Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Imam Muslim pernah merekam peristiwa menarik dalam kitabnya, Shahih Muslim (1784). Perhelatan sahabat Rasulullah Muhammad Sa’ad bin Abi Waqas dan ibunya.
Layaknya direktur perusahaan yang didemo karyawan agar menaikkan upah. “Gaji dinaikkan tapi rugi atau gaji tetap tapi karyawan pada kabur.” Bak simalakama. Begitulah dilema yang pernah mendera sahabat Nabi yang jago memanah ini, tatkala awal-awal masuk Islam.
Suatu ketika, Ibu Sa’ad cemberut melihat tingkah putranya. Kerutan wajah dan mimik tak sedap merona di wajahnya. Rupa-rupanya, Sang Ibu belum bisa menerima Sa’ad sebagai seorang muslim. Ia pun menyusun rencana untuk membujuk Sa’ad.
Rencana itu, ternyata, berupa ‘aksi mogok makan’. Kalau sekarang, ini mirip demonstasi yang dilakukan para korban Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Bedanya, Ibu Sa’ad tak sampai menjahit mulut.
“Demi Allah, saya tidak akan makan, minum, dan berbicara, hingga kamu kufur: meningalkan ajaran Muhammad,” serapah Ibunya.
Lebih lanjut dia berdalih, “Kamu kan seharusnya tahu titah Tuhanmu. Sesungguhnya Allah melarang anak-anak untuk durhaka kepada kedua orang tuanya. Dan saya adalah ibumu.”
Aksi ini berlangsung sampai tiga hari, hingga pingsan. Lalu, datanglah ‘Imarah, saudara Sa’ad, untuk memberi minum ibunya. Setelah Sadar, ia berdoa agar putranya kuwalat karena membangkang.
Mendengar doa itu, Sa’ad kian bingung. Tetap pada pendirian tapi durhaka kepada orang tua atau taat kepada orang tua tapi kufur kepada Allah. Sa’ad pun mengalami kegamangan yang belum pernah dialami sebelumnya.
Untuk mengobati kebimbangan ini, Allah memberikan petunjuk melalui firmannya. Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah kewajiban, kecuali dalam perkara syirik, menyekutukan Allah (QS. 29: 8). Akhirnya, Sa’ad kian teguh memeluk Islam. Dan tahun 637 M/16 H, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, ia berhasil menaklukkan Irak. [AUM]
Syir'ah, edisi 53, Mei 2006.