Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Agar kelestarian lingkungan terjaga umat Islam perlu membuat terobosan baru. Tak sekadar kaya doktrin, tapi minim praktik.
Saat berkunjung di Washington DC, Amerika Serikat, Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama era Presiden Abdurrahman Wahid pernah diajak jalan-jalan Dorojatun Kuntjoro Djakti, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di negeri Paman Sam itu. Kejadiannya sekitar tahun 1999.
“Yuk kita lihat-lihat Union Station,” ajak Dorojatun. “Oke!” jawab Tholhah mengiyakan. Union Station adalah stasiun kereta api terbesar di dunia, terletak di Washington DC.
Union Station yang megah dan tertata rapi dengan keunikan dan keindahan arsitekturnya membuat Tholhah dan Dorojatun begitu menikmati keelokannya. Padahal usia stasiun itu sudah 90 tahun lebih, dioperasikan sejak tanggal 27 Oktober 1907. Selepas berkeliling, keduanya bergerak menuju toilet. Di ruangan ini, Dorojatun bertanya kepada Tholhah. “Manakah yang lebih bersih, toilet Union Station atau tempat wudlu masjid Istiqlal?”
Tholhah pun terperanjat. Ia harus mengakui toilet Union Station jauh lebih bersih, rapi, dan nyaman dibanding tempat wudlu masjid Istiqlal, yang notabene masjid kebanggaan umat Islam Indonesia, dan juga masjid terbesar di Asia Tenggara.
Tak perlu jauh-jauh melihat Istiqlal, di Tanah Air masjid dan musalla yang ‘kumuh’ mudah dijumpai di sembarang tempat. Apalagi di terminal, stasiun atau pasar, musalla selalu disandingkan dengan toilet dan memiliki predikat yang sama: kumuh.
Itu baru contoh kecil. Kota Kembang, Bandung, 12 Juni tahun ini menggondol predikat ‘Kota Terkotor’ pada penganugerahan Adipura yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Di kota Paris Van Java ini sampah menggunung di mana-mana.
Keadaan ini tak bisa lepas dari peran umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. “Umat Islam di negeri kita ini masih berkutat pada dalil-dalil, tapi kurang sekali dalam penerapannya,” kata Tholhah saat ditemui Syir’ah di kediamannya, di Kota Wisata Cibubur. Ia kemudian mengutip sebuah hadis masyhur, Kebersihan itu bagian dari iman (al-nadhâfatu min al-îmân), “Pada praktiknya tak berjalan maksimal,” terangnya.
Pendapat serupa diutarakan Mujiono Abdillah, penulis buku Agama Ramah Lingkungan. Umat Islam, katanya, kebanyakan belum mampu mengaitkan antara keimanan dengan perlakuan terhadap lingkungan. Lingkungan bukanlah sesuatu yang terpisah dengan keimanan. Tapi, satu kesatuan. Bahkan, Tuhan menegaskan sikapnya dalam Al-Qashash ayat 77, “..sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang merusak lingkungan.”
Doktrin ini juga tercermin pada ayat kedua surat al-Fatihah, al-hamdu lillâhi rabb al-âlamîn, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. “Di sini jelas sekali ada pengakuan kepada Allah, juga kepada alam raya,” jelas Mujiono.
Penyebab Bencana
Mari satu persatu ayat ini diurai. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Haim penulis al-Tibyan fi Tafsiri Gharib al-Qur’an (penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang langka) berpendapat, sifat rabb yang dilekatkan pada Allah itu berarti yang menguasai dan yang mengatur. Sedang al-âlamin itu meliputi segala sesuatu di dunia, termasuk manusia, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan, air, dan lain-lain.
Ali Yafie, mantan Ketua Dewan Penasehat Majlis Ulama Indonesia memberi penguatan. “Berdasarkan isyarat rabb al-âlamîn ini, Islam memandang, seluruh alam raya ini merupakan satu kesatuan ekologi.” Satu sama lain saling terkait dan timbal balik. Manusia dalam hal ini, terang Ali Yafie, adalah khalîfatullâh fi al-ardl, mewakili tugas-tugas Allah di muka bumi untuk merawat lingkungan, sebagaimana disitir surat al-Baqarah ayat 30.
Karena itu, menurut mantan rektor Institut Ilmu Al-Quran ini, jika terjadi kerusakan lingkungan, manusia tak boleh mengelak dari tanggung jawab. Sebab, “Tidak ada bencana yang menimpa kepadamu kecuali ada kaitannya dengan “perbuatan” yang telah engkau lakukan.” “Begitu isyarat Allah dalam surat al-Syura ayat 30,” katanya.
Maksud kata perbuatan dalam ayat ini kemudian dirinci lagi oleh Wakil Rais Am Suriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Tholhah Hasan, dengan membagi dua model perbuatan. Pertama, kategori fisik semisal menebang hutan, mengebor gas bumi, dan membuang limbah ke sungai. Kedua, kategori non fisik atau biasa disebut maksiat. Kategori ini juga disebut Nasiruddin Abi Sa’id Abdullah bin Umar al-Baidhawi (W 685/1286) dalam Tafsir al-Baidhawi seperti praktik diskriminasi, korupsi, dan moralitas pemimpin yang bejat. “Dua kategori ini saling bertalian,” kata Tolhah.
Karena itu, guru besar Universitas Malang Jawa Timur ini yakin, bencana yang seakan tak putus-putus menimpa negeri ini adalah pelajaran agar bangsa ini menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukan. “Liyudziqakum ba’dha al-ladzi ‘amilû... (supaya manusia menyadari akibat dari perbuatannya itu),” katanya mengutip Ar-Rûm ayat 21.
Ayat ini, lanjutnya, sekaligus menegaskan pesan tuhan dalam S.Q. al-A’raf ayat 56: “Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Tuhan menciptakan dengan baik”. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah al-Qurthubi, ahli tafsir terkemuka di abad ke-7 (w. 671 M/1272 H), dalam bukunya Tafsir al-Qurthubi menjabarkan, yang termasuk kerusakan (fasad) dalam ayat tersebut adalah mengotori air yang jernih dan memotong pepohonan.
Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal, ahli hadis terkemuka kelahiran Baghdad, Irak, Rasulullah saw. mengisyaratkan untuk umatnya, agar menjaga keseimbangan antara tumbuh-tumbuhan dan air. Jika pohon-pohon di hutan digunduli, maka banjir adalah keniscayaan. Begitupula dengan air. Jika air tidak ada, maka tumbuh-tumbuhan akan mati dan terjadilah bencana kekeringan. “Ada tiga hal yang menjernihkan pandangan: memandang tanaman hijau yang lebat, air jernih yang mengalir, dan panorama yang indah.” Begitu sabda Nabi.
Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah, Ali Mustafa Yaqub, memberi tamsil menarik ihwal pentingnya air dalam kehidupan. “Jangankan untuk tujuan yang lain, dalam rangka ibadah pun kita diperintahkan berhemat dalam menggunakan air, semisal dalam berwudlu,” terangnya.
Tamsil itu merujuk ke salah satu hadis riwayat Imam Ibn Majah. Suatu ketika Nabi melihat seorang sahabat berlebihan dalam menggunakan air wudlu. “Janganlah kamu boros dalam menggunakan air,” tegur Nabi. “Apakah dalam wudlu itu ada pemborosan?” tanya sahabat tersebut. Nabi kemudian menjawab, “Iya, hematlah dalam menggunakan air meski kamu berada di tengah sungai yang mengalir.”
Hubungan Manusia dengan Alam
Lantas bagaimana konsep Islam tentang hubungan manusia dengan alam? “Setidaknya ada tiga bentuk,” kata Tolhah melanjutkan. Hubungan ketuhanan, hubungan ekonomis, dan hubungan saintifik atau keilmuan.
Dengan hubungan yang pertama, manusia selanjutnya bisa mengerti akan kebesaran Allah. Sedang manfaat yang kedua dan ketiga, manusia masing-masing dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengatahuan.
Soal ini, surat al-Baqarah ayat 22 memang memaparkan dengan gamblang. Tuhan menciptakan bumi, lalu air hujan turun di atasnya menyirami tanam-tanaman. Kemudian menghasilkan segala jenis buah-buahan, sayur mayur, bunga-bunga yang indah, dan lain sebagainya. Untuk siapa semua ini? “Allah menumbuhkan untuk kamu sekalian,” bunyi ayat ke-11 surat al-Nahl.
Tak hanya itu Allah juga mengisyaratkan dengan kata: wa sakhkhara lakum (dan Tuhan telah menundukkan kepadamu) yang tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Semisal dalam surat Ibrahim: 32, al-Nahl: 12, al-Jatsiyah: 13, dan al-Ra’d. Tak lain, “Maksudnya adalah agar manusia dapat mengambil manfaat dari alam,” ungkap Tolhah.
Ironisnya, ayat itu dipahami keliru, wewenang diselewengkan. Manusia menjadi kebablasan dalam memanfaatkan alam. Ada sebagian umat Islam yang rajin beribadah tetapi mengekesploitasi dan merusak sumber daya alam. “Mereka tak merasa bersalah karena mengangap lingkungan itu karunia,” sesal Mujiono.
Padahal, lanjut Mujiono, dalam Sirah Nabawiyah (sejarah kenabian) karya Ibnu Hisyam, Nabi Muhammad saw. saat di medan perang, sering berpesan kepada para sahabat. “Jangan potong pohon, jangan potong tanaman yang berbuah, juga jangan bunuh binatang”. Karena perbuatan-perbuatan itu akan mengundang bencana. Dengan memotong pohon sembarangan akan rawan banjir.
Di samping bicara penyebab bencana, al-Qur’an juga bicara cara mengantisipasinya. Simak saja kisah Nabi Nuh. Waktu itu sebelum terjadi banjir mahadahsyat, malaikat Jibril sudah memberi peringatan kepada Nabi Nuh. Ia diminta membuat kapal penyelamat. Mendekati detik-detik banjir bandang, Nabi Nuh mulai mengevakuasi para pengikutnya, juga binatang dan tumbuhan dengan berpasangan. Mengapa binatang dan binatang ikut diangkut? “Ini adalah upaya konkrit Nabi Nuh dalam menjaga keseimbangan ekosistem,” ujar Tholhah Hasan.
Sayangnya, di negeri ini setiap kali terjadi bencana selalu saja terlambat untuk memberi peringatan dan mengantisipasinya secara maksimal.
Ke depan kata Mujiono, supaya kelestarian lingkungan terjaga umat Islam perlu membuat terobosan baru. Ini bisa dimulai dari konsep-konsep sederhana dalam Islam. “Contohnya menganjurkan dan memberikan contoh amal jariah dengan membuat taman Tempat Penampungan Sampah, atau wakaf lingkungan, misalnya membuat taman kota,” terangnya. Mujiono sendiri sudah mempraktikan itu di daerah tempat tinggalnya, di Semarang Jawa Tengah.
Lalu bagaimana sanksi buat mereka yang melanggar dan merusak lingkungan? Agaknya kebanyakan agamawan ini lebih banyak menyerahkan persoalan ini pada mekanisme hukum yang berlaku. Islam sekadar menghukumi tindakan tersebut sebagai haram.
Apakah konsep Islam juga bisa memasukan perusahaan-perusahaan sebagai obyek hukum (mukallaf) jika mereka terbukti merusak lingkungan? Dalam hukum Islam (fikih), menurut Ali Yafie mereka bisa dikategorikan dalam al-syakhsiyah al-qânûniyyah (pertanggungjawaban kolektif atau organisasi). “Karena perusahaan itu adalah kumpulan orang-orang, maka harus ada tanggung jawab secara kolektif,” tegasnya.
Menurut mantan hakim di Pengadilan Tinggi Agama Makasar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama itu, dalam hukum Islam itu memang mengenal istilah
al-syakhsiyah al-thabî’iyyah, pertanggungjawaban individu, dan al-syakhsiyah al-qânûniyyah, pertanggungjawaban kolektif. Yang pertama terdiri dari individu-individu dewasa yang dianggap mampu mempertanggungjwabkan segala perbuatannya, sedang yang kedua lebih bersifat kolektif dengan mengabaikan status muslim dan non-muslim. []
Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006.
Agar kelestarian lingkungan terjaga umat Islam perlu membuat terobosan baru. Tak sekadar kaya doktrin, tapi minim praktik.
Saat berkunjung di Washington DC, Amerika Serikat, Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama era Presiden Abdurrahman Wahid pernah diajak jalan-jalan Dorojatun Kuntjoro Djakti, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di negeri Paman Sam itu. Kejadiannya sekitar tahun 1999.
“Yuk kita lihat-lihat Union Station,” ajak Dorojatun. “Oke!” jawab Tholhah mengiyakan. Union Station adalah stasiun kereta api terbesar di dunia, terletak di Washington DC.
Union Station yang megah dan tertata rapi dengan keunikan dan keindahan arsitekturnya membuat Tholhah dan Dorojatun begitu menikmati keelokannya. Padahal usia stasiun itu sudah 90 tahun lebih, dioperasikan sejak tanggal 27 Oktober 1907. Selepas berkeliling, keduanya bergerak menuju toilet. Di ruangan ini, Dorojatun bertanya kepada Tholhah. “Manakah yang lebih bersih, toilet Union Station atau tempat wudlu masjid Istiqlal?”
Tholhah pun terperanjat. Ia harus mengakui toilet Union Station jauh lebih bersih, rapi, dan nyaman dibanding tempat wudlu masjid Istiqlal, yang notabene masjid kebanggaan umat Islam Indonesia, dan juga masjid terbesar di Asia Tenggara.
Tak perlu jauh-jauh melihat Istiqlal, di Tanah Air masjid dan musalla yang ‘kumuh’ mudah dijumpai di sembarang tempat. Apalagi di terminal, stasiun atau pasar, musalla selalu disandingkan dengan toilet dan memiliki predikat yang sama: kumuh.
Itu baru contoh kecil. Kota Kembang, Bandung, 12 Juni tahun ini menggondol predikat ‘Kota Terkotor’ pada penganugerahan Adipura yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Di kota Paris Van Java ini sampah menggunung di mana-mana.
Keadaan ini tak bisa lepas dari peran umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. “Umat Islam di negeri kita ini masih berkutat pada dalil-dalil, tapi kurang sekali dalam penerapannya,” kata Tholhah saat ditemui Syir’ah di kediamannya, di Kota Wisata Cibubur. Ia kemudian mengutip sebuah hadis masyhur, Kebersihan itu bagian dari iman (al-nadhâfatu min al-îmân), “Pada praktiknya tak berjalan maksimal,” terangnya.
Pendapat serupa diutarakan Mujiono Abdillah, penulis buku Agama Ramah Lingkungan. Umat Islam, katanya, kebanyakan belum mampu mengaitkan antara keimanan dengan perlakuan terhadap lingkungan. Lingkungan bukanlah sesuatu yang terpisah dengan keimanan. Tapi, satu kesatuan. Bahkan, Tuhan menegaskan sikapnya dalam Al-Qashash ayat 77, “..sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang merusak lingkungan.”
Doktrin ini juga tercermin pada ayat kedua surat al-Fatihah, al-hamdu lillâhi rabb al-âlamîn, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. “Di sini jelas sekali ada pengakuan kepada Allah, juga kepada alam raya,” jelas Mujiono.
Penyebab Bencana
Mari satu persatu ayat ini diurai. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Haim penulis al-Tibyan fi Tafsiri Gharib al-Qur’an (penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang langka) berpendapat, sifat rabb yang dilekatkan pada Allah itu berarti yang menguasai dan yang mengatur. Sedang al-âlamin itu meliputi segala sesuatu di dunia, termasuk manusia, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan, air, dan lain-lain.
Ali Yafie, mantan Ketua Dewan Penasehat Majlis Ulama Indonesia memberi penguatan. “Berdasarkan isyarat rabb al-âlamîn ini, Islam memandang, seluruh alam raya ini merupakan satu kesatuan ekologi.” Satu sama lain saling terkait dan timbal balik. Manusia dalam hal ini, terang Ali Yafie, adalah khalîfatullâh fi al-ardl, mewakili tugas-tugas Allah di muka bumi untuk merawat lingkungan, sebagaimana disitir surat al-Baqarah ayat 30.
Karena itu, menurut mantan rektor Institut Ilmu Al-Quran ini, jika terjadi kerusakan lingkungan, manusia tak boleh mengelak dari tanggung jawab. Sebab, “Tidak ada bencana yang menimpa kepadamu kecuali ada kaitannya dengan “perbuatan” yang telah engkau lakukan.” “Begitu isyarat Allah dalam surat al-Syura ayat 30,” katanya.
Maksud kata perbuatan dalam ayat ini kemudian dirinci lagi oleh Wakil Rais Am Suriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Tholhah Hasan, dengan membagi dua model perbuatan. Pertama, kategori fisik semisal menebang hutan, mengebor gas bumi, dan membuang limbah ke sungai. Kedua, kategori non fisik atau biasa disebut maksiat. Kategori ini juga disebut Nasiruddin Abi Sa’id Abdullah bin Umar al-Baidhawi (W 685/1286) dalam Tafsir al-Baidhawi seperti praktik diskriminasi, korupsi, dan moralitas pemimpin yang bejat. “Dua kategori ini saling bertalian,” kata Tolhah.
Karena itu, guru besar Universitas Malang Jawa Timur ini yakin, bencana yang seakan tak putus-putus menimpa negeri ini adalah pelajaran agar bangsa ini menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukan. “Liyudziqakum ba’dha al-ladzi ‘amilû... (supaya manusia menyadari akibat dari perbuatannya itu),” katanya mengutip Ar-Rûm ayat 21.
Ayat ini, lanjutnya, sekaligus menegaskan pesan tuhan dalam S.Q. al-A’raf ayat 56: “Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Tuhan menciptakan dengan baik”. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah al-Qurthubi, ahli tafsir terkemuka di abad ke-7 (w. 671 M/1272 H), dalam bukunya Tafsir al-Qurthubi menjabarkan, yang termasuk kerusakan (fasad) dalam ayat tersebut adalah mengotori air yang jernih dan memotong pepohonan.
Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal, ahli hadis terkemuka kelahiran Baghdad, Irak, Rasulullah saw. mengisyaratkan untuk umatnya, agar menjaga keseimbangan antara tumbuh-tumbuhan dan air. Jika pohon-pohon di hutan digunduli, maka banjir adalah keniscayaan. Begitupula dengan air. Jika air tidak ada, maka tumbuh-tumbuhan akan mati dan terjadilah bencana kekeringan. “Ada tiga hal yang menjernihkan pandangan: memandang tanaman hijau yang lebat, air jernih yang mengalir, dan panorama yang indah.” Begitu sabda Nabi.
Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah, Ali Mustafa Yaqub, memberi tamsil menarik ihwal pentingnya air dalam kehidupan. “Jangankan untuk tujuan yang lain, dalam rangka ibadah pun kita diperintahkan berhemat dalam menggunakan air, semisal dalam berwudlu,” terangnya.
Tamsil itu merujuk ke salah satu hadis riwayat Imam Ibn Majah. Suatu ketika Nabi melihat seorang sahabat berlebihan dalam menggunakan air wudlu. “Janganlah kamu boros dalam menggunakan air,” tegur Nabi. “Apakah dalam wudlu itu ada pemborosan?” tanya sahabat tersebut. Nabi kemudian menjawab, “Iya, hematlah dalam menggunakan air meski kamu berada di tengah sungai yang mengalir.”
Hubungan Manusia dengan Alam
Lantas bagaimana konsep Islam tentang hubungan manusia dengan alam? “Setidaknya ada tiga bentuk,” kata Tolhah melanjutkan. Hubungan ketuhanan, hubungan ekonomis, dan hubungan saintifik atau keilmuan.
Dengan hubungan yang pertama, manusia selanjutnya bisa mengerti akan kebesaran Allah. Sedang manfaat yang kedua dan ketiga, manusia masing-masing dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengatahuan.
Soal ini, surat al-Baqarah ayat 22 memang memaparkan dengan gamblang. Tuhan menciptakan bumi, lalu air hujan turun di atasnya menyirami tanam-tanaman. Kemudian menghasilkan segala jenis buah-buahan, sayur mayur, bunga-bunga yang indah, dan lain sebagainya. Untuk siapa semua ini? “Allah menumbuhkan untuk kamu sekalian,” bunyi ayat ke-11 surat al-Nahl.
Tak hanya itu Allah juga mengisyaratkan dengan kata: wa sakhkhara lakum (dan Tuhan telah menundukkan kepadamu) yang tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Semisal dalam surat Ibrahim: 32, al-Nahl: 12, al-Jatsiyah: 13, dan al-Ra’d. Tak lain, “Maksudnya adalah agar manusia dapat mengambil manfaat dari alam,” ungkap Tolhah.
Ironisnya, ayat itu dipahami keliru, wewenang diselewengkan. Manusia menjadi kebablasan dalam memanfaatkan alam. Ada sebagian umat Islam yang rajin beribadah tetapi mengekesploitasi dan merusak sumber daya alam. “Mereka tak merasa bersalah karena mengangap lingkungan itu karunia,” sesal Mujiono.
Padahal, lanjut Mujiono, dalam Sirah Nabawiyah (sejarah kenabian) karya Ibnu Hisyam, Nabi Muhammad saw. saat di medan perang, sering berpesan kepada para sahabat. “Jangan potong pohon, jangan potong tanaman yang berbuah, juga jangan bunuh binatang”. Karena perbuatan-perbuatan itu akan mengundang bencana. Dengan memotong pohon sembarangan akan rawan banjir.
Di samping bicara penyebab bencana, al-Qur’an juga bicara cara mengantisipasinya. Simak saja kisah Nabi Nuh. Waktu itu sebelum terjadi banjir mahadahsyat, malaikat Jibril sudah memberi peringatan kepada Nabi Nuh. Ia diminta membuat kapal penyelamat. Mendekati detik-detik banjir bandang, Nabi Nuh mulai mengevakuasi para pengikutnya, juga binatang dan tumbuhan dengan berpasangan. Mengapa binatang dan binatang ikut diangkut? “Ini adalah upaya konkrit Nabi Nuh dalam menjaga keseimbangan ekosistem,” ujar Tholhah Hasan.
Sayangnya, di negeri ini setiap kali terjadi bencana selalu saja terlambat untuk memberi peringatan dan mengantisipasinya secara maksimal.
Ke depan kata Mujiono, supaya kelestarian lingkungan terjaga umat Islam perlu membuat terobosan baru. Ini bisa dimulai dari konsep-konsep sederhana dalam Islam. “Contohnya menganjurkan dan memberikan contoh amal jariah dengan membuat taman Tempat Penampungan Sampah, atau wakaf lingkungan, misalnya membuat taman kota,” terangnya. Mujiono sendiri sudah mempraktikan itu di daerah tempat tinggalnya, di Semarang Jawa Tengah.
Lalu bagaimana sanksi buat mereka yang melanggar dan merusak lingkungan? Agaknya kebanyakan agamawan ini lebih banyak menyerahkan persoalan ini pada mekanisme hukum yang berlaku. Islam sekadar menghukumi tindakan tersebut sebagai haram.
Apakah konsep Islam juga bisa memasukan perusahaan-perusahaan sebagai obyek hukum (mukallaf) jika mereka terbukti merusak lingkungan? Dalam hukum Islam (fikih), menurut Ali Yafie mereka bisa dikategorikan dalam al-syakhsiyah al-qânûniyyah (pertanggungjawaban kolektif atau organisasi). “Karena perusahaan itu adalah kumpulan orang-orang, maka harus ada tanggung jawab secara kolektif,” tegasnya.
Menurut mantan hakim di Pengadilan Tinggi Agama Makasar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama itu, dalam hukum Islam itu memang mengenal istilah
al-syakhsiyah al-thabî’iyyah, pertanggungjawaban individu, dan al-syakhsiyah al-qânûniyyah, pertanggungjawaban kolektif. Yang pertama terdiri dari individu-individu dewasa yang dianggap mampu mempertanggungjwabkan segala perbuatannya, sedang yang kedua lebih bersifat kolektif dengan mengabaikan status muslim dan non-muslim. []
Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006.