Di tengah-tengah keprihatinan bangsa Indonesia soal lingkungan hidup. Dari ujung pantai Utara pulau Jawa, ada sosok kiai yang mampu melakukan perubahan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya lewat budidaya tanaman.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Akibat harga bahan bakar minyak naik, sejak Oktober 2005, masyarakat pesisir daerah Paciran Lamongan Jawa Timur jadi kelimpungan. Mereka yang sehari-hari sebagai nelayan begitu terpukul. Harga bahan bakar tak sepadan dengan harga penjualan ikan hasil tangkapan. Kata pepatah, lebih besar pasak daripada tiang.
Untung, mereka diselamatkan buah mengkudu. Lho buah kok bisa menyelamatkan? Bukan begitu. Mereka terinspirasi dari budidaya mengkudu yang digagas oleh Abdul Ghafur. Pria yang sehari-hari sebagai pengasuh pesantren Sunan Drajat ini mengajak masyarakat untuk membudidayakan mengkudu. Menurutnya, budidaya mengkudu itu mudah. Dan juga, kandungan vitamin C-nya yang tinggi, bagus untuk tubuh melawan bakteri dan virus.
Di pesantrennya, ia membudidayakan mengkudu di atas lahan seluas 40 hektar. Tanaman ini tidak gampang mati meski di daerah yang kering, seperti di Lamongan. Ide ini sejalan dengan keinginan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Hanya saja, penanaman mengkudu baru berhasil ketika kiai Ghofur, sapaan akrabnya, mampu menarik hati masyarakat untuk melakukan budidaya jenis tanaman ini.
Kiai kelahiran Paciran, 12 Februari 1949, ini juga telah membangun industri pengolahan dan pemasaran mengkudu. Jangkauan pemasarannya tidak hanya dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Untuk pasar dalam negeri, ia menggunakan sari mengkudu, sedang untuk pasar Jepang, ia menggunakan ekstrak mengkudu.
Kemasan lain pemasaran mengkudu yang dilakoninya adalah mengkudu sebagai alternatif bahan baku pakan ternak. "Vitamin C-nya yang tinggi diharapkan bisa meningkatkan daya tahan ayam terhadap flu burung," terang kiai keturunan ke-15 Sunan Drajat, salah satu dari Wali Songo itu.
Atas keberhasilan budidaya mengkudu, yang kemudian berepengaruh pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, akhirnya mengantarkan KH Abdul Ghofur mendapat Kalpataru 2006 dalam kategori Pembina Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Penghargaan itu diserahkan Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka, Senin 12 Juni.
Selain mengkudu, pesantren yang terletak di Banjaranyar Paciran itu juga memproduksi pupuk majemuk, pupuk organik, industri bordir, dan koprasi sebagai sumber-sumber penghasilan. [Dari berbagai sumber, terutama Kompas]
Tulisan ini tercetus saat nge-download bencana-bencana yang belakangan ini terus-terusan mendera bangsa kita.