Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Nasib nahas kian mendera pengikut al-Qiyadah. Satu persatu pengikut aliran yang mengakui Ahmad Mushaddeq alias H. Salam sebagai Rasul ini diciduk polisi. Atas dasar legitimasi fatwa dari Majlis Ulama Indonesia (MUI), massa di berbagai daerah dengan seenaknya melakukan aksi sweeping terhadap para pengikut aliran ini, bahkan pengerusakan pun menjadi hal yang lumrah.
Ironisnya di beberapa lokasi kejadian, aksi anarkis itu tak dihalau oleh pihak berwajib. Polisi hanya memasang garis polisi di tempat kejadian setelah aksi reda. Tindakan semena-mena terhadap al-Qiyadah dilihat dari kaca mata agama seakan menjadi hal yang sah, bahkan wajib dengan dalih pemurnian ajaran Islam. Hal ini tak lain karena MUI dengan tegas telah menyatakan “sesat” terhadap aliran ini.
Pun demikian secara hukum, pimpinan aliran ini Ahmad Mushaddeq dijerat pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama. Karenanya, polisi tak canggung turut menciduk para pengikut al-Qiyadah. Kejadian semacam ini terus terjadi. Artinya, ini bukan perkara pertama dan bukan pula yang terakhir. Kejadian serupa bisa dipastikan akan merembet pada aliran-aliran lain yang dianggap menyimpang dari pemikiran mainstream.
Lihat saja yang terjadi sekarang, tak lama usai pimpinan agama Salamullah Lia Aminuddin alias Lia Eden keluar dari penjara, kini Mushaddeq diseret ke meja hijau. Kasus yang menimpa Lia bisa saja diwarisi oleh pimpinan al-Qiyadah. Ganjaran yang harus diterima adalah meringkuk di penjara.
Bukan Keyakinan, tapi Tindakan
Kasus Lia dan Mushaddeq, hemat saya, adalah tergolong kriminalisasi keyakinan. Kejadian ini jelas menodai kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E. Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyiratkan, kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Tapi, apa yang terjadi? Ternyata, pasal-pasal itu diborgol oleh satu pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal sumber masalah itu adalah pasal 156a yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama, dan dijuluki pasal karet. Identik dengan karet, karena bisa molor ke mana-mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban.
Antara lain, tahun 2006 pasal ini mengganjar Lia Aminuddin dengan dua tahun penjara. Ia dituduh melakukan penodaan agama karena menyebarkan keyakinan baru, agama Salamullah. Setahun sebelum kasus Lia, pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut diangap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2.
Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan, Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.
Menelisik beberapa kasus di atas, saya malah bingung. Mengapa keyakinan kok bisa dikriminalkan? Bukankah keyakinan itu soal hati, sama seperti kita mempercayai adanya Tuhan yang maha besar? Sama-sama tidak bisa dibuktikan secara empiris, tapi hanya bisa diyakini. Jika jeratan hukum itu dialamatkan kepada keyakinan seseorang, maka sasarannya jelas tak tepat, karena keyakinan bersifat abstrak sedangkan hukum harus berpijak pada fakta yang kongkrit.
Karena itu, yang dapat dijerat hukum adalah tindakan atau ekspresi pengikut aliran, bukan keyakinannya. Satu misal, kalau ada salah seorang pengikut aliran tertentu membunuh seorang anak, maka delik hukumnya adalah pembunuhan. Jadi bukan keyakinannya yang disalahkan tapi perbuatannya. Begitu pula dengan kasus al-Qiyadah yang lagi hangat diperbincangkan. Jika memang ada aksi kriminal yang dilakukan oleh pengikutnya, ya silahkan saja diproses secara hukum berdasarkan tindakan yang dilakukan, bukan malah mengadili keyakinannya.
Perkara ini bisa dikiyaskan dengan aksi terorisme yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawan. Saya setuju dengan jerat hukum yang menimpanya yaitu aksi teror dan pembunuhan yang menelan banyak korban. Jadi mereka dihukum karena perbuatannya bukan keyakinan Islam yang mengendap di hatinya.
Mengubah Cara Pandang
Proses hukum semacam itu yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum dalam menangani kasus al-Qiyadah. Kalau tidak, maka korban pasal-pasal penodaan agama kian berderet. Sekali lagi saya tegaskan bahwa agama, keyakinan, dan kepercayaan adalah bersifat abstrak, karena itu identitas “bebas” sudah menjadi karakter sebuah keyakinan dan pilihan bagi seseorang.
Di samping itu, ihwal kebebasan berkeyakinan dan beragama ini juga telah dijamin dalam konstitusi bangsa kita. Tapi, sayangnya masih ada beberapa cara pandang yang menjadi batu sandungan dalam memupuk kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama di tengah masyarakat Indonesia yang plural.
Pertama, fatwa sesat. Kelihatannya memang sepele tapi dampaknya tak terduga, itulah fatwa sesat dari MUI yang selama ini dijadikan legitimasi tindak kekerasan massa atas nama pemurnian agama dari ajaran yang melenceng. MUI sebagai payung umat Islam seharusnya mengayomi perbedaan-perbedaan pendapat di dalamnya. MUI seolah-olah tidak pernah memikirkan akibat dari fatwa yang dikeluarkan. Berapa rumah yang dirusak dan dibakar? Berapa orang yang terintimidasi dan terdiskriminasi? Berapa nyawa yang melayang?
Kedua, pasal penodaan agama dalam KUHP. Pasal ini bisa dibilang biang masalah dari kasus-kasus bernuansa perbedaan pendapat dalam suatu agama dan keyakinan. Gara-gara pasal ini jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta cita-cita kerukunan antarumat beragama di Indonesia menjadi tak tentu arah. Sudah seharusnya orientasi pasal-pasal terkait urusan agama dan kepercayaan dalam KUHP berorientasi pada substansi agama dan kepercayaan yang mengedepankan moralitas dan nilai-nilai humanisme daripada simbol-simbol belaka.
Ketiga, kekerasan massa dan ketegasan polisi. Ada sebuah pertanyaan yang mengganjal, mengapa usai terjadi kekerasan massa berbasis agama polisi biasanya hanya melingkari TKP dengan garis polisi. Bagaimana dengan massa yang melakukan aksi anarkhis? Mereka yang jelas melakukan tindakan kriminal seperti mengintimidasi, merusak, dan membakar, tidak ditangkap dan malah dibiarkan begitu saja. Aneh. Inilah yang menyebabkan banyak pihak yang merasa teraniaya lalu mengajukan gugatan, seperti dilakukan Ahmadiyah dan Wahidiyah.
Tentu saja merubah cara pandang ini bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu panjang untuk dapat menyelesaikan semuanya. Tapi setidaknya masyarakat bisa menyikapi masalah dengan arif dan bijakasana agar kejadian serupa tak terulang. Bukankah memahami perkara dari suatu malasah adalah hal yang dianjurkan dalam proses pembelajaran? Karena itu, al-Qur’an mengajarkan iqra’ (membaca, mencermati, memahami realitas), sebagai langkah manusia untuk memahami fenomena yang ada di sekitarnya terlibih dalam dirinya sendiri. []