Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Orientalis yang satu ini memang bikin ‘gemes’ umat Islam di Indonesia, khususnya rakyat Aceh. Entah karena kagum atau saking bencinya.
Ia adalah sosok yang cerdas. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, ia mampu mengkaji sisi-sisi kehidupan masyarakat Aceh secara menyeluruh: mulai tradisi keagamaan, adat istiadat, sampai pemikiran politik. Hasil penelitian ini kemudian digunakan Belanda sebagai senjata ampuh untuk menundukkan Aceh, tahun 1905.
Tak lain, ia adalah Abdul Ghaffar alias Snouck Hurgronje. Ia lahir pada 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Ia juga dikenal sebagai salah satu pencetus sekaligus konseptor ‘politik etis’, politik balas budi, yang diterapkan bangsa Belanda untuk pribumi.
Selepas tamat dengan predikat cum laude dari jurusan ilmu teologi dan sastra Arab Universitas Leiden Belanda, ia melanjutnya studinya ke Mekkah, tahun 1884. Di sini, ia memperdalam Islam dari para ulama setempat. Tak lama kemudian, ia pun pindah agama, dari Kristen ke Islam. Berbarengan dengan itu, nama aslinya, Christian Snouck Hurgronje, diubah menjadi Abdul Ghaffar (hamba yang gemar memaafkan).
Orientalis yang cerdik nan licik ini pertama menginjakkan kakinya di Indonesia saat era pemerintahan Hindia-Belanda, tahun1889. Tepatnya selepas ia merampungkan studinya di tanah suci Mekkah. Dan selang setahun setelah Aceh dikuasai Belanda, ia kembali ke Leiden hingga tutup usia, 26 Juni 1936.
Bagi Belanda, ia adalah pahlawan yang patut dibanggakan. Ia berhasil membongkar jaringan sekaligus memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Ini sangat membantu Belanda sebagai upaya melumpuhkan Aceh.
Sementara bagi kaum orientalis, dia adalah sarjana yang hebat. Ia berhasil memahami Islam tidak hanya dari teks-teks buku dan tumpukan dokumen, tapi juga lihai dalam menggali informasi dan berinteraksi dengan masyarakat.
Tapi, bagi rakyat Aceh, ia tak ubahnya musuh dalam selimut. Ia menyelinap dan menyatu dengan rakyat Aceh, lalu membeberkan seluruh seluk-beluk yang terkait dengan Aceh kepada kolonial Belanda.
Terlepas dari itu, kita dapat belajar dari prilaku politik Hurgronje. Untuk menghancurkan lawan kita tidak harus mengumbar amarah, anti pati, bahkan permusuhan, tapi bisa juga dengan menjadikan dia sebagai sahabat atau partner. Inilah yang dinamakan strategi menikam dari belakang. (AUM/WP).
Syir'ah, Edisi 54, Juni 2006.