Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Budak-budak perempuan zaman dulu adalah bagian dari figur wanita yang tertindas. Tapi, pada sisi lain, mereka adalah sosok pekerja wanita yang profesional dan berpendidikan. Bahkan, ada yang lihai dalam bermain politik.
Rombongan wanita itu berduyun-duyun datang menuju kota Basrah, Irak. Tak lama, berita ini pun akhirnya sampai ke telinga Muhammad bin Sulaiman, penguasa Basrah. Seperti biasa, masyarakat sudah tak heran lagi. Mereka adalah budak-budak wanita muda yang datang dari berbagai penjuru. “Aku ingin kau dapatkan untukku seorang budak muda yang tak tertandingi: cantik parasnya, terpuji sifatnya, dan baik hatinya,” titah Muhammad kepada salah seorang menterinya.
Tanpa pikir panjang, sang menteri pun pergi ke pasar untuk mencari budak sesuai pesanan raja. Hingga akhirnya ia ketemu dengan seorang makelar budak.
“Saya punya tipe budak yang tuan inginkan,” kata si makelar tadi.
“Oke. Kalau begitu bawa dia ke istana, agar saya bisa melihatnya: sesuai apa tidak,” sahut sang menteri.
Selang satu jam, makelar tadi datang untuk memenuhi pesanan sang menteri. Ia datang ke istana dengan menuntun seorang gadis muda yang cantik dan sangat menarik.
Saat tawar-menawar harga, pak menteri kaget. Makelar itu menjual budak dengan harga yang amat tinggi. Untuk meyakinkan pak menteri, ia pun menjelaskan. Budak ini adalah bukan budak sembarangan. Dia sosok budak yang mahir. Dia telah mempelajari seni kaligrafi, tata bahasa Arab, dan bahasa Persia. Dia juga memahami tafsir al-Qur’an, hukum moral, etika, filosofi, geometri, ilmu kedokteran, dan lain-lain. “Namun, kemahirannya yang paling utama adalah di bidang sastra, seperti: bermain musik, bernyanyi, dan menari,” terang si makelar itu.
Ini adalah secuil kisah para penguasa zaman dulu yang dikutip dari karya populer peninggalan dinasti Abbasiyah Alfu Lailah Wa Lailah, kisah seribu satu malam. Wanita-wanita itu dalam buku-buku literatur klasik berbahasa Arab biasa disebut dengan istilah jâriyah, budak perempuan, bentuk jamaknya adalah jawâri. Secara bahasa, jâriyah adalah sesuatu yang bergerak, atau dapat juga diartikan utusan (rasûl) dan pelayan (khâdim). Selain jâriyah, kadang juga digunakan istilah amat, artinya sama: budak perempuan.
Budak perempuan dalam masa itu dipandang seperti harta milik, tak hanya di dunia Islam tapi di belahan bumi lain. Lalu, yang jadi pertanyaan adalah, dari manakah budak-budak perempuan itu? Mulanya, mereka adalah tergolong wanita yang merdeka, atau disebut hurrah. Mereka menjadi budak, kebanyakan, karena daerahnya telah dikuasai oleh para penakluk dari negara lain, biasanya karena kalah dalam peperangan. Ada juga yang berasal dari faktor keturunan. Karena, nenek moyangnya memang dari dulu tergolong budak.
Kalau sudah demikian, wanita yang berubah status menjadi jâriyah itu tak ubahnya ‘barang’, yang selalu dijadikan obyek oleh tuannya. Biasanya, ia dijualbelikan atau dijadikan alat tukar dalam kegiatan ekonomi. Selama belum dimerdekakan, status anak turunanya pun tergolong budak. Ia harus selalu patuh kepada tuannya. Meski tiap hari memeras keringat, ia tidak punya hak sepeser pun untuk mendapat gaji. Semuanya tergantung kebijakan tuannya.
Kini, kita patut bersyukur. Sistem perbudakan yang amat tidak manusiawi itu telah dihapus. Namun, dalam hal tertentu, kita patut acungi jempol peran para jâriyah masa itu. Misalnya dalam soal bekerja, budak-budak wanita itu tidak seperti kebanyakan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia saat ini. Perlu ditegaskan, bukan soal statusnya lho. Ihwal ini keduanya jelas berbeda. Buruh punya hak dan kewajiban, sementara budak tidak sama sekali.
Tapi, ini dalam kancah persaingan dunia kerja. Ketika dikirim ke luar negeri kebanyakan para TKW itu tak lebih hanya sebagai buruh rumah tangga atau pekerja kasar. Kemampuan mereka hanya sebatas itu. Soal ilmu pengetahuan dan kemampuan sebagai wanita yang cerdas dan terdidik skornya sungguh amat rendah.
Berbeda dengan jâriyah di zaman dulu. Ia tidak sekadar bekerja sebagai pekerja ecek-ecek. Ia adalah tipe seorang pekerja yang cerdas, terdidik, dan profesional. Hal ini setidaknya telah tergambar jelas sebagaimana cerita di atas.
Beberapa sejarahwan mencatat, bahwa di antara orang-orang yang pandai bersastra, menyanyi, dan menari adalah para budak perempuan. Lihat saja dalam buku Women in Islamic Biographical Collectiones, yang diterjemahkan menjadi Kembang Peradaban, karya Ruth Roded, doktor sejarah kebudayaan Timur Tengah dari Hebrew University di Jerusalem. Dalam tradisi waktu itu, sebelum dijual oleh tuannya, seorang jâriyah biasanya dididik secara khusus dengan berbagai kemampuan. Karena itu, selain kecantikan, harganya pun tergantung dengan kemampuan dan jenjang pendidikannya.
Satu misal ada jâriyah bernama Syariyah. Ia telah diajari seni bernyanyi oleh tuannya. Kemudian, ia ditawarkan kepada temannya bernama Ishaq, dengan harga tiga ratus dinar. Ishaq tidak berkenan, karena menurutnya tidak terlalu menarik. Untung, ada orang lain yang berminat. Syariah akhirnya dibeli oleh Ibrahim. Oleh tuannya yang baru ini, ia digembleng lagi dengan seni olah vokal dan bernyanyi.
Selang setahun, Ibrahim menawarkan kepada Ishaq. Setelah mendengar lantunan lagu dan suara merdu dari Syariah, Ishaq langsung membayarnya dengan harga tiga ratus ribu dinar. Ishaq pun tertegun, ternyata budak wanita itu adalah gadis yang pernah ia tolak membelinya dengan harga tiga ratus dinar, setahun yang lalu. Jelas, harga seorang jâriyah sangat ditentukan oleh prestasi dan profesionalitas.
Bahkan, wanita-wanita itu tidak hanya dihargai mahal, banyak juga yang berhasil merebut hati para petinggi kerajaan atau khalifah, sampai akhirnya ia dijadikan pendamping hidup. Di antara jâriyah yang berhasil memikat hati para khalifah adalah Ghadir: jâriyah khalifah Abbasiyah keempat Al-Hadi, Farida: jâriyah khalifah Abbasiyah kelima Harun al-Rasyid, `Arib: jâriyah khalifah Abbasiyah ketujuh al-Makmun, Fadl dan Mahbubah: jâriyah khalifah Abbasiyah kesepuluh al-Mutawakkil.
Dengan mengandalkan kecantikan dan berbagai keahlian mereka ada yang mampu menggaet pemimpin tertinggi kerajaan. Pada satu sisi, awalnya mereka memang sedang diekspoitasi: diperjualbelikan, disuruh bekerja tanpa upah, tidak punya kebebasan, dan lain-lain. Namun, pada sisi lain, cara seperti ini, tak lain, merupakan siasat mereka untuk mengentaskan harga diri: dari status budak menjadi wanita yang merdeka, memiliki hak, dan status sosial yang bermartabat.
Bahkan, ada juga yang memanfaatkan keahlian tarik suara dan rayuan dahsyatnya untuk meraih tujuan politik. Seperti kisah yang termaktub dalam Kitab Al-Aghani, buku tentang lagu-lagu, karya Abu Faraj Al-Isbahani, sarjana kesusasteraan Arab yang hidup tahun 897-967 M.
Di masa khalifah Harun al-Rasyid, ada seorang budak perempuan yang cantik, memikat, dan berbakat. Ia adalah budak milik Ibrahim al-Maushili, seniman kondang pada waktu itu. Namnya Dzat al-Khal. Ia diajari secara khusus oleh tuannya dalam bidang seni suara dan menggubah syair. Berkat besutan tuannya itu, ia tumbuh menjadi sosok jâriyah yang cantik jelita dan mahir bernyanyi. Ia pun menjadi artis tenar. Namanya dielu-elukan dan menjadi buah bibir.
Karena kemasyhuran dan suaranya yang indah itu, khalifah Harun bermaksud untuk memilikinya. Ia pun akhirnya membeli Dzat al-Khal dari tuannya. Alkisah, pada suatu malam, ketika sedang asyik-masyuk di puncak gairah bersama Dzat al-Khal, tiba-tiba Harun terbersit pertanyaan.
“Pernahkah kamu berhubungan intim dengan bekas tuanmu?” tanyanya dengan diselimuti rasa cemburu.
“Ya, hanya sekali,” jawab budak itu dengan polos.
Harun yang sebelumnya sudah diliputi rasa cemburu buta itu menjadi kalut. Ia menolak budak perempuan yang cantik nun pandai bernyanyi itu. Sebagai hukuman, ia memberikan Dzat al-Khal secara cuma-cuma kepada Hamawiyah, salah satu budak laki-laki Harun.
Hari telah berganti, bulan pun demikian. Suatu ketika, Harun al-Rasyid tiba-tiba saja ingin berjumpa Dzat al-Khal sekali lagi. “Saya rindu dengan nyanyian budak perempuan itu,” katanya kepada Hamawiyah. “Kalau begitu, saya besok akan menghadap tuan bersama Dzat al-Khal,” jawabnya enteng.
Sebelum menghadap khalifah, Hamawiyah menyusun strategi agar menarik perhatian sultan. Ia menyewa mutiara dan batu-batu berharga sebagai perhiasan Dzat al-Khal saat berkunjung ke istana. Keesokan harinya, Hamawiyah datang bersama Dzat al-Khal menghadap Sang Khalifah.
Saat melihat bekas budaknya yang cantik itu, Harun pun terpincut lagi. Tapi, perasaan itu kembali diselimuti rasa cemburu. Dulu ia cemburu kepada bekas tuannya, kini ia cemburu kepada Hamawiyah, budaknya sendiri.
“Bagaimana kamu dapat memberikan hadiah permata-permata itu, padahal kamu belum saya angkat sebagai gubernur?” tanyanya kepada Hamawiyah.
Sambil diselimuti rasa takut, ia menjawab dengan jujur. “Permata-permata itu adalah hasil pinjaman, bukan hadiah dari saya.”
Dengan jawaban itu, Harun merasa lega dan puas karana kejujuran budaknya itu. Akhirnya, Harun memanggil penjual permata dan menghadiahkan permata-permata itu secara spesial untuk Dzat al-Khal. Serta, Sang Khalifah juga berjanji akan mengabulkan apapun permintaannya. Tahukah apa yang diminta oleh Dzat al-Khal kepada Harun al-Rasyid? Ternyata, ia memohon kepada Khalifah agar mengangkat Hamawiyah sebagai Gubernur Persia. Seketika, Harun mengabulkan permohonan itu.
Dahsyat kan? Seorang budak perempuan mampu ‘menundukkan’ pemimpin dinasti Abbasyiah yang terkenal itu. Kenyataan ini berbeda jauh dengan kondisi para TKW sekarang. Alih-alih mampu bermain politik dan merebut hati penguasa, mereka justru menjadi bulan-bulanan pemerintah. [Dari berbagai sumber].
Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006.