Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Prilaku sosial masyarakat Indonesia akhir-akhir ini begitu merisaukan. Rasa solidaritas sosial gampang terkikis oleh kepentingan dan egosentris pribadi. Jangankan antar agama, dalam satu agama saja, orang-orang dengan mudah mengolok-olok: ini lebih baik itu lebih buruk, ini selamat itu sesat, ini benar itu salah, dan seterusnya. Mengapa semua ini bisa terjadi? Padahal, semua agama pasti mengajarkan umatnya tentang ‘kebajikan’.
Hemat saya, solidaritas antar sesama manusia kini mengalami degradasi. Ini sangat terkait dengan rendahnya moralalitas warga negara. Perlu diketahui, moral di sini tidak hanya bicara seputar ‘disiplin tubuh’, batas-batas aurat. Tapi, ia bermakna luas dan menyeluruh, sebagaiamana yang diemban Muhammad saw. saat pertama kali ditugaskan untuk menyampaikan risalah: liutammima makarima al-akhlaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.
Pada saat-saat awal berdakwah, Rasulullah tidak langsung mengajarkan syari’at: semisal shalat, puasa, zakat, dll. Tapi, beliau mengajarkan umatnya tentang etika secara universal. Dapatkah kita memaknai akhlak atau moral dalam konteks ini hanya sebatas aturan aurat: sensual apa tidak sensual, mengundang syahwat atau tidak, menimbulkan fitnah atau tidak, dan seterusnya. Tidak sesederhana itu. Jika makna moral hanya disempitkan pada wilayah itu, maka Nabi tidak perlu lama-lama dalam menapaki lika-liku berdakwah.
Akhlak adalah prilaku sosial seseorang. Biasa juga disebut moral atau budi pekerti. Karena sifatnya yang universal, Abdullah Nashin Ulwan dalam al-takaful al-ijtima’i fi al-Islam merumuskannya dengan sebutan solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima’i). Kehadiran rumusan ini tak lain untuk menjembatani pluralitas individu dan kepentingan dalam suatu masyarakat. Agar moralitas tetap tegak dan tidak diinjak-injak, maka diperlukan pemahaman tentang solidaritas sosial.
Secara terminologi, solidaritas sosial berarti gambaran fenomena masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas. Di mana seluruh warga masyarakat—tak peduli dari agama, suku, golongan, kelas, atau identitas apapun—saling bahu membahu, tolong menolong, dan bekerjasama dalam mewujudkan hal-hal yang positif demi kemaslahatan bersama. Semangat ini sebagaimana tercermin dalam firman Tuhan yang menganjurkan: tolong meolong dalam kebaikan dan bukan dalam hal keburukan dan nista. (QS. 5: 2).
Rasulullah menggambarkan solidaritas sosial ini, sebagaimana diceritakan Imam al-Bukhari, layaknya sekelompok orang di atas kapal. Mereka akan mengundi, siapa yang berada di dek atas dan siapa yang di bawah. Setelah itu, ketika yang di bawah ingin mengambil air minum, maka ia harus melewati mereka yang di atas, bahkan tidak sekedar melewati tapi juga minta bantuannya.
Karena sering dipersulit, salah seorang di dek bawah punya usul, “Bagaimana kalau kita belah saja perahu ini menjadi dua, sehingga kami yang di bawah tidak merepotkan yang di atas?”
Nabi pun melanjutkan cerita sambil mengomentari pertanyaan di atas. Kalau keinginan mereka itu dituruti, tentu semuanya akan celaka, tenggelam. Tapi, jika mereka saling berpegang tangan dan bekerja sama, pasti mereka akan selamat.
Begitu kuatnya perumpamaan Nabi saat memaparkan kepada umatnya tentang urgensi solidaritas sosial. Meski sudah biasa terdengar, konsep ini belum tercerna dengan baik. Lazimnya, orang memaknai solidaritas sosial hanya pada lingkup sisi kehidupan tertentu saja, seperti mengulurkan tangan kepada fakir miskin, orang-orang yang terpinggirkan, dan kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan.
Bagi saya, tidak semudah itu. Mengapa? Sebab, banyak orang yang gemar memberi santunan kepada fakir miskin, korban bencana alam, anak-anak jalanan, tapi hanya untuk mencari muka dan simpatik. Sementara itu, kita dikelabuhi bahwa ‘materi’ yang mereka gunakan dalam aksi sosial itu adalah uang hasil merampok negara.
Ini senada dengan ‘teori dramaturgi’ ala sosiolog kondang abad ke-20 Erving Goffman. Yaitu sesuatu yang dipentaskan di atas panggung itu—ghalibnya—amat sangat bertolak belakang dengan kondisi di belakang panggung. Apa yang tampak dipermukaan dan ditonton oleh khalayak tak ubahnya sepenggal kisah drama atau sandiwara yang hilang begitu saja usai lakon dipentaskan.
Karena itu, solidaritas sosial harus meliputi dua hal: 1) pembentukan jati diri atau kepribadian dan 2) pembentukan prilaku sosial. Keduanya harus berjalan selaras, serasi, dan seimbang. Sebaik apapun kepribadian seseorang jika ia tidak mampu mengaktualkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak masuk kategori solidaritas sosial. Begitu pula sebaliknya. Berarti, kualitas individu dan prilaku sosial seseorang harus integral dalam satu nafas kehidupan.
Kalau begitu, bermoral sama dengan berjiwa solidaritas sosial. Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan, bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik-buruk atau berakhlak baik. Prinsip ‘baik-buruk’ tentu tidak mungkin hanya melingkupi diri seseorang secara individual, tapi cakupannya luas, antara individu dengan lingkungan. Berarti, kita dapat meraba apakah ‘si fulan’ itu bermoral atau tidak, yaitu dengan melihat kepribadiannya dan tindakan sosial di masyarakat—bukan dengan cara sekadar melihat gaya berpakaiannya.
Prinsip-prinsip solidaritas sosial yang mendasar dalam Islam adalah, pertama, ‘pemerataan harta’ untuk kepentingan sosial. Saking pentingnya, al-Quran menyebut harta dengan istilah ‘kebaikan’ (khair). Apabila seseorang di antara kamu kedatangan maut, lalu meninggalkan ‘kebaikan’, maka diwajibkan atas kamu untuk berwasiat kepada orang tua dan para kerabat. (QS. 2: 180). Pada ayat lain juga disebutkan, sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada ‘kebaikan’. (QS. 100: 8).
Makna kebaikan yang dimaksud dalam dua ayat tersebut tak lain adalah ‘harta’. Setidaknya ayat tersebut menyiratkan makna, bahwa harta akan bernilai jika: 1) diperoleh dari jalan yang baik dan 2) didermakan untuk kebaikan. Karenanya, Islam melarang keras penumpukan harta untuk memperkaya diri. Surat Al-Humazah ayat 1-4 mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang gemar harta dan tidak punya jiwa peduli sosial adalah termasuk golongan orang-orang yang culas.
Misal lain, soal relasi pengusaha dan karyawan atau buruh dan majikan, Rasulullah Muhammad saw. dengan tegas menggariskan, “Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya mengering.” (HR. al-Bukhari). Dalam hadist lain juga disebutkan, “Ada tiga kelompok manusia yang aku musuhi kelak di hari kiamat, 1) orang yang ingkar janji, 2) orang yang melakukan perdagangan manusia, 3) orang yang mengurangi atau tidak membayar upah buruh.” (HR. Ibn Majah dan Thabrani).
Kedua, menghargai orang lain. Manusia tidak mungkin mempunyai pandangan hidup atau pendapat yang sama. Perbedaan adalah suatu keniscayaan. Untuk itu, Nabi telah bersabda, ikhtilafu ummati rahmatun, perbedaan yang terjadi di antara umatku adalah rahmat. Tugas kita adalah bagaimana merajut perbedaan-perbedaan itu menjadi melodi kebersamaan yang indah dan harmonis. Al-Qur’an membahasakan dengan istilah ‘lita’arafu’, satu sama lain saling mengenal, bukan jotos-jotosan.
Maka, kita tidak dapat membenarkan tindakan kelompok-kelompok yang mudah mengumbar ‘amarah’. Apalagi, sampai memaksakan kehendaknya dengan cara-cara kekerasan, meski dengan dalih penegakan moralitas dan agama. Gregory Baum (1999) seorang teolog dari McGill University Kanada menegaskan, bahwa otentisitas agama itu justru terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris. Jika komitmen ini hilang, maka sirnalah sudah hakekat eksistensi agama.
Jadi, moralitas tidak dapat diukur dengan kaca mata batas-batas tubuh (aurat) maupun aturan fiqih an sich. Tapi, moralitas berarti juga solidaritas sosial atau maslahah secara kafah. Dari sini, kemudian timbul pertanyaan otokritik. Sudahkah kita merenung dan berkaca, apakah diri kita termasuk orang-orang yang bermoral? []
sumber: majalah Al-Mihrab, Semarang, Jawa Tengah.
Prilaku sosial masyarakat Indonesia akhir-akhir ini begitu merisaukan. Rasa solidaritas sosial gampang terkikis oleh kepentingan dan egosentris pribadi. Jangankan antar agama, dalam satu agama saja, orang-orang dengan mudah mengolok-olok: ini lebih baik itu lebih buruk, ini selamat itu sesat, ini benar itu salah, dan seterusnya. Mengapa semua ini bisa terjadi? Padahal, semua agama pasti mengajarkan umatnya tentang ‘kebajikan’.
Hemat saya, solidaritas antar sesama manusia kini mengalami degradasi. Ini sangat terkait dengan rendahnya moralalitas warga negara. Perlu diketahui, moral di sini tidak hanya bicara seputar ‘disiplin tubuh’, batas-batas aurat. Tapi, ia bermakna luas dan menyeluruh, sebagaiamana yang diemban Muhammad saw. saat pertama kali ditugaskan untuk menyampaikan risalah: liutammima makarima al-akhlaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.
Pada saat-saat awal berdakwah, Rasulullah tidak langsung mengajarkan syari’at: semisal shalat, puasa, zakat, dll. Tapi, beliau mengajarkan umatnya tentang etika secara universal. Dapatkah kita memaknai akhlak atau moral dalam konteks ini hanya sebatas aturan aurat: sensual apa tidak sensual, mengundang syahwat atau tidak, menimbulkan fitnah atau tidak, dan seterusnya. Tidak sesederhana itu. Jika makna moral hanya disempitkan pada wilayah itu, maka Nabi tidak perlu lama-lama dalam menapaki lika-liku berdakwah.
Akhlak adalah prilaku sosial seseorang. Biasa juga disebut moral atau budi pekerti. Karena sifatnya yang universal, Abdullah Nashin Ulwan dalam al-takaful al-ijtima’i fi al-Islam merumuskannya dengan sebutan solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima’i). Kehadiran rumusan ini tak lain untuk menjembatani pluralitas individu dan kepentingan dalam suatu masyarakat. Agar moralitas tetap tegak dan tidak diinjak-injak, maka diperlukan pemahaman tentang solidaritas sosial.
Secara terminologi, solidaritas sosial berarti gambaran fenomena masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas. Di mana seluruh warga masyarakat—tak peduli dari agama, suku, golongan, kelas, atau identitas apapun—saling bahu membahu, tolong menolong, dan bekerjasama dalam mewujudkan hal-hal yang positif demi kemaslahatan bersama. Semangat ini sebagaimana tercermin dalam firman Tuhan yang menganjurkan: tolong meolong dalam kebaikan dan bukan dalam hal keburukan dan nista. (QS. 5: 2).
Rasulullah menggambarkan solidaritas sosial ini, sebagaimana diceritakan Imam al-Bukhari, layaknya sekelompok orang di atas kapal. Mereka akan mengundi, siapa yang berada di dek atas dan siapa yang di bawah. Setelah itu, ketika yang di bawah ingin mengambil air minum, maka ia harus melewati mereka yang di atas, bahkan tidak sekedar melewati tapi juga minta bantuannya.
Karena sering dipersulit, salah seorang di dek bawah punya usul, “Bagaimana kalau kita belah saja perahu ini menjadi dua, sehingga kami yang di bawah tidak merepotkan yang di atas?”
Nabi pun melanjutkan cerita sambil mengomentari pertanyaan di atas. Kalau keinginan mereka itu dituruti, tentu semuanya akan celaka, tenggelam. Tapi, jika mereka saling berpegang tangan dan bekerja sama, pasti mereka akan selamat.
Begitu kuatnya perumpamaan Nabi saat memaparkan kepada umatnya tentang urgensi solidaritas sosial. Meski sudah biasa terdengar, konsep ini belum tercerna dengan baik. Lazimnya, orang memaknai solidaritas sosial hanya pada lingkup sisi kehidupan tertentu saja, seperti mengulurkan tangan kepada fakir miskin, orang-orang yang terpinggirkan, dan kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan.
Bagi saya, tidak semudah itu. Mengapa? Sebab, banyak orang yang gemar memberi santunan kepada fakir miskin, korban bencana alam, anak-anak jalanan, tapi hanya untuk mencari muka dan simpatik. Sementara itu, kita dikelabuhi bahwa ‘materi’ yang mereka gunakan dalam aksi sosial itu adalah uang hasil merampok negara.
Ini senada dengan ‘teori dramaturgi’ ala sosiolog kondang abad ke-20 Erving Goffman. Yaitu sesuatu yang dipentaskan di atas panggung itu—ghalibnya—amat sangat bertolak belakang dengan kondisi di belakang panggung. Apa yang tampak dipermukaan dan ditonton oleh khalayak tak ubahnya sepenggal kisah drama atau sandiwara yang hilang begitu saja usai lakon dipentaskan.
Karena itu, solidaritas sosial harus meliputi dua hal: 1) pembentukan jati diri atau kepribadian dan 2) pembentukan prilaku sosial. Keduanya harus berjalan selaras, serasi, dan seimbang. Sebaik apapun kepribadian seseorang jika ia tidak mampu mengaktualkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak masuk kategori solidaritas sosial. Begitu pula sebaliknya. Berarti, kualitas individu dan prilaku sosial seseorang harus integral dalam satu nafas kehidupan.
Kalau begitu, bermoral sama dengan berjiwa solidaritas sosial. Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan, bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik-buruk atau berakhlak baik. Prinsip ‘baik-buruk’ tentu tidak mungkin hanya melingkupi diri seseorang secara individual, tapi cakupannya luas, antara individu dengan lingkungan. Berarti, kita dapat meraba apakah ‘si fulan’ itu bermoral atau tidak, yaitu dengan melihat kepribadiannya dan tindakan sosial di masyarakat—bukan dengan cara sekadar melihat gaya berpakaiannya.
Prinsip-prinsip solidaritas sosial yang mendasar dalam Islam adalah, pertama, ‘pemerataan harta’ untuk kepentingan sosial. Saking pentingnya, al-Quran menyebut harta dengan istilah ‘kebaikan’ (khair). Apabila seseorang di antara kamu kedatangan maut, lalu meninggalkan ‘kebaikan’, maka diwajibkan atas kamu untuk berwasiat kepada orang tua dan para kerabat. (QS. 2: 180). Pada ayat lain juga disebutkan, sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada ‘kebaikan’. (QS. 100: 8).
Makna kebaikan yang dimaksud dalam dua ayat tersebut tak lain adalah ‘harta’. Setidaknya ayat tersebut menyiratkan makna, bahwa harta akan bernilai jika: 1) diperoleh dari jalan yang baik dan 2) didermakan untuk kebaikan. Karenanya, Islam melarang keras penumpukan harta untuk memperkaya diri. Surat Al-Humazah ayat 1-4 mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang gemar harta dan tidak punya jiwa peduli sosial adalah termasuk golongan orang-orang yang culas.
Misal lain, soal relasi pengusaha dan karyawan atau buruh dan majikan, Rasulullah Muhammad saw. dengan tegas menggariskan, “Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya mengering.” (HR. al-Bukhari). Dalam hadist lain juga disebutkan, “Ada tiga kelompok manusia yang aku musuhi kelak di hari kiamat, 1) orang yang ingkar janji, 2) orang yang melakukan perdagangan manusia, 3) orang yang mengurangi atau tidak membayar upah buruh.” (HR. Ibn Majah dan Thabrani).
Kedua, menghargai orang lain. Manusia tidak mungkin mempunyai pandangan hidup atau pendapat yang sama. Perbedaan adalah suatu keniscayaan. Untuk itu, Nabi telah bersabda, ikhtilafu ummati rahmatun, perbedaan yang terjadi di antara umatku adalah rahmat. Tugas kita adalah bagaimana merajut perbedaan-perbedaan itu menjadi melodi kebersamaan yang indah dan harmonis. Al-Qur’an membahasakan dengan istilah ‘lita’arafu’, satu sama lain saling mengenal, bukan jotos-jotosan.
Maka, kita tidak dapat membenarkan tindakan kelompok-kelompok yang mudah mengumbar ‘amarah’. Apalagi, sampai memaksakan kehendaknya dengan cara-cara kekerasan, meski dengan dalih penegakan moralitas dan agama. Gregory Baum (1999) seorang teolog dari McGill University Kanada menegaskan, bahwa otentisitas agama itu justru terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris. Jika komitmen ini hilang, maka sirnalah sudah hakekat eksistensi agama.
Jadi, moralitas tidak dapat diukur dengan kaca mata batas-batas tubuh (aurat) maupun aturan fiqih an sich. Tapi, moralitas berarti juga solidaritas sosial atau maslahah secara kafah. Dari sini, kemudian timbul pertanyaan otokritik. Sudahkah kita merenung dan berkaca, apakah diri kita termasuk orang-orang yang bermoral? []
sumber: majalah Al-Mihrab, Semarang, Jawa Tengah.