Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Dengan ucapan basmalah dan salam perjuangan, saya awali lantunan suara hati lewat surat ini. Berkenaan dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia, sebagai elemen kecil yang tidak di(per)hitung(kan), saya sungguh tidak bermaksud menasehati, menggurui, bahkan mengkritik Bapak. Saya hanya ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan sebagai wong cilik yang biasa jagongan (ngobrol ringan) dari warung ke warung. Semua yang saya torehkan di sini adalah obrolan dan renungan ringan lagi spontan yang terjadi di warung, bukan layaknya narasumber di forum-forum seminar dengan membawa makalah dan referensi yang seabrek.
Presiden yang mulia.
Kemarin, tepatnya 2 Desember 2004, saya bermain ke kos-kosan teman lama di Jogja. Seperti biasanya, begitu perut keroncongan, saya langsung bertolak menuju angkringan (warung kecil lagi murah di Jogja). Saat itu, memang lagi hangat-hangatnya njagong terpelesetnya pesawat Lion Air. Lucunya, Ketika saya dan teman-teman lagi asyik menghitung orang-orang yang tewas dan yang luka-luka, ujug-ujug, si penjual nyeletuk:
“Mangkanya nama presiden kita mending diganti aja dengan Susilo Bambang Nyudhonyowo, bukan Yudhoyono.”
“Kok begitu Pak?”
“Lha iya toh Mas, awal-awal pemerintahan SBY inikan kan udah banyak makan nyowo (jiwa).”
Jika direnungkan, ungkapan ini memang terbukti. Sejak dilantiknya Bapak, sudah banyak korban yang berjatuhan. Orang Jawa bilang—terlepas dari benar atau tidak—ini adalah tumbal kemenangan SBY. Mulai dari kecelakaan kereta, bus, pesawat, banjir, meninggalnya Munir, sampai dengan gempa di Nabire. Ternyata, terpilihnya Bapak sebagai Presiden Republik Indonesia ini banyak menghilangkan atau mengurangi (nyudo) nyawa manusia. Sehingga tidak salah apa yang dibilang Si penjual tadi, Susilo Bambang Nyudhonyowo.
Bagi saya, tumbal atau apapun namanya itu bukanlah substansi. Yang terpenting adalah mengapa semua ini bisa terjadi? Kelalaian pemerintah kah atau ada penyebab lain? Nah, pada titik inilah yang harus dievaluasi.
Bapak Presiden yang saya hormati.
Sebelumnya saya mohon maaf, kalau ungkapan di atas terlalu lancang dan tidak patut untuk saya ungkapkan. Bukan maksud hati mengotak-atik nama Bapak yang sudah tersohor, tapi saya hanya menceritakan apa adanya. Karenanya, dengan kerendahan hati, izinkan saya untuk melanjutkan menulis.
Kali ini, tepatnya di warung kopi alun-alun kota Gresik (maaf tanggalnya saya lupa). Tak sengaja, saat itu saya satu meja dengan mahasiswa. Suara melengking yang sempat aku tangkap adalah “supremasi hukum”. Biasa, namanya juga mahasiswa ngomongnya agak ndakik-ndakik dan sok idealis. Dengan ngotot dia berkata:
“Sependek pengetahuan saya, hukum itu sejatinya tidak pandang bulu. Siapapun yang dinyatakan bersalah ya harus menerima hukuman. Jika tidak ya harus dibebaskan.”
“Idealnya memang begitu, tapi taukah kenyataan hukum di Indonesia? Nyatanya, amat berbeda dengan realitas di lapangan; sing cilik di injek-injek, sing gede dielus-elus (yang kecil diinjak-injak, yang besar dibelai-belai).” Sahut temannya.
Begitulah sepenggal obrolan yang sempat saya save. Kalau dipikir-pikir, memang benar juga. Menurut saya, jumlah maling kelas teri dengan kelas kakap sama banyak jumlahnya. Tapi mengapa yang nongol di program kriminal layar TV kebanyakan yang kelas teri? Lagi-lagi pencurian, lagi-lagi perampokan, lagi-lagi perkosaan, sampai bosan saya menontonnya. Pertanyaan saya kepada Bapak, kapankah rakyat disuguhi dengan tontonan kriminalitas maling-maling kelas kakap (untuk tidak mengatakan kelas Akbar)?
Kalau hanya menangkap maling-maling kampungan (lokal), saya juga bisa (maaf kalau agak sombong). Sebab menurut saya, Persoalannya bukan bisa atau tidak bisa, yang jadi penghambat adalah keberanian (wani opo ora?). Saya yakin, jika ada keberanian (sudah tentu beserta niat) semuanya akan mudah. Bagaimana menurut Bapak Presiden? Benar tidak?
Meski jauh dari harapan, terus terang, saya salut dengan Bapak. Tertangkapnya Abdullah Puteh adalah bukti konkrit konsistensi dan keseriusan Bapak. Saya berharap, Bapak tidak hanya berhenti sampai di titik ini, tapi bagaiamana keberhasilan Bapak ini menjadi pemicu semangat untuk mengganyang koruptor-koruptor di negeri ini.
Di lain waktu, senin 15 November 2004, tidak seperti biasanya, saat nangkring di warung kopi depan rumah selalu banyak orang yang ngobrol ngalor-ngidul. Saat itu sepi, hanya aku dan penjaga warung. Entah pada ke mana orang-orang kampung.
Bapak tahu tidak, ketika itu saya termenung begitu ngenes dan mengelus dada. Karena tahun ini, Indonesia masih terjerembab dalam the best five negara terkorup di dunia, versi lembaga Transparancy International (TI). Ditaruh di manakah moral dan agama yang tersemat apik dalam tubuh manusia Indonesia. Sungguh memalukan. Saya sebagai rakyat saja malu, masak Bapak tidak merasa?
Saya tegaskan, pemberantasan korupsi tidak dengan “deklarasi-deklarasi” tapi dengan action. Kalau boleh saya melakukan kritik, saat era Mega-Hamzah, ada dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang mendeklarasikan gerakan anti korupsi (NU dan Muhammadiyah), tapi apa hasilnya? Ternyata nihil. Maka dari itu, strategi pemberantasan korupsi harus ditata ulang. Bukan begitu Bapak?
Begitu susahnya nanganin korupsi, sampai orang-orang membuat kesimpulan, “kurupsi sudah men-tradisi.” Kenapa? Sebab dilakoni bareng-bareng; dari mulai pamong desa sampai dengan pamong negara. Saya punya usul, bagaimana kalau Bapak membangun penjara khusus korupor di tengah-tengah pasar (keramaian) dengan “model transparan”, agar penghuninya dapat disaksikan oleh semua orang yang lalu-lalang. Ini adalah bagian dari sangsi sosial yang harus diterima.
Terus terang, saya kok tidak setuju dengan ide me-nusakambangan-kan para terpidana korupsi. Menurut saya, mereka di sana itu keenakan. Mau ngapa-ngapain tidak ada yang tahu, jauh dari keramaian, dan tidak menutup kemungkinan, mereka yang berada di sana serasa di “surga”. Bagaimana tidak, menjenguk saja ada yang pake’ halikopter, betapa istimewanya napi-napi itu. Setujuhkah Bapak?
Presiden yang terhormat.
Tak terasa, sudah banyak hal yang saya ungkapkan, Bapak tidak perlu menanggapi uneg-uneg saya, pasalnya memang tidak pantas untuk ditanggapi. Ini hanyalah sebatas pepesan dan ide-ide gila ala warung-warung kampung(an), yang bukan berasal dari tempat megah serta dipenuhi oleh orang-orang yang jas-jasan dan dasian. Kendati remeh, apa yang saya ungkapkan adalah realitas yang terjadi di akar rumput, yaitu rakyat kecil (termasuk saya) yang kemarin saat pemilu adalah termasuk orang-orang yang mencoblos Bapak. Saya tidak rela jika kepentingan rakyat kecil dibuldoser oleh kepentingan “teman-teman” Bapak. Sebab, sejatinya, kita adalah satu, Indonesia.
Sungguh Bapak, saya tidak ingin persatuan dan kesatuan bangsa ini tersembelih dan tercabik-cabik oleh kepentingan oknum-oknum yang hipokrit dan tidak bertanggung jawab. Saya mengharap kepada Bapak Presiden untuk tidak menyelesaikan tumpukan PR bangsa ini dengan sendiri, karena tidak mungkin. Maka, seandainya saya jadi Bapak, pertama, saya akan merangkul dan melibatkan seluruh komponen bangsa—bukan hanya golongan saya—untuk turut serta membangun dan merestorasi Indonesia. Kedua, memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat (non-goverment) untuk melakukan “kontrol” atas pemerintah, yaitu sebagai postulat dari civil society.
Akhirnya, saya nyuwun agungipun pangapunten (mohon maaf yang sebesar-besarnya) jika saya dinilai agak lancang dan kurang andap ashor (tawadlu’). Terima kasih atas perhatiannya dan semoga apa yang Bapak lakoni tidak bertentangan dengan “hasrat” wong cilik. Itu saja. []
Sumber: Buletin AMBANG dan Arsip Blora Center, 5 Desember 2004.