Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Modal kepercayaan (popular mandate) yang telah diberikan rakyat kepada SBY-JK tidaklah kecil, unggul 20 persen dibanding rivalnya. Sekarang saatnya balas budi, apa yang bisa diberikan SBY-JK kepada rakyat? Perubahan apa yang bisa dirasakan oleh rakyat? Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam 100 hari, maka jangan kaget kalau rakyat akan melakukan delegitimasi bahkan menuntut agar SBY-JK mundur.
Jangan-jangan, SBY akan dilumat oleh janji-janjinya sendiri. Tidak sedikit masalah yang harus diselesaikan dalam tempo 100 hari. Apalagi, menurut penulis, SBY tekesan ingin memuaskan semua pihak. Tercermin dengan susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), yang seakan-akan SBY ingin mengakomodir semua kepentingan. Buntut dari kebijakan ini adalah orang-orang yang dari awal mendukung SBY malah ditinggalkan. Misalnya, Partai Demokrat Sulawesi Utara (pendukung setia SBY) mengibarkan bendera setengah tiang sebagai wujud ungkapan rasa kecewa, sebab ‘jago’ mereka gagal terpilih sebagai menteri dalam KIB.
Lebih parah lagi, agenda perioritas SBY-JK yaitu pemberantasan korupsi dan penegakan good governance tidak disokong oleh orang-orang yang handal dan kapabel. Tapi ternyata, pertama, SBY malah mengangkat orang-orang yang punya masa lalu gelap, terkait dengan penggelapan dana dan membagi-bagikan uang dari perusahaan kepada kolega-koleganya di DPR. Bagaimana akan menangkap para koruptor, sementara orang dalam sendiri banyak yang (bekas) koruptor.
Kedua, munculnya nama-nama pengusaha yang pernah terjerat utang milliaran dollar AS dan sampai sekarang mereka termasuk orang-orang yang ‘menyengsarakan’ rakyat. Mereka sama sekali tidak ada kepantasan untuk duduk di kursi kabinet, sebab mempunyai reputasi buruk dan gemar menunggak utang di bank-bank pemerintah. Jangankan melunasi hutang, bisa jadi pemerintahan SBY-JK malah menambah beban utang negara.
Ketiga, SBY masih membiarkan para petinggi partai bercokol di kabinetnya. Bagaimana mereka akan bekerja demi rakyat jika dalam dirinya masih tersemat baju partai yang belum bisa ditanggalkan. Dikhawatirkan nanti dalam kinerjanya masih mementingkan kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat secara luas. Karena itu, SBY harus tegas. Jika tidak demikian, alih-alih mereka memikirkan rakyat justru para kolega partainya menagih ‘jatah kesejahteraan’ melulu.
Keempat, sebagian besar dari komposisi kabinet, diisi oleh orang-orang yang tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dan sebagian besar, mereka tidak mengisi surat pemberitahuan (SPT) pajak dengan benar. Bahkan ada juga yang tidak mengisi daftar harta dan kekayaan (Kompas, 25/10). Bagaimana mereka akan memperbaiki bangsa jika mereka tidak mampu memberikan suri tauladan yang baik?
Bekal kepercayaan rakyat kepada SBY-JK sungguh berat, karena itu harus dipikul secara bersama-sama. Jika yang mikul orang-orangnya tidak solid, satu sama lain tidak ada komitmen komunal, maka tunggu saja keruntuhannya. Senada dengan kasusnya Megawati, saat belum menjadi pemimpin, ia identik dengan wong cilik, kaum marginal, dan tertindas. Tapi, saat dia memimpin, Mega tidak mampu mempertahankan identitasnya bahkan malah mengeluarkan kebijakan yang tidak pro wong cilik. Akibatnya, rakyat apatis dan tidak percaya lagi kepada Mega. Tidak menutup kemungkinan ini juga akan terjadi pada SBY-JK. Apalagi akhir-akhir ini, menurut data IFES, menunjukkan adanya gejala penurunan popularitas. Dari puncaknya sebesar 73 persen pada bulan Juli, menjadi 69 persen pada bulan Agustus, dan terakhir 60 persen pada 20 september.
Sekarang pertanyaannya adalah mampukah SBY membawa ‘angin segar’ bagi rakyat dalam waktu 100 hari? Penulis tidak yakin SBY akan mampu membereskan persoalan dalam waktu sesingkat itu. Pertama, janji 100 hari terkesan seperti ‘lampu aladin’. Kasus-kasus di Indonesia—seperti pembobolan bank BNI, peledakan bom (terorisme), keamanan di Aceh dan Papua, TKI ilegal, pengangguran, harga BBM, lemahnya supremasi hukum dan lain-lain—adalah bukan kasus yang enteng, tinggal bimsalabim langsung beres. Tetapi, butuh konsentrasi serius dan kerja team work yang handal dan profesional. Hitungan 100 hari pertama yang digembar-gemborkan SBY (jangan-jangan) hanya ikut-ikutan ala Barat, khususnya di Amerika Serikat. Biasanya, seusai pemilihan umum dan pemerintah berganti, orang suka bicara tentang: the first hundred days.
Kedua, SBY tidak diperkuat dengan kabinet yang ‘bersih’. Mungkinkah SBY akan membuat kebijakan shock therapy terutama di bidang penegakan hukum, sementara kabinetnya yang diangkatnya masih banyak yang bermasalah? Contoh lain, kemarin (27/10) Presiden memberikan pengarahan kepada Dirjen Pajak Hadi Poernomo di gedung Direktorat Pajak agar mengelolah sistem perpajakan secara profesional. Secara tidak langsung SBY telah mencoreng dirinya, sebab komposisi KIB diisi oleh orang-orang yang tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Lebih ironis lagi, menurut data yang dipaparkan oleh Komite Waspada Orde Baru (Tewas Orba), KIB pimpinan SBY-JK terdapat 34,21 persen anggota kabinet yang teridentifikasi terlibat Orba. Era ini lebih banyak menampilkan kembali tokoh-tokoh Orba jika dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur (33,33 persen) dan Megawati (31,25). Bahkan terdapat lima orang di antara KIB merupakan mantan pejabat tinggi TNI/Polri di era Orba. Mereka adalah Laksamana TNI (pur) Widodo A.S. (Menko Polkukam), Letnan (pur) M. Ma’ruf (Mendagri), Letjen (pur) Sudi Silalahi (Seskab), Brigjen (pur) Taufiq Effendi (Menpan), dan Laksamana Madya (pur) Fredy Numberi (Menteri Kelautan dan Perikanan). Bercokolnya eks Orba di pemerintahan SBY-JK ini memberikan trauma bagi rakyat Indonesia, sekaligus menimbulkan rasa pesimistis akan adanya perubahan.
Ketiga, SBY lebih akomodatif terhadap kepentingan partai politik, dari pada rakyat. Terutama tercermin pada tim ekonomi. Sampai-sampai, para ekonom menyayangkan, karena tim ekonomi KIB tidak mempunyai track record pemihakan pada rakyat. Lalu berbuntut pada respon pasar yang negatif, termasuk ikut merosotnya nilai rupiah. Ternyata, barisan menteri ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi pasar.
Saking ruwetnya, ada yang mengistilahkan KIB sebagai akronim dari Kabinet Indonesia Bingung. Dengan melihat realitas tersebut, penulis pesimis dengan janji 100 hari SBY-JK akan sukses mewujudkan ‘perubahan’, justru yang ada adalah bom waktu yang siap meledak setelah 100 hari (jika) tidak ada perubahan. []
Sumber: Duta Masyarakat, 22 Desember 2004.