Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Jika dibanding panahan dan pacuan kuda, sepak bola tergolong olah raga yang masih berusia muda. Karena itu, banyak ditemukan perbedaan pandangan dari para ahli agama, tergantung dari sudut mana mereka memandang.
Tahun lalu, masyarakat Saudi Arabia geger gara-gara fatwa tak bertuan. Fatwa itu intinya mengharamkan sepak bola, olah raga yang paling diminati dan digilai oleh orang seantero jagad itu. Mengapa kok diharamkan? Sebab, sepak bola adalah olah raga atau permainan orang-orang kafir.
“Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum”, siapapun yang menyerupai orang-orang kafir maka ia adalah bagian dari mereka. Hadis inilah yang dibuat dasar pelarangan sepak bola. Memang, sebelum mendunia, konon olah raga ini berasal dari negara Inggris. Berarti, sama sekali tidak terkait dengan Islam atau orang-orang Arab dulu kala. Terbukti, dalam kitab-kitab klasik tidak pernah disebutkan jenis olah raga ini. Karena itu, sepak bola dihukumi haram.
Daripada main sepak bola mending berjihad di Irak. Begitu yang tertulis di harian Al-Watan, salah satu media massa di Saudi Arabia, tanggal 22 Agustus 2005. Menurut pengakuan Ja’far ‘Attas, kapten kesebelasan Al-Rasyid yang bermarkas di wilayah al-Taif, fatwa tersebut sangat berpengaruh bagi timnya. Tiga dari sebelas orang dalam timnya langsung mengundurkan diri, yaitu Tamer al-Thamali, Majid al-Sawad, dan Dayf Allah al-Harithi.
Jika dihitung satu persatu, fatwa itu berjumlah 15 poin. Semuanya seakan ingin menegaskan, boleh-boleh saja bermain sepak bola tapi dengan gaya dan nama yang berbeda. Pokoknya tidak boleh meniru atau mencontoh, harus bikin sendiri yang tidak sama. Misalnya, soal jumlah pemain: kurang atau lebih dari sebelas orang, menciptakan istilah-istilah baru dalam pertandingan: tidak boleh menggunakan istilah semacam pinalty, hand, off-side, tapi harus menggunakan istilah sendiri, sampai waktu pertandingan pun juga tidak boleh disamakan 90 menit.
Melihat kegegeran itu, selang beberapa hari mufti Saudi Arabia Syaikh Abd Al-Aziz Ibnu Abdallah angkat bicara. Ia menolak keras fatwa tersebut. Menurutnya, sepak bola boleh saja dilakukan, tidak diharamkan oleh agama. Sebab, ini adalah bagian dari olah raga untuk kesehatan jasmani. “Jadi, tidak ada hubungannya dengan menyerupai atau tidak menyerupai orang kafir,” tegasnya. Makanya, ia mengimbau kepada umat Islam agar tidak terpengaruh fatwa itu.
Bahkan, untuk membuktikan kebenaran fatwa itu, Abd Al-Aziz memanggil pihak-pihak yang terkait. Siapakah sebenarnya orang yang berfatwa itu, apakah dia memenuhi syarat sebagai seorang mufti, orang yang memberi fatwa? Jangan-jangan dia hanya asal-asalan. Betul, itu perlu dipertanyakan, sebab Al-Watan memang tidak menyebutkan siapa yang mengutarakan fatwa itu.
Pendapat senada juga datang dari Syeikh Abdul Al-Muhsin Al-Abikan, penasehat Departemen Kehakiman Saudi Arabia. Baginya, Islam tidak melarang sepak bola. Pertandingan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Soal istilah-istilah yang tidak berbahasa Arab dalam sepak bola itu tidak perlu dipermasalahkan. Nabi juga sering menggunakan istilah-istilah non-Arab dalam hadist-hadisnya. Allah juga demikian. Allah sering menggunakan kata-kata yang tidak berasal dari bahasa Arab (‘ajam) dalam al-Qur’an. Misalnya, Jibril, Ibrahim, Mikail, dan sebagainya.
Menurut analisis Husein Muhammad, pengasuh pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, pemicu utama perdebatan ini adalah soal interpretasi atau penafsiran hadis yang dijadikan dasar. Hasil analisis hadis yang berujung pada pelarangan sepak bola adalah bukan semata-mata beda tafsir, tapi orang yang menafsiri memang tidak tahu konteks. Jadi, hukum itu harus disesuaikan dengan ‘illat-nya, sebab atau alasan.
Ia berkisah. Hadis di atas juga pernah di terapkan di Indonesia, saat penjajahan Belanda. Waktu itu, kiai-kiai di Indonesia mengharamkan orang pakai dasi. Mengapa? Karena menyerupai wong londo, orang belanda. Tujuannya agar rakyat Indonesia semakin gigih dan bersemangat melawan Belanda. Tapi di kemudian hari, fatwa itu dicabut, karena illatnya sudah hilang: belanda sudah hengkang.
Nah, jika konteknya adalah jihad maka harus diteliti dulu. Apa benar mending berjihad daripada main bola? Konteks sekarang, jihad melawan orang-orang kafir atau Barat tidak seperti dulu, secara fisik. Penjajahan saat ini adalah penjajahan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Maka, harus dilawan dengan hal yang sepadan. “Jangan malah melarang mengikuti pertandingan sepak bola, terus kita rame-rame berangkat berjihad di medan perang. Illat-nya jadinya tidak sesuai,” kata kiai yang mengaku kagum dengan pemain kesebelasan Brazil Ronaldinho ini.
“Kalau saya ya mendukung penuh sepak bola,” imbuhnya. Nabi pernah bersabda, “‘allimu auladakum assibah, warramyu, wa al-sibaq”, ajarilah anak-anakmu dengan keterampilan renang, panahan, dan pacuan kuda. Dalam Faidl al-Qadir (limpahan kemampuan) karya Abdul Ra’uf al-Manawi, anjuran ini juga pernah diutarakan oleh Umat bin Khattab. Secara tektual, anjuran itu hanya meliputi tiga macam olah raga. Tapi, kita tidak boleh memahami luarnya saja, teks hadis. Kita harus menggali, apa substansi hadis itu?
Bagi Husein, substansi hadis itu adalah olah raga yang menyehatkan, bukan jenis-jenisnya. Berarti, jika sepak bola adalah olah raga yang bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran, maka tidak ada larangan untuk melakukan itu. Bukankah ajaran Islam juga mengenal prinsip al-aqlu al-salim fi jismi al-salim, tubuh yang sehat itu terdapat dalam jiwa yang sehat?
Argumen Husein itu tidak sepenuhnya disetujui oleh Ahmad Damanhuri, pengasuh pesantren Al-Karimiyah Sawangan Depok. Dalam menyikapi persoalan ini, Damanhuri melihat dari dua segi.
Yang pertama, dari sudut pandang olah raga. Sepak bola adalah aktivitas yang sangat dianjurkan oleh Islam, karena bagian dari olah raga yang dapat menyehatkan, sama seperti panahan, renang, atau pacuan kuda. Segi kedua adalah sudut pandang Syariat, yaitu soal aurat. Berarti, sasarannya adalah kostum yang dikenakan oleh para pemain. Syaratnya: harus menutup aurat. Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syuthan dalam I’anatu al-Thalibin (pertolongan bagi para pelajar) berpendapat, aurat laki-laki—sebagaimana sabda Nabi—adalah ma baina surratih wa rukbatih, area dari pusar sampai lutut.
Jika konsisten dengan syariat, maka kostum yang dikenakan para pemain sepak bola itu jelas-jelas membuka aurat. Celana pendek itu tidak menutupi lutut. Di sinilah letak sisi buruk dari sepak bola. Karena itu, kiai yang menjagokan Argentina di piala dunia 2006 ini mengajak umat Islam untuk mempelopori menggunakan kostum sepak bola sesuai dengan batasan-batasan aurat. “Bagaimana kalau kita mempelopori sepak bola dengan menggunakan kostum yang menutupi lutut,” ajaknya dengan penuh semangat.
Husein Muhammad ganti membantah. Soal aurat adalah ikhtilaf, banyak perbedaan pendapat. Misal, Al-Tabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Qur’an (kumpulan keterangan dalam tafsiran ayat al-Qur’an) mengemukakan: ada lima pendapat tentang batasan aurat laki-laki, satu sama lain berbeda. Kok bisa begitu? “Iya, karena batasan aurat itu harus diukur dari kaca mata kesopanan, kepatutan, dan konteks budaya. Jadi tidak bisa digeneralisir begitu,” ujarnya. []
Syir'ah, Edisi 54, Juni 2006.