu yang terpancar dari dirinya sendiri.
Setidaknya, ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan untuk memuluskan proyek demitologisasi ini. Pertama, memberikan penyadaran kepada akar rumput tentang pentingnya pemahan sejarah secara proporsional dan fairness. Agar rakyat terbebas dari buta politik. Sebab, selama ini rakyat selalu menjadi “obyek” dari proyek hegemoni penguasa. Kedua, mengubah paradigma dan logika berfikir rakyat tentang faktor geneologis dalam pembentukan potensi atau kemampuan intelektualitas seseorang. Langkah ini diharapkan dapat meruntuhkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang terlalu menomorsatukan faktor geneologis. Kalau bapaknya orang pinter ya sudah barang tentu anaknya juga pinter. Dalil-dalil pembodohan inilah yang juga harus dibabat.
Ketiga, membumikan budaya kritis. Hal ini untuk mengikis budaya masyarakat Indonesia yang cenderung sami’na wa atho’na (baca: nurut dan manut). Kenapa? Agar terjalin dan terwujudnya kontrol masyarakat terhadap negara. Dengan demikian, kultus individu dan mitos geneologis lambat laun akan sirna dari mindset dan logika berfikir masyarakat Indonesia.
Tentunya, kita tidak menginginkan pemimpin yang cuma bisa mengandalkan kharismatik dirinya, apalagi kharismatik dari faktor geneologis. Pemimpin yang handal adalah pemimpin yang mandiri, berdedikasi tinggi, serta wawasan kerakyatan.
Jika perempuan Indonesia belum bisa mandiri, maka jangan berharap mampu memperjuangkan hak-haknya, meski memperoleh target 30 persen. Bisa jadi, perempuan-perempuan yang duduk di kursi legislatif hanya sebatas berperan sebagai pengumpul suara (vote gater) dan wayang yang dimainkan oleh dalang laki-laki. []
Sumber: Pelita, 23 Maret 2004.
Dibanding sebelumnya, Pemilu kali ini cukup membukakan gerbang oase politik perempuan. Tinggal bagaimana sepak terjang perempuan dalam memanfaatkan peran dan peluang tersebut. Jangan sampai perempuan—lagi-lagi—hanya dijadikan bulanan-bulanan oleh laki-laki. Konsekuensinya, quota 30 persen di legislatif yang dijanjikan dalam UU No. 12/2003 harus dapat menuntut adanya kesadaran partai-partai politik untuk memberikan hak politik kepada para pendukungnya yang perempuan.
Dan yang harus diperhatikan pasca perebutan kursi legislatif di Pemilu nanti adalah tatakala perempuan telah duduk di kursi legislatif. Jangan sampai keberadaan mereka hanyalah artifisial belaka. Makanya, harus difungsikan semaksimal mungkin agar tidak melenceng dari mainstream perjuangan perempuan.
Sebagai laki-laki, saya sangat membanggakan peran politik perempuan pada Pemilu 1999 dan 2004, yang sontak melesat jauh dibanding era-era sebelumnya. Semisal pada era demokrsi terpimpin, dari 10 parpol konstestan Pemilu hanya seorang perempuan yang menjabat di posisi ketua umum, yakni Hj. Ratu Aminah Hidayat sebagai pimipinan parpol IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Setelah itu tak seorang pun perempuan yang menduduki jabatan ketua umum atau sekjen parpol selama hampir 30 tahun-an.
Sekarang, mereka bukan sekedar menjadi caleg (calon legislatif), tapi mereka juga menempati jabatan nomor wahid di jajaran partai politik. Misalnya, Megawati Soekarno Putri (Presiden dan ketua PDI-P), Sukmawati Soekarno Putri (ketua PNI), Rachmawati Soekarno Putri (ketua pelopor), dan Hardiyanti Rukmana (capres). Jika kita lebih teliti dan cermat dalam menganalisa nama-nama tersebut, mengapa figur-figur perempuan yang muncul masih ada sangkut pautnya dengan orde-orde yang dulu pernah berkuasa? Realitas inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.
Bagi penulis, sosok perempuan Indonesia yang muncul di posisi “atas” saat pemilu 2004 bukan—sepenuhya—akibat kapabilitas dirinya sendiri. Tapi ada faktor lain, yaitu faktor geneologis. Sebut saja nama Megawati, Rachmawati, dan Sukkmawati bisa langsung melejit dan mendapatkan dukungan yang tidak sedikit, tak lain karena dompleng ke bokapnya, Soekarno. Selain itu, ada juga nama Siti Hardiyanti Rukmana yang—bisa jadi—menjadi rival kuat Mega di Pemilu mendatang, juga tak lain akibat ketiban pulung dari bapaknya, Soeharto.
Realitas politik perempuan Indonesia memang terlihat begini adanya. Jika memang benar, maka perempuan masih belum bisa membongkar kospirasi rezim laki-laki, sebab popularitas perempuan Indonesia masih mengekor pada Bapaknya (baca: laki-laki). Dengan kata lain, perempuan belum bisa mandiri.
Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud merendahkan perempuan, akan tetapi mencoba untuk memberikan sketsa dan ilustrasi tentang masyarakat kita yang belum sadar dan melek politik, khususnya kalangan akar rumput (grass root). Mereka lebih sering terjebak dengan mitos-mitos yang—dulu pernah—mapan.
Misalnya, sosok Soekarno (Orla) akrab dengan mitos Ratu Adil, Soeharto (Orba) terkenal dengan mitos Bapak Pembangunan, Habibie lengket dengan Kemajuan Teknologi, Gus Dur masyhur dengan mitos Pemersatu Nasional, dan PDI-P kental dengan mitos Sang Korban.
Mitos-mitos yang dikonstruk penguasa itu tidak bisa hilang dari mindset rakyat, bahkan terus (semakin) melekat. Sehingga, setelah lama ditinggal (baca: lengser) masih ada perasaan rindu dan mengelu-elukan figur yang dikultuskan. Anehnya, di Indonesia, keangkuhan mitos-mitos itu diwarisi oleh anak perempuan mantan penguasa. Sebagaimana yang telihat sekarang, popularitas nama Mega, Rahma, Sukma, Tutut—ternyata—dapat mengalahkan popularitas seudara-saudaranya yang cowok.
Jadi, tidak hanya budaya patriarki saja yang menjadi ganjalan perempuan. Mitos geneologis juga turut menghambat laju gerakan (politik) perempuan Indonesia. Kenapa demikian? Sebab, ada stigma yang berkembang di masyarakat, bahwa keunggulan kepemimpinan perempuan Indonesia menjadi bermakna jika dirinya dan arah perjuangannya telah dianggap sebagai bentuk personifikasi dari nilai-nilai kultural perjuangan Bapaknya. Dengan kata lain, pemimpin perempuan yang muncul merupakan bentuk reinkarnasi dari Bapaknya. Jadi, mitologisasi di Indonesia sudah menggurita dan benar adanya.
Lalu, pertanyaannya sekarang adalah figur perempuan manakah yang bisa mengalahkan popularitas dan kharismatik anak-anak perempuan mantan penguasa? Di sinilah—antara lain—letak kelemahan kesadaran politik rakyat Indonesia, yaitu terjangkit “mitologisasi”. Untuk bisa sembuh dari penyakit ini, rakyat harus diberikan obat penawar, yaitu demitologisasi (peniadaan mitos). Gagasan ini yang diharapkan bisa membukakan pintu gerbang kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu kultus individu dan mitos geneologis. Siapapun figurnya tak kan ada lagi embel-embel kecuali sesuatu yang terpancar dari dirinya sendiri.
Setidaknya, ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan untuk memuluskan proyek demitologisasi ini. Pertama, memberikan penyadaran kepada akar rumput tentang pentingnya pemahan sejarah secara proporsional dan fairness. Agar rakyat terbebas dari buta politik. Sebab, selama ini rakyat selalu menjadi “obyek” dari proyek hegemoni penguasa. Kedua, mengubah paradigma dan logika berfikir rakyat tentang faktor geneologis dalam pembentukan potensi atau kemampuan intelektualitas seseorang. Langkah ini diharapkan dapat meruntuhkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang terlalu menomorsatukan faktor geneologis. Kalau bapaknya orang pinter ya sudah barang tentu anaknya juga pinter. Dalil-dalil pembodohan inilah yang juga harus dibabat.
Ketiga, membumikan budaya kritis. Hal ini untuk mengikis budaya masyarakat Indonesia yang cenderung sami’na wa atho’na (baca: nurut dan manut). Kenapa? Agar terjalin dan terwujudnya kontrol masyarakat terhadap negara. Dengan demikian, kultus individu dan mitos geneologis lambat laun akan sirna dari mindset dan logika berfikir masyarakat Indonesia.
Tentunya, kita tidak menginginkan pemimpin yang cuma bisa mengandalkan kharismatik dirinya, apalagi kharismatik dari faktor geneologis. Pemimpin yang handal adalah pemimpin yang mandiri, berdedikasi tinggi, serta wawasan kerakyatan.
Jika perempuan Indonesia belum bisa mandiri, maka jangan berharap mampu memperjuangkan hak-haknya, meski memperoleh target 30 persen. Bisa jadi, perempuan-perempuan yang duduk di kursi legislatif hanya sebatas berperan sebagai pengumpul suara (vote gater) dan wayang yang dimainkan oleh dalang laki-laki. []
Sumber: Pelita, 23 Maret 2004.