Thursday, April 20, 2006

Manusia tapi Bukan Sembarang Manusia

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Di negeri ini, dalam satu agama saja, ada banyak aliran. Andai Muhammad hidup kembali, mungkin ia akan tersenyum melihat umatnya yang berbeda-beda dalam mempersepsikan dan memuliakan dirinya.

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu dari corong-corong spiker. Kian dekat kian jernih. Tertebak sudah, itu lagu artis dangdut yang biasa membawakan hit-hit sendu, Evi Tamala. “Selamat malam, duhai kekasih”. Begitu syair yang mampir di telingaku. Malam itu, niat untuk berjoged ria atau bergoyang ria tak tertahan lagi. Biasalah orang kampung, dangdut adalah musik pelipur lara. Senada dengan Project Pop, dangdut is music in my country. Pas di dekat lokasi, seketika aku terhentak. Dendang itu terdengar nyaring sekali. Aku terperanjat. Suara itu bersumber dari spiker masjid. Bukan dari panggung di tengah lapangan, layaknya show dangdut. Tak disangka. Aku salah dengar. Tembang Evi Tamala itu liriknya digubah, “Ya rasulallah, salamun alaik”.

Bagi warga kampung dekat bantaran sungai Bengawan Solo di Gresik, kegiatan ini adalah salah satu contoh persenyawaan agama dengan tradisi. Pelopornya adalah kalangan santri. Karena memang daerah ini berdekatan dengan pondok-pondok pesantren. Dan kita tahu, pesantren di Jawa sangat kental dengan nilai-nilai tradisi. Apalagi, ketika peringatan muludan (maulid nabi Muhammad). Shalawat dan puji-pujian kepada Nabi mendengung di mana-mana. Tak kenal siang, tak kenal malam. Pujian-pujian itu selalu dipanjatkan. “Itu wajar terjadi karena warga NU memandang sosok Muhammad adalah tokoh utama yang patut dipuja dan dipuji.” Ujar ketua tanfidziyah PBNU Said Aqil Siraj.

Menurut tokoh NU yang tinggal di kawasan Ciganjur ini, kalangan NU percaya dengan hadis qudsi yang berbunyi, Laulaka laulaka lama khalaqtu al-aflaq, seandainya tidak karena engkau (Muhammad), saya (Allah) tidak akan menciptakan alam semesta ini. Berarti, Muhammad bukan hanya sekedar nabi terakhir yang memimpin seluruh umat manusia. Lebih dari itu. Dia adalah inspirasi Tuhan untuk menciptakan alam semesta, termasuk nabi-nabi sebelumnya. Hakikat Muhammad, sejatinya, lebih dahulu ketimbang alam ini wujud. Warga nahdliyyin, (sebutan lain warga NU), membahasakan dengan istilah ‘nur Muhammad’ (cahaya Muhammad). Sedang para ulama menyebutnya sebagai ‘wujud antara’, yang qadim (Allah) dan yang hadis (makhluk).

Untuk memperkuat gagasannya, Pak Said, begitu dia akrap dipanggil, menyitir pendapat Imam Ghazali dalam Misykat Al-Anwar. Jika Allah adalah nurul anwar (cahayanya cahaya), maka Muhammad adalah nur (cahaya). Dalam kitab tersebut, Ghazali menyitir firman Allah, Walillahi al-kholqu wa al-amru. Jadi, wujud itu ada tiga, (1) Allah (walillahi), (2) makhluk (al-kholqu), dan (3) perintah (al-amru). Perintah (al-amru) dalam konteks ini, menurut Ghazali, ya nur Muhammad. Karena itu, alam ini diwujudkan melalui nur Muhammad. “Nah, keyakinan atas wujud tiga inilah yang membedakan keyakinan NU, tentang sosok Muhammad, dengan kalangan lain.” Imbuhnya.

Karena dia adalah tokoh yang paling utama, maka menurut NU, harus pula dihormati dengan beragam cara. Antara lain, membaca pujian-pujian kepada Nabi. Kitab yang biasa digunakan adalah Al-Dibai, Al-Barzanji karya Abu Jakfar al-Barzanji, dan Al-Burdah karya al-Bushiri. Mereka menyebutnya dengan berzanjen, dibaan, dan burdahan. Soal pelaksanaan, tiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda. Ada yang malam jum’at, malam sabtu, malam senin, dan lain-lain. “Kitab-kitab itu, secara umum, memuat sejarah nabi, dari lahir sampai wafat. Baik sisi penggambaran sosoknya, akhlaknya, sifatnya, maupun perjuangannya.” Tutur Kiai jebolan Universitas Ummul Qura Makkah.

Alkisah, mulanya kitab kumpulan pujian-pujian itu diperoleh raja Samudra Pasai Sultan Malik al-Dzahir dari saudagar Arab. Yaitu dibarter dengan satu perahu besar berisi rempah-rempah. Satu bendel kitab itu isinya banyak, ada Al-Diba’i, Al-Barzanji, Al-Zahabi, al-Burdah, dan sebagainya. Tapi, sekarang sudah di pisah-pisah.

Selain itu, warga Nahdliyyin juga memuliakan nabi dengan memperingati hari lahirnya, 12 Rabiul Awal. Biasa disebut Maulid Nabi. Orang Jawa umumnya menyebut Muludan. Penghormatan ini berbeda ketika dialamatkan kepada para kiai atau orang-orang saleh. Mereka dimuliakan pada hari wafatnya. Mengapa demikian? “Karena kebajiakan kiai diketahui punya nilai setelah mati, tapi Nabi Muhammad begitu lahir sudah membawa nilai.” Kata Pak Said.

Dalam sejarahnya, maulid Nabi ini digunakan sebagai media dakwah yang efektif untuk Islamisasi. Peringatan maulid ini banyak dikawinkan dengan tradisi masyarakat lokal. Raja-raja Yogjakarta menyebutnya peringatan ‘Sekaten’, yang berasal dari kata Shahadatain, yang berarti dua kesaksian: tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Di cirebon, tradisi ini disebut ‘pelal’, dari kata fadhal, berarti malam itu adalah malam utama. Hemat Pak Said, warga nahdliyyin punya keyakinan, siapapun yang datang saat maulid nabi akan mendapatkan keutamaan atau berkah.

Ismail Yusanto, dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) punya pendapat yang agak berbeda. Bagi kalangan HTI, Muhammad diyakini sebagai nabi yang membawa misi besar. Bukan hanya kepada suatu kaum, seperti nabi-nabi sebelumnya, dia diutus membawa risalah untuk seluruh umat manusia. Jika nabi-nabi sebelumnya diturunkan untuk umat tertentu, maka Muhammad diturunkan dengan membawa risalah Islam untuk seluruh umat manusia. Sambil menyitir ayat Alquran, dia memperkuat pendapatnya, Ya ayyuhan nas inni rasulullah ilaikum jami’a. Wahai manusia, saya adalah utusan Allah untuk kalian semua.

Tidak seperti NU yang sarat pujian dan ritual, untuk memuliakan Muhammad saw., HTI punya empat cara. (1) Bershalawat kepada Nabi. Tidak pake ritual-ritual tertentu, hanya membaca shalawat biasa saja. Bisa sehabis shalat, atau kapanpun dan dimanapun. Sesuai dengan tuntunan Alquran, Inna llaha wamalaikatahu yushaollu alan nabi, ya ayyuhallladzina amanu shollu alaihi wassallimu taslima. (2) Mengimani Muhammad sebagai Nabi yang membawa risalah Islam (aqidah dan syariah). Sekaligus mengimani sebagai nabi terakhir. Sebab, kemuliaan dia itu justru terletak pada risalah dia yang terakhir dan nabi untuk seluruh umat manusia. (3) Melaksanakan ajaran-ajarannya. Melaksanakan ajaran-ajaran Nabi ini tidak hanya dalam urusan agama, juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terakhir (4), memperjuangkan misi Nabi. Ini akan dilakukan, ketika kehidupan bermasyarakat dan bernegara belum diatur sesuai dengan tuntunan nabi. “Dengan kata lain, berjuang untuk menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” Tandasnya sewaktu ditemui Syir’ah di gedung Anakida Lt. 4 depan Universitas Syahid Jakarta.

Berbeda dengan kedua tokoh di atas. Tokoh yang satu ini berhidung mancung, beralis tebal, berbadan gede dan tegap, serta sorot matanya begitu tajam. Nama belakangnya ada gelar al-aththas. Ghalibnya kita bisa menebak lewat nama belakangnya tersebut. Dia pasti keturunan nabi dari garis sayyidina Husain, cucu Rasulullah saw. Sebelum wawancara berlangsung, dia sempat marah-marah. Gara-gara tiap kali diwawancarai media, pendapatnya tak pernah dimuat. “Banyak media yang wawancara sama ana, tapi pendapat ana tidak pernah ditayangin. Masak yang keluar Habib Riziq (ketua Front Pembela Islam) melulu.” Katanya.

Kata Habib, Muhammad adalah matsal al-a’la, teladan yang paling tinggi. Allah berfirman, wama yantiqu ani al-hawa in huwa illa wahyu yuha, semua yang keluar dari mulut Muhammad adalah wahyu. Tidak seperti kita, dia adalah ma’sum (terjaga dari dosa). Karena itu, kita harus patuh, tunduk, dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat Syir’ah berulang kali menyebut nama Muhammad, Habin Fais agak geram. Menyebut Muhammad tanpa kata sayyidina (junjungan) di depannya adalah tidak sopan. “Berarti ente tidak menghormati Nabi.” Tegurnya. Ini persis kasus yang menimpa sahabat. Ketika sahabat nabi menegur Rasulullah dengan ya Muhammad, ya Muhammad (hai Muhammad), maka turun sabda Allah, la taj’alu du’a arrasul kadu’ai bainikum ba’dho. “Jadi, memanggil Nabi dengan sayyidina itu perintah Allah, bukan karena arogansi kecintaan ana.” Katanya.

Ini adalah bagian dari cara memuliakan Rasulullah. Selain itu, kalangan habaib (bentuk jamak kata habib), memuliakannya dengan memperingati hari lahirnya (maulid Nabi). Biasanya acara ini diisi dengan membaca shalawat dan ceramah agama. Shalawat yang dibaca di sini sama dengan yang dibaca warga nahdliyyin. Pada akhir pembicaraan, Habib Faiz sempat menyesali kelakuan umat Islam yang ngakunya cinta Rasulullah, suka mengagung-agungkan, tapi tidak mau menjalankan ajaran-ajarannya. Dia mengistilahkan mereka ini dengan ‘hubbul kadzib’, cintanya bohong-bohongan, atau hanya di mulut saja. Contoh, budaya korupsi, diskriminasi rakyat kecil, perdagangan perempuan, dsb. “Negara ini menganut asas kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi prakteknya malah mlenceng dari prinsip keadilan dan kesusilaan.” Tegas Habib.

Di sela-sela kesibukannya yang padat di Yogyakarta, Wawan Gunawan salah satu ketua divisi di Majlis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah, akhirnya berhasil diwawancarai Syir’ah, meski via email. Muhammadiyah memandang, Muhammad adalah Nabi terakhir yang mesti dijadikan suri tauladan. Penetapan ini harus melalui syahadatu al-risalah (pengakuan risalahnya), dengan mengucapan wa asyhadu anna muhammadan Rasulullah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

Lebih lanjut, bagi warga Muhammadiyah, Muhammad adalah satu-satunya tokoh sentral yang harus dirujuk. Persepsi ini bisa ditelusuri dari nama organisasi keislaman terbesar setelah NU ini. Yaitu Muhammad plus ya nisbah (Muhammadiyah), berarti: pengikut Muhmmad. Jadi, sentralitas Muhammad ini merasuk ke seluruh kiprah, aktifitas, dan cita-cita Muhammadiyah.

Secara khusus, Muhammadiyah tidak punya ritual untuk memuliakan Muhammad. Menurut Wawan, doktrin Muhammadiyah untuk memuliakan Nabi saw. adalah dengan merujuknya habis-habisan, baik secara tekstual (harfiyah) maupun secara kontekstual. Satu misal. Saat ini Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu organisasai besar karena amal usahanya. Yaitu dengan mendirikan sekolah TK, SD, SMP. SMA, Perguruan Tinggi, dan Rumah Sakit di seluruh Nusantara. Itulah salah satu doktrin Muhammadiyah memuji Nabi. “Ini bisa dikatakan sebagai model bershalawat kontekstual ala Muhammadiyah” Katanya.

Tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berkeyakinan, Muhammad adalah leader (pimpinan). Dia adalah pemimpin umat dan suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, klaim menjadi pengikut nabi, harus diimplementasikan mengikuti sunnah-sunnah nabi dalam seluruh aspek kehidupan. Kita tidak hanya menempatkan nabi sebagai sosok yang kita hormati dan kita puji sebagai bagian dari ibadah, tapi secara kontekstual dia hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. “Inilah maksud menjadikan muhammad sebagai qudwah (panutan) dan pemimpin.” Kata Fauzan Al-Anshari Ketua Departemen Informati dan Data MMI.

Sentralitas tokoh Muhammad adalah nomor dua setelah Allah. Dia adalah sumber hukum Islam. Kalau konteksnya sekarang ya Alquran. Dengan demikian, al-Quran berfungsi dalam kehidupan sebagai ‘rahmatan lil alamin’. Fauzan ingin menjelaskan, bahwa pengertian rahmatan lil alamin bagi MMI berbeda dengan kelompok Islam lain. Menurutnya, rahmatan lil alamin ini akan terwujud setelah kita melakukan apa yang Rasulullah lakukan. Yaitu dengan menerapkan syariat, dari pribadi, keluarga, lingkungan sampai ke negara.

Dalam memuliakan Muhammad, MMI mirip Muhammadiyah, menghidupkan sunnahnya (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi) secara total. MMI tidak punya upacara khusus. “Melakukan tindakan di luar sunnah Muhammad dianggap bid’ah (hal baru dalam urusan peribadatan). Dan semua bid’ah itu dihukumi sesat (kullu bid’ah dhalalah).” Kata pria pengagum penulis Tafsir Fi Dhilalil Quran Sayyid Qutb.

Kalangan Syi’ah, diwakili Jalaluddin Rahmat ketua dewan syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), berpendapat: Muhammad adalah utusan Tuhan yang ma’sum secara mutlak. Syi’ah menolak anggapan Ahlus Sunnah (sunni) yang memandang Rasulullah saw. hanya ma’sum dalam menyampaikan ajaran ilahi. Menurut sunni, kata kang Jalal, Rasulullah pernah beberapa kali berbuat salah dan ditegur Allah. Misalnya, nabi bermuka masam karena datang seorang buta, salah dalam urusan tawanan perang Badar, melaknat orang yang tidak patut dilaknat, dan sebagainya. Syi’ah menolak anggapan Sunni, Rasulullah berijtihad dan ijtihadnya bisa benar bisa salah. Karena itu, Syi’ah mengikuti Rasulullah baik dalam urusan agama maupun urusan dunia.

Sunni meyakini hadis, antum a’lamu bi umuri dunyakum (kamu lebih tahu dalam urusan dunia) sebagai bentuk anjuran Rasulullah kepada umatnya untuk berijtihad sendiri dalam urusan dunia. Bagi Syi’ah, seluruh prilaku Nabi harus diikuti. Tidak hanya dalam urusan agama (aqidah dan syariah), sebagaimana keyakinan Sunni. “Dia adalah Tokoh panutan tertinggi dan tak seorang pun di antara manusia yang melebihi dia. Syi’ah menolak setiap riwayat yang meletakkan siapapun di atas Nabi saw.” Jawab ketua Yayasan Muthahhari Bandung ini ketika ditanya seberapa sentral ketokohan Muhammad.

Syi’ah punya banyak kemiripan dengan NU dalam memuliakan Muhammad. Dengan meminjam istilah Gus Dur, Kang Jalal berujar, “Secara kultural NU itu Syiah.” Syiah sangat setuju dengan cara-cara pemuliaan Nabi berbasis tradisi. Semisal sekaten, muludan, membaca diba atau barjanji, dan sebagainya.

Kalau tadi ada Muhammadiyah, sekarang kita simak pandangan Ahmadiyah. Kedua lembaga ini terinspirasi dari nama nabi Muhammad (Muhammad atau Ahmad), yang sama-sama menambahkan ya nisbah dibelakangnya. Sesuai dengan namanya, kelompok Ahmadiyah ingin mengatakan, “Jika ingin melihat Islam atau akhlak Rasulullah maka lihatlah kami, meski kami juga menyadari tidak bisa mempraktekkan seratus persen.” Kata Zafrullah A. Pontoh, Koordinator Mubaligh Ahmadiyah DKI Jakarta.

Kelompok ini dijustifikasi MUI sebagai aliran sesat. Makanya, keberadaan mereka di Indonesia terlunta-lunta. Markasnya digempur, penganutnya yang tersebar di pelosok nusantara mengalami banyak intimidasi. Mulai dari teror sampai dengan pengusiran secara paksa. Tak ayal, jika mereka pun harus mencari suaka di luar negeri. Karena menurutnya, Indonesia tidak memberikan perlindungan. Begitulah kira-kira jika digambarkan keluh kesah yang dicurhatkan Zafrullah Pontoh koordinator Muballigh Ahmadiyah DKI Jakarta kepada Syir’ah di Grand Alia Cikini Jakarta.

Di temani jus jeruk dan kentang goreng, dia terus bertutur. Wujud yang paling paripurna setelah Allah SWT adalah Muhammad. Alquran mensifatinya dengan: ala khuluqin adzim (berakhlak mulia). Dibanding makhluk yang lain, Muhammad jauh lebih sempurna. Termasuk dibanding Mirza Ghulam Ahamad, yang juga dianggap sebagai Nabi setelah Muhammad. Nabi yang terlahir di India ini pernah menuturkan, “Saya ini seperti debu di kaki Nabi Muhammad.” Jadi tidak ada apa-apanya jika dibanding Rasulullah Muhammad? Inilah yang sering tidak difahami orang-orang. “Nabinya sama-sama Muhammad kok ada yang merasa paling benar, yang lain disalahkan.” Tukas penikmat cerita detektif ini.

Lebih lanjut, Zafrullah memaparkan, untuk memuliakan Muhammad, Ahmadiyah tak kenal peringatan maulid nabi. Kalangan ini menyebutnya dengan sirah nabawiyah (sejarah nabi). Tradisi ini kapanpun bisa diperingati, tidak menunggu momen tertentu. “Kalau hari lahir kan hanya bisa kita peringati setahun sekali, tapi kalau ‘sejarah hidup’ kapanpun bisa kita peringati, dan kami upayakan agar bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seperti di NU yang pake tumpeng dan lain-lain, sirah nabawiyah dilaksanakan dengan mengadakan ceramah-ceramah, untuk mengungkap pribadi beliau dari berbagai segi. []

awal aku nulis liputan lepas

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes