Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Konflik Israel-Palestina adalah ibarat permusuhan kucing dan tikus. Dari dulu hingga kini masih terus berkecamuk, seakan tidak menemukan titik terang. Konflik ini juga biasa disebut permusuhan antara bangsa Arab (Islam) dan bangsa Yahudi.
Dari tahun ke tahun, era ke era, berbagai usaha dilakukan dunia international untuk mencipta perdamaian di tanah Palestina. Tapi, lagi-lagi gagal. Mungkin orang awam sering berdesas-desus: apa sih yang dipersoalkan? konflik kok tidak berujung!
Duduk perkara yang sebenarnya adalah sederhana, rebutan kota Yerussalem: ghalibnya disebut Baitulmaqdis atau al-Quds (kota suci). Bukan hanya umat Islam, kota ini juga sangat bernilai bagi orang-orang Yahudi. Menurut mitos, Yerussalem adalah tanah yang dijanjikan (the promise land) Tuhan untuk bangsa Yahudi. Lalu, lahirlah gerakan Zionis, gerakan untuk membentuk negara kedaulatan Yahudi di tanah Palestina.
Usaha untuk mendamaikan konflik Israel-Palestina pernah dilakoni Inggris, yaitu ketika Palestina masih berstatus sebagai negara jajahannya. Tanggal 17 Mei 1939, pemerintah Inggris menerbitkan Buku Putih Palestina. Buku ini juga dikenal sebagai Buku Putih MacDonald, sesuai dengan nama ketua tim penulisnya, Malcolm MacDonald, Menteri Negara Urusan Koloni Inggris.
Secara umum, buku ini mencakup tiga poin aturan: konstitusi, imigran Yahudi, dan pertanahan. Pertama, buku ini memuat kebijakan-kebijakan pemerintah Inggris untuk membentuk negara Palestina yang merdeka dan diperintah secara bersama-sama, orang-orang Islam dan Yahudi.
Kedua, buku ini menawarkan prinsip pembatasan jumlah penduduk. Lima tahun pertama, jumlah penduduk Yahudi adalah 1/3 dari penduduk Palestina, atau 75.000 imigran. Setelah itu migrasi dihentikan secara total, kecuali dapat restu dari pihak muslim. Ketiga, soal tanah, buku ini menganjurkan dan mengatur legalitas perpindahan tanah dari warga Arab ke Yahudi selama masa transisi.
Apa boleh buat, usaha Inggris tersebut berujung kegagalan. Bangsa Arab dan Yahudi sama-sama menolak. Namun, kendati ditolak, pemerintah Inggris tetap ngotot untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Karena itu, pada 28 Februari 1940 pihak kolonial Inggris mengesahkan undang-undang perubahan kepemilikan tanah.
Akhirnya, Palestina dibagi menjadi tiga wilayah bagian. Wilayah pertama, daerah yang tidak diperbolehkan memindahkan kepemilikan tanah orang Arab kepada Yahudi. Wilayah kedua, diperbolehkan memindahkan kepemilikan tanah, asal atas persetujuan dari pihak ketua delegasi Inggris. Dan wilayah ketiga, daerah yang bersifat mutlak: tidak boleh diotak-atik oleh pihak manapun. [AUM]
Syir'ah, Edisi 53, Mei 2006