MALU (AKU) JADI UMAT MUHAMMAD
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Tradisi peringatan kelahiran Nabi Muhammad atau jamak disebut maulid Nabi biasa dilakukan dengan beragam cara. Orang Jawa ghalibnya menyebut muludan, di Yogyakarta disebut Sekaten, di Cirebon disebut Pelal, dan sebagainya. Tak sama tapi serupa. Kitab yang lazim dipakai untuk memuja-muja Sang Nabi adalah al-Diba’i karya Abdurrahman al-Diba’i, atau al-Barzanji karya Abu Ja’far al-Barzanji, atau al-Burdah karya al-Bushiri.
Tahun demi tahun berlalu, tradisi ini berjalan apa adanya. Tanpa ada perubahan dan semangat yang berbeda. Sayang, tradisi ini just mengenang dan memuja Nabi. Bagi saya, jika dibiarkan apa adanya seperti ini, maka tradisi ini tak berelan vital. Lain dulu, lain sekarang. Dulu, tradisi ini sangat ampuh digunakan sebagai alat ‘Islamisasi’ di Indonesia. Masyarakat Jawa, khususnya, tidak akan melirik Islam jika Islam waktu itu disajikan sangat saklek: seperti kini dicontohkan beberapa ormas Islam di Indonesia yang mengusung ‘Arabisasi’. Jawa yang dulu dihuni orang Hindu-Budha dan animisme-dinamisme tidak akan bersyahwat sedikitpun untuk melirik agama baru yang diusung Wali Songo itu. Maka, muncullah siasat untuk ‘mengawinkan’ agama dengan tradisi lokal.
Dalam kontek kekinian, hemat saya, tradisi muludan yang dianggap salah satu anak dari perkawinan tersebut telah kehilangan makna. Tiap tahun diadakan dengan makna yang kosong. Jarak yang terpental begitu jauh: dulu dengan sekarang, zaman kuda dengan zaman pesawat terbang.
Dua bulan lalu, ketika jalan-jalan di Bandung, saya dikejutkan oleh umbul-umbul di pinggir jalan. “Setiap jengkal tanah adalah Karbala dan setiap hari adalah Asyura. Mari lawan tirani dan tegakkan keadilan di muka bumi,” begitu bunyi kata-katanya. Setelah saya amati, ternyata saat itu bertepatan dengan peringatan mengenang peristiwa syahidnya Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah, yang lazim disebut peringatan Asyura atau Karbala. Belum apa-apa, hanya melihat umbul-umbulnya doang, tak terasa denyut nadi saya terpompa seakan menyadarkan kita tentang pentingnya melawan ketidakadilan.
Aura semacam ini yang belum saya temukan dalam tradisi muludan. Ketika kita baca buku-buku seputar tradisi ini, kita akan menemukan mitos-mitos (semacam barokah, kata orang NU) yang tidak mendidik dan mencerahkan. Padahal, kalau digali, kelahiran Muhammad memberikan makna yang amat progresif dan revolusioner. Kelahiran Muhammad, bagi saya, berarti kehadirannya dalam menata akhlak yang mulia (liutammima makarima al-akhlaq). Akhlak di sini jangan diartikan sempit, seperti yang kini sedang marak: akhlak hanya dibatasi dalam persoalan ‘disiplin tubuh’ (pornografi dan pornoaksi).
Dalam kamus bahasa Arab, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang berarti watak, budi pekerti, dan karakter. Jadi, tidak bisa kita dikatakan, bahwa korupsi, budaya malas, kemiskinan, kolusi, tindakan semena-mena, diskriminasi, tidak bagian dari akhlak. Justru, hal tersebut adalah bagian dari akhlak, obyek sasaran Nabi. Karena kegigihan Muhammad dalam menegakkan akhlak—dalam arti luas—Muhammad dianggap para sejarahwan sebagai tokoh revolusioner.
Muhammad hadir disaat kondisi sosial masyarakat Arab menganut sistem ‘kapitalistik-ekspoitatif’, yaitu yang kuat akan menguasai segala aspek kehidupan ekonomi-sosial-politik, sementara yang lemah terus menjadi ‘kuli’. Pada posisi ini, Muhammad diutus untuk membangun dimensi-dimensi revolusioner bagi pembebasan dan mentransformasi kondisi sosial yang tribal. Maka jangan heran jika kehadiran Islam membikin kebakaran jenggot para penggede Makkah saat itu. Sesungguhnya, kalangan kepala suku, bangsawan, dan konglomerat Mekkah tidak mempersoalkan agama yang dibawa Muhammad, toh mereka bukanlah penyembah berhala yang taat beribadah, mereka menyembah berhala hanya untuk mempertahankan pengaruh terhadap orang-orang Arab. Sebaliknya, mereka menentang dan tidak mengakui Muhammad karena dua sebab.
Pertama, implikasi ajaran yang dibawa Muhammad menyerang sistem sosial ekonomi yang tribal dan eksploitatif: menghalalkan penindasan orang kaya kepada orang miskin, yang kuat kepada yang lemah, serta menghalalkan praktik riba. Sementara Nabi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan ekonomi. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran, Islam amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua golongan, bukan untuk segelintir orang. Dan juga menentang penimbunan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang miskin tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk ini, Islam menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS. 2:219).
Kedua, mengakui kehadiran Muhammad berarti melegitimasi pengakuan politik terhadap Muhammad sebagai penguasa politik baru. Hal ini tampak dalam tradisi berdagang masyarakat Mekkah, mereka tidak pernah membiarkan seseorang untuk menguasai segala aset ekonomi-sosial-politik. Karena itu, di Mekkah tidak dikenal istilah raja, sebagai gantinya mereka membentuk Mala’a (lembaga senat yang terdiri dari masing-masing suku). Dengan adanya lembaga ini, semua suku memperoleh kesempatan politik yang sama.
Konteks historis di atas menjelaskan, kehadiran Muhammad di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang diembannya, tapi lebih dari itu beliau memobilisasi dan memimpin gerakan sosial untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan.
Nah, bagaimana kita yang mengaku-ngaku sebagai umat Muhammad? Sudahkah kita mencontoh atau melaksanakan ‘sunnahnya’ (ucapan, perbuatan, dan ketetapan)? Di negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini masih ditemukan banyak paradoks dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam, khususnya yang memiliki jabatan strategis, seharusnya memperjuangkan keadilan, kok nyatanya malah berlomba-lomba melakukan tindakan-tindakan yang amoral. Buktinya bisa kita lihat kasus-kasus di lapangan.
Menurut laporan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebesar 45 persen pada tahun 2005. Data lain menunjukkan, tahun 2005, angka kejahatan perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sungguh memilukan. Organisasi Buruh International (ILO) memaparkan, 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia adalah anak di bawah usia 18 tahun. Angka ini belum termasuk perempuan muda Indonesia yang terjebak bisnis prostitusi di luar negeri. Selain itu, lembaga Transparency International setahun lalu masih mendapuk Indonesia sebagai negara terkorup nomor wahid se-Asia, dan nomor lima sedunia.
Belum lagi bejibun persoalan lainnya, semisal angka buta huruf, pengangguran, kemiskinan, dilema pendidikan, kesenjangan sosial, kekerasan terhadap anak, neo-kolonialisasi dalam bentuk penguasaan asing atas aset-aset negara, kerusakan lingkungan dan ekosistem, dan lain-lain. Di Indonesia, umat muhammad adalah mayoritas, tapi kenapa fenomena ini terus terjadi? Ke mana orang-orang yang mengaku umat Muhammad itu? Secara pribadi, saya malu mengaku menjadi pengikut Muhammad. Dia yang begitu mulia hanya dipuja dan dipuji oleh umatnya, tapi pada abai ajarannya. Jangan-jangan, kita juga hanya ikut-ikutan, tanpa sepenuhnya mengamalkan sunnahnya. Malu dong! []