Mendidik anak hasil pernikah bedah agama lumayan pelik. Dari kecil anak sudah dihadapkan pada pluralitas keyakinan di keluarga. Bagaimanakah lika-liku orang tua dalam mendidik si buah hati di tengah-tengah perbedaan?
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Siang itu, selepas beraktifitas di SD Smart Eureka Cinere, Jakarta Selatan, Amadeus Inayat Khan, 7 tahun yang beragama Islam, mengajak temannya yang Kristen bernama Bernard, 7 tahun, untuk sekedar main-main ke rumahnya di bilangan Cinere. Bernard pun tak menolak ajakan Diyo, panggilan akrab Amadeus.
Sesampainya di rumah, teman sekelasnya itu tampak bimbang. Matanya bergerak-gerak menyisir satu per satu simbol agama-agama yang terpajang di dinding tembok rumah pasutri Wandy Nicodemus Tuturong, 34, Kristen, dan Farahdiba, 30, Islam.
“Tuhanku itu Yesus. Kalau Tuhan kamu kan Allah,” kata Bernard heran selepas memandangi ornamen-ornamen di sekelilingnya.
“Ah, enggak ah. Yesus kan Tuhan saya juga,” jawab Diyo dengan spontan.
Lalu, Diyo mengadu ke Ibunya, Farahdiba. “Mam, Tuhan Yesus itu Tuhannya Diyo juga kan?”
“Iya,” jawab wanita yang pernah menjadi aktivis Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ini.
“Tapi kata Bernard Tuhan Diyo kok Allah?” tanya Diyo diselimuti keheranan. Seketika, Sang Ibu pun menguraikan panjang lebar untuk memecah kebingungan anak pertamanya itu.
Sekilas, bagi khalayak umum, kisah di atas terkesan aneh. Tapi, tidak bagi pasangan Binyo dan Diba, panggilan akrab Wandy dan Farahdiba. Pria yang kini aktif di National Integration Movement ini, sengaja memberikan pendidikan pluralisme kepada anak-anaknya sejak dini. Di rumah, ia memperkenalkan keragaman itu melalui asesoris simbol-simbol agama yang dipajang di rumah. Ada gambar Ka’bah, patung Budha, Yesus, dan lain-lain.
“Secara formal, kedua anak saya memang beragama Islam. Tapi, sejak kecil mereka saya biasakan mengenalkan simbol agama-agama. Agar sejak dini mereka mengerti berbagai keragaman di Indonesia. Begitu dia sudah gede, terserah dia mau milih agama apa,” kata Binyo kepada Syir’ah di belakang The Best Fatmawati Jakarta.
Sedang pembelajaran di sekolah, ia sepakat dengan gagasan istrinya yang juga sebagai ketua Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) di sekolah anaknya. “Belajar agama yang baik di sekolah adalah belajar sejarahnya, bukan doktrinnya,” tegas pria berkacamata ini. Pendidikan doktrin agama yang dimaksud adalah mempelajari ritual-ritual dalam agama, semisal sembahyang, puasa, kebaktian, dan sebagainya.
Dengan belajar sejarah, lanjut Binyo, anak akan memahami alasan mengapa agama penting bagi umat manusia. Kemudian, pemahaman itu dikorelasikan dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, anak punya kemampuan untuk menangkap nilai-nilai agama dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak perlunya pendidikan agama secara doktriner di sekolah juga disuarakan Inggrid Pojoa, 52 tahun (Kristen). Bersama suaminya, Bambang Budi Utomo, 52 tahun (Islam). Ia mengidealkan pemisahan antara pengajaran agama secara vertikal, yaitu manusia dengan Tuhannya, dan horisontal, manusia dengan manusia serta lingkungannya.
Untuk pendidikan agama secara vertikal, urai Inggrid, yang bertugas untuk mengajar adalah tokoh agama, semisal pendeta, kiai, biksu, dll. Sebab mereka lebih mengerti tentang ritual agama masing-masing. Pendidikan model ini idealnya diperoleh di luar bangku sekolah, di rumah atau di lembaga-lembaga non-formal yang lain.
Sedang secara horisontal, sebaiknya diajarkan di sekolah. Jadi, sekolah bertugas untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai universal dari agama. “Misalnya, setiap agama mengajarkan ‘kasih’. Lalu, bagimana mengimplementasikan konsep kasih ini dalam kehidupan bermasyarakat? Nah, inilah yang perlu diajarkan di sekolah,” terang wanita yang juga dikenal sebagai dosen Arkeologi Universitas Indonesia ini.
Mengenai agama anaknya, Ayub Tular Kusumo Negoro yang kini sudah berumur 19 tahun dan Islam, Inggrid punya cerita. Dulu, katanya, sebelum menikah ia sudah membuat kesepakatan dengan suami, bahwa agama anak harus ikut suami. “Bukan berarti saya akan memaksa anak. Maksud saya, sejak kecil anak harus punya pegangan agama. Jika dia nanti sudah besar, tentu semua dikembalikan kepadanya. Dia mau meneruskan agama yang dipeluk sejak kecil, atau meyakini keyakinan lain,” tambahnya.
Hal ini senada dengan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. “Agama anak sebaiknya ditentukan sejak kecil, agar bisa dikondisikan sejak dini,” kata Kak Seto, panggilan akrabnya. Tapi, begitu dewasa kebebasan memilih agama dikembalikan kepada anak.
Namun, ternyata bagi pelaku nikah beda agama lain seperti Ahmad Nurcholish, 32 tahun (Islam) penentuan agama anak sejak kecil tidaklah baik. Menurut suami dari Ang Mei Yong, 27 tahun, Konghucu, kalaulah tidak ada keadaan yang memaksa orang tua tidak punya hak untuk menentukan agama anaknya, meski dia masih kecil.
Saat ini, putra semata wayangnya, Melvin Reynard Alvino, 18 bulan, dengan sangat terpaksa diberikan label agama Kristen, karena tuntutan legalitas dari negara. “Mau gimana lagi kalau kita sudah berbenturan dengan negara?” katanya dengan nada lemas. (baca juga, Syir’atuna I).
Dalam mendidik anak, Nurcholis meneladani cara Muhammad Rasulullah dalam mendidik umatnya. Di awal-awal berdakwah, Rasulullah tidak langsung
mengajarkan syariat, semisal shalat, puasa, zakat, haji, dll. Tapi, lebih dahulu beliau mengajarkan etika atau moral. “Kelak saya ingin menerapkan model pendidikan seperti itu kepada anak saya,” katanya penuh keyakinan.
Untuk mengantisipasi agar kelak anak tidak bingung, Nurcholish berstrategi. Minimal dia memperkenalkan kepada anaknya ajaran dua agama orang tuanya, Islam dan Konghucu, baik konsep keagamaan maupun ritual-ritualnya.
Selain itu, dia juga akan memantau pendidikan anaknya di sekolah, pelajaran apa saja yang telah diajarkan. Jangan-jangan gurunya mengajarkan sesuatu yang tidak kita inginkan, misalnya memuliakan agama tertentu dan merendahkan agama lain. “Karena itu, pelajaran agama di sekolah idealnya mengajarkan nilai-nilainya saja, tidak perlu syari’atnya.” Tegas alumnus pesantren Al-Faqih Purwodadi Jawa Tengah ini.
Pendidikan model ini juga diidamkan oleh Zainun Kamal, dosen pasca sarjana UIN Jakarta. Bagi alumnus Universitas Al-Azhar Mesir ini, pendidikan agama di sekolah seharusnya diajarkan secara umum, tidak diajarkan secara parsial. Yaitu meliputi nilai-nilai universal ajaran agama. Misalnya ajaran tentang kejujuran, berbakti kepada orang tua, saling menghormati, dll. Untuk yang parsial, semisal ritual-ritual, cukup diajarkan di rumah saja.
Jika yang lain masih mementingkan pelajaran agama di sekolah, berbeda halnya dengan Budi Santoso Tanuwibowo, 46 tahun, ketua umum Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin) yang beristri seorang Kristen. Ia merasa tidak perlu ada pelajaran agama—sama sekali—di sekolah, kecuali di tingkat SMA. Sebagai penggantinya, ia menawarkan pelajaran ‘budi pekerti’.
“Saya lebih setuju kalau pendidikan agama itu dijadikan satu, dan semua label-labelnya dihilangkan. Kemudian dinamakan pendidikan budi pekerti,” katanya saat dihubungi Syir’ah via telepon. Sedangkan pendidikan agama, menurut ayah dari Ayuningtyas, 16 tahun, Kristen, diserahkan sepenuhnya kepada keluarga, bukan tanggung jawab sekolah.
Pendidikan budi pekerti ini, berlangsung dari jenjang SD sampai SMP. Nah, ketika menginjak tingkat SMA, siswa baru boleh diberi materi pelajaran agama. Mereka dikenalkan dengan semua agama. Agar mereka mengerti, bahwa ia hidup di sebuah masyarakat yang plural. Mengapa harus di tingkat SMA?
“Sebab di tingkat itu mereka sudah mampu berfikir untuk membandingkan antar agama. Jika hanya dikenalkan satu agama justru saya takut, nanti kalau sudah gede dia akan menjadi orang yang fanatik dan merasa benar sendiri,” jawab suami dari Sherry Lesmana, Kristen, 45 tahun, ini.
Ide ini didasarkan atas realitas empiris yang dirasakan Budi. “Akibat pendidikan agama yang menekankan ritual, cara beragama masyarakat Indonesia menjadi lebih condong ke formalitas, tidak substansial,” jelasnya. Dia tidak mengerti, mengapa orang suka berlomba-lomba untuk membikin tempat ibadah, bahkan melebihi kebutuhan jamaah. Padahal, banyak sekolahan dan klinik yang ambruk, tapi tidak ada yang mensubsidi. “Kita harus mempertanyakan hal ini,” usul Budi dengan nada agak tinggi.
Paradoks dalam pendidikan agama ini juga menggelitik Nuryamin Aini, dosen Syariah dan Hukum di UIN Jakarta. Dia mendapati kerancuan orientasi pembelajaran toleransi di sekolah. “Seperti pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), perbedaan agama dan simbol-simbol pluralitas diperkenalkan pada anak, secara proporsional. Tapi pada pelajaran agama, anak hanya diperkenal ajaran agamanya sendiri secara mendalam,” urai alumnus Flinders University Australia ini.
Sementara itu, Gede M.N. Natih, pengamat pendidikan dan commision di Sevilla School Pulomas Jakarta Timur, sependapat dengan gagasan Budi Santoso soal pendidikan budi pekerti di sekolah. Pendidikan budi pekerti ini, bagi Gede, diharapkan mampu mengenalkan anak didik pada nilai-nilai yang terkandung pada agama-agama. “Saya pikir, nilai-nilai luhur dalam agama manapun itu sama saja,” tukas Gede sambil duduk santai di sofa bermotif lurik warna-warni.
Setidaknya, konsep ini sudah dijalankan pria berdarah Bali ini di sekolah yang dikelolanya. Dalam proses belajar mengajar, sekolah yang dihuni oleh anak-anak dari beragam latar belakang agama ini mengintegrasikan dua hal, budi pekerti dan mata pelajaran di sekolah (Baca, Syir’atuna III). “Dengan demikian, pengkotak-kotakan atas nama agama bisa dihindari, dan anak-anak pun akan merasa enjoy dengan keragaman di sekelilingnya, ” tukasnya. [Reportase: Abdullah Ubaid M. dan Maria Ulfah ]
Syir'ah, Edisi 53, Mei 2006.