Thursday, April 20, 2006

Punggawa-punggawa Islam Sepeninggal Muhammad

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Ketika Rasulullah Muhammad masih hidup, masalah apapun
dan kapanpun bisa terselesaikan. Dia berperan sebagai petunjuk
jalan dan rujukan utama. Lalu, siapa yang menggantikan
ketokohan Muhammad saw., setelah dia tiada?

Ribuan manusia dari berbagai penjuru berbondong-bondong menuju Karbala, kota suci Islam Syi’ah di Irak. Memukuli diri dengan rantai, pedang, cambuk, dan benda-benda lain. Mata yang berkaca-kaca, pekik kepedihan, tetesan darah, tangis yang meraung-raung, tergambar di mana-mana. Mereka mengenang penderitaan Husein ibn Ali, cucu Rasulullah yang tewas dalam pertempuran di padang Karbala melawan pasukan Muawiyah. Tak tangung-tanggung, ritual ini dijalani selama sepuluh hari, dengan pawai berjalan kaki melintasi Karbala.

Bagi mereka, tragedi Karbala membawa bekas yang luar biasa. Meski pemerintah Irak melarang ritual ini, apa boleh buat, nyatanya peraturan itu tidak pernah digubris. “Tradisi peringatan syahidnya imam Husain di atas menjadi agenda rutin Syi’ah, termasuk di Indonesia. Hanya caranya saja yang berbeda,” kata Jalaluddin Rahmat, ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi).

Selain Muhammad, Syi’ah mempunyai tokoh-tokoh sentral. Meski mirip, sama-sama ma’sum (terbebas dari dosa), mereka hanyalah penerus perjuangan Rasulullah. Tidak menggantikan posisinya. Mereka disebut Ahlu al-Bait (keturunan nabi Muhammad) atau populer dengan sebutan Imamah (kepemimpinan). Garis imamah ini dipegang oleh orang-orang suci dari keturunan Rasulullah saw. yang berjumlah dua belas imam.

Untuk meyakinkan, Kang Jalal, begitu biasa disapa, dia mengutip firman Allah, “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlu al-Bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab:33). Dia juga menyitir sabda Nabi yang lain: “Aku tinggalkan bagi kalian dua pustaka, jika kalian berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Alquran dan Ahlul Baitku. (Shahih al-Turmudzi 5: 328).

“Untuk memuliakan imam-imam tersebut, Syi’ah mempunyai ritual-ritual khusus.” kata Kang Jalal. Biasanya digunakan untuk memperingati hari lahir, hari syahid, dan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan para imam. Antara lain, yang paling marak, mengenang syahidnya imam Husain. Diperingati pada hari syahidnya (10 Muharram), biasa disebut peringatan Karbala atau Asyura. Dan juga, pada 40 hari syahidnya, lazim disebut Arba’in Imam Husain. Momentum ini bukan saja sebagai hari duka cita, tapi juga sebagai kenangan terhadap perjuangan melawan kezaliman dan penindasan. Kisah syahidnya disebut ‘maqtal’, dan lagu duka citanya disebut ‘ma’tam’.

Selain itu, mereka juga berziarah ke makam para imam dan syuhada yang gugur dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. “Belakangan ini, peringatan Asyura dijadikan momen untuk menghidupkan semangat revolusi untuk perubahan sosial, atau dengan berkhidmat kepada fakir miskin.” Jelas cendekiawan muslin yang juga suka memuliakan Muhammad saw. dan keluarganya dengan membaca salawat, berziarah, dan membaca buku-buku yang memuat perjuangan mereka.

Dalam hal ini, NU salah satu organisasi Islam di Indonesia yang beraliran Ahlus Sunnah (sunni), sangat berbeda dengan Syi’ah. “Setelah Muhammad, warga NU tidak punya tokoh sesentral imam-imam layaknya Syi’ah,” terang KH. Said Aqil Siraj ketua tanfidziyah PBNU. Warga NU, dalam ritual ibadah keseharian, akrab dengan nama Syekh Abdul Qadir al-Jaelani (1077 M-1166 M). Posisi tokoh yang meninggal di Baghdaad ini, bagi warga NU, bukan sebagai pengganti atau penerus Nabi. “Kalangan NU meyakini tokoh ini sebagai sulthanul auliya (rajanya para wali) atau wali kutub,” kata Pak Said.

Maklumlah, lanjut Pak Said, warga nahdliyyin sangat percaya dengan tawassul atau wasilah, berdoa kepada Allah melalui perantara orang saleh atau wali. Kalau kita amati, setiap acara yang diselenggarakan NU, selalu ditutup dengan doa plus bacaan surat Al-Fatihah yang dikirim kepada arwah atau roh orang-orang yang sudah meninggal. Setelah kepada Rasulullah Muhammad saw. dan nabi-nabi yang lain, Al-Fatihah dikirim secara khusus (khusushan) kepada tokoh yang juga dikenal sebagai pendiri tarekat Qadiriyah ini.

Untuk memuliakannya, urai Pak Said, ada dua cara. (1) Membaca manaqibnya (sejarah hidupnya), yang biasa disebut ‘tradisi manakiban’. Kitab yang digunakan acuan antara lain: Al-Ghun’yah dan Futuh al-Ghaib karyanya sendiri. Tradisi ini digunakan dalam pelbagai kesempatan, antara lain acara khitanan, syukuran, pernikahan, atau tanpa ada momen-momen tertentu. (2) Memperingati hari wafatnya (haul). Tradisi ini ghalibnya diadakan pada bulan rajab.

Lain Syi’ah, lain NU, lain pula dengan Ahmadiyah. Menurut koordinator muballigh Ahmadiyah DKI Jakarta Zafrullah A. Pontoh, meski kesentralan Muhammad tak terkalahkan oleh siapapun, beliau bukanlah Nabi yang terakhir. Ahmadiyah berkeyakinan pintu kenabian itu masih terbuka lebar. Tapi ingat, yang dimaksud nabi di sini adalah nabi yang tidak membawa syariat baru, atau nabi yang tidak menggantikan sentralitas kenabian Muhammad. Nabi model ini masih bisa datang setelah Muhammad, kapanpun dan siapapun.

Tokoh Ahmadiyah yang doyan ikan laut ini memperkuat pandangannya dengan mengutip firman Allah, “Waman yuti’illaha warrasula faulaika ma’alladzina an’amallahu minan nabiyyin, wa siddiqin, wa shuhada, wa shalihin, wa hasuna ulaika rafiqa”. (QS. Al-Nisa: 69). Menurut keyakinan Ahmadiyah, siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasulnya dengan sungguh-sungguh maka ia dapat mencapai salah satu dari empat tahap tingkatan rohani: (1) orang-orang saleh (shalihin), (2) para syuhada (shuhada), (3) orang yang dapat dipercaya (sidiqqin), bahkan (4) tingkat Nabi (nabiyyin).

Nabi setelah Rasulullah Muhammad, menurut keyakinan Ahmadiyah, adalah Ghulam Ahmad (1835-1908). Dia diyakini telah sampai pada tingkat derajat kenabian. Tahun 1876, kali pertama dia mendapatkan wahyu. Dan tahun 1889, dia mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi sekaligus al-Masih. Wahyu-wahyunya dihimpun dalam kitab Tadzkirah. Kitab ini dibuat, bertahun-tahun setelah kematiannya, atas prakarsa Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, tahun 1935. Wahyu-wahyu itu diyakini benar adanya, sebagaimana firman Allah, “Ma kana libasyarin an yukallimahullahu illa wahya.” (Allah tidak mungkin bercakap-cakap dengan manusia kecuali dengan perantara wahyu).

Untuk memuliakannya, kata Zafrullah, kita memanggilnya dengan hadhrat masih mau’ud (yang mulia Isa al-Masih yang ditunggu-tunggu). Meski dia Nabi, kita tidak pernah memanggilnya dengan gelar Nabi. Selain itu, ada peringatan khusus saat pendakwaan beliau (hari masih mau’ud), 23 Maret. Lazimnya peringatan ini diisi dengan ceramah atau pengajian.

Kepercayaan ini, berbeda dengan Sunni, yang menganggap al-Masih adalah Nabi Isa. Menurut Ahmadiyah, lanjut Zafrullah, berdasarkan hadis yang kami teliti, nabi Isa wafat pada usia 120 tahun. Tapi pada sisi lain, Rasulullah Muhammad menjanjikan bahwa diakhir zaman akan datang al-Masih. Lalu siapakah dia? Karena itu, kami percaya, yang datang bukan Nabi Isa, tapi wujud lain yang punya sifat kesamaan dengan Isa, yaitu Ghulam Ahmad. Kesamaan-kesamaan itu antara lain: Pertama, keduanya sama-sama tidak membawa ajaran baru. Isa mengajarkan ajaran Musa, dan Ghulam Ahmad mengajarkan ajaran Muhammad. Kedua, keduanya sama-sama lahir setelah 14 abad dari nabi sebelumnya. Ketiga, keduanya sama-sama lahir ketika tanah kelahirannya terjajah. Isa lahir tatkala Palestina terjajah, Ghulam pun lahir ketika tanah India terjajah.

“Selain itu, kita juga memuliakan dengan mengamalkan ajaran-ajarannya. Misalnya, bagaimana sikap Ghulam Ahmad terhadap orang-orang miskin, menghadapi musuh, menegakkan keadilan, dan sebagainya.” Ujar alumnus jurusan studi Islam Universitas Ahmadiyah di Pakistan.

Hadirnya tokoh-tokoh di atas, bagi masing-masing kalangan, tentu punya makna spesial dan kedudukan tersendiri. Namun, fenomena ini tidak terjadi di HTI, MMI, maupun Muhammadiyah. Mereka tidak punya tokoh sentral selain atau setelah Muhammad, sesentral kalangan Syi’ah, NU, dan Ahmadiyah. Kalaupun toh ada, mereka menunjuk para sahabat dan khulafa arrasyidin. Atau, setidaknya, pemimpin atau pendiri organisasi masing-masing. Ini diakui oleh Ismail Yusanto (HTI), Fauzan al-Anshari (MMI), dan Wawan Gunawan (Muhammadiyah). []

Syir'ah, 52/April/2006

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes