Friday, June 02, 2006

Sufi yang Jago Mengkritik Pemerintah

Banyak anggapan, sufi adalah orang yang selalu sujud beribadah dan mengasingkan diri di tampat sunyi. Tidak sepenuhnya benar. Tokoh sufi terkenal Hasan al-Bashri justru meneriakkan keadilan dan menentang kedzaliman penguasa layaknya para aktivis berdiplomasi dan berkoar-koar di jalanan.


Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Suatu ketika di tahun 21 H/642 M, istri Rasulullah saw. Ummu Salamah menerima kabar, pembantunya yang bernama Khairoh baru saja melahirkan seorang putra. Raut yang berbunga-bunga begitu nampak di wajahnya. Seketika, Ummu Salamah mengutus seseorang untuk memanggil Khairoh agar membawa anak yang baru lahir itu ke rumahnya.

Tak lama, Khairoh dan putranya pun tiba. Dengan penuh penasaran dan perasaan yang berbunga-bunga, istri Nabi yang dikenal jago membaca dan menulis sejak zaman jahiliyah itu segera menatap wajah bayi yang masih merah merona di dekapan ibunya itu.

Lalu, Ummu Salamah ganti mengarahkan pandangannya ke Khairoh dan bertanya:
“Apakah kamu telah memberi nama putramu yang mungil ini, ya Khairoh?”
“Belum bunda. Kami serahkan bayi ini kepada bunda untuk menamainya,” jawab Khairoh.
Mendengar jawaban ini, wajah Ummu Salamah nampak berseri-seri, seraya berujar: “Sembari mengharap berkah Allah, bayi ini kita beri nama Al-Hasan.”
Maka, istri Nabi mengangkat kedua tangannya dan berdoa memohon kebaikan dari penyematan nama itu.

Bayi itu adalah Hasan al-Bashri, nama lengkapnya: Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Abu Sa’id. Dikenal sebagai tokoh sufi terkemuka pada masa tabi’in, generasi setelah Sahabat. Lahir di Madinah dari pasangan Khairoh dan Zaid bin Tsabit, sahabat Nabi Muhammad yang bertugas mencatat wahyu.

Sejak kecil, pendidikannya terjamin. Ia dididik secara langsung oleh salah satu istri Rasulullah, Hindun binti Abi Umayyah bin al-Mughirah atau biasa disebut dengan nama Ummu Salamah. Istri nabi yang satu ini dikenal sebagai seorang wanita cerdik dan bijaksana. Dalam Musnad Ibn Hanbal saja, ia meriwayatkan 378 hadis. Ini belum termasuk hadis-hadis yang diriwayatkannya dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Ummu Salamah mengasuh anak pembantunya itu cukup lama, kurang lebih 14 tahun. Hasan banyak menghabiskan masa kecilnya dengan berguru kepada pembesar-pembesar sahabat Nabi di masjid Nabawi Madinah. Antara lain: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, dan Jabir bin Abdullah.

Setelah itu, bersama orang tuanya ia pindah ke kota Basrah Irak dan menetap di sana. Menurut beberapa riwayat, kata al-Bashri dibelakang namanya disinyalir memang dinisbatkan pada kota Bashrah. Di kota ini ia masih saja haus dengan ilmu. Ia kerap mengikuti halaqah atau pengajian yang digelar oleh para sahabat. Salah satu guru yang paling mempengaruhinya adalah Ibnu Abbas. Dari sahabat Nabi yang dilahirkan tiga tahun sebelum Nabi hijrah ini, Hasan banyak mereguk berbagai khazanah ilmu: tafsir, hadist, qiro’at, fiqih, bahasa, sastra dan lain-lain.

Etos belajar yang tinggi dan semangat yang menggebu-gebu dalam mereguk ilmu adalah tradisi yang tertanam dalam diri Hasan sejak kecil. Tradisi yang ditanam sejak lama itu akhirnya berbuah juga. Atas ketekunan dan kedalaman ilmunya itu, ia mulai dikenal oleh publik. Ini diakui sendiri oleh Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.

Saat Ali berkunjung ke Bashrah, ia mendapati Hasan sedang berbicara di hadapan umum. Sahabat Nabi yang dijuluki babu al-ilmi, pintunya ilmu, ini mendekat dan berkata:
“Hai anak muda, saya hendak bertanya kepadamu tentang dua perkara. Jika engkau mampu menjawabnya, silahkan engkau meneruskan pembicaraanmu itu.”
“Silahkan bertanya ya amir al-mukminin tentang dua perkara itu,” ujar Hasan dengan penuh hormat sembari mendekati Ali.
“Coba jelaskan apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa pula yang dapat merusaknya,” tanyanya.
“Yang menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang merusak agama adalah tama’,” papar anak muda itu. Wara’ adalah sikap menjaga diri dan berhati-hati dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Sedang tama’ adalah rakus, yaitu sikap gemar terhadap dunia dan semua lini kehidupan diukur berdasarkan materi atau harta.
Mendengar jawaban itu, Ali tampak sumringah dan berkata: “Penjelasanmu benar dan silahkan malanjutkan pembicaraanmu. Orang macam kamu memang layak berbicara di depan umum.”

Sejak itu, Hasan al-Bashri semakin kondang dan juga dikenal masyarakat sebagai sosok yang tegas dan pemberani. Tegas dalam pendirian dan sikap, berani dalam menegakkan kebenaran. Maka, tak jarang para pejabat masa itu terkena tamparan kritik-kritik pedas. Salah satunya adalah khalifah Harun al-Rasyid.

Konon, menjelang hari pelantikan Harun al-Rasyid menjadi khalifah, semua kerabat, jawatan, dan teman-temannya diundang untuk ikut merayakan pelantikan khalifah dinasti Abbasyiah yang baru itu. Mereka dijamu dengan hidangan yang serba nikmat, lezat, dan serba wah.

Acara pelantikan sebentar lagi dimulai, sementara para menteri masih sibuk mengecek para undangan.
“Apakah masih ada undangan yang belum hadir?” tanya Harun.
“Ada tuan,” jawab menteri.
“Siapakah itu?”
“Hasan al-Bashri tuan...”
“Kalau begitu saya akan menulis surat dan tolong sampaikan langsung kepadanya,” titah Harun.

Menteri itu seketika bertandang untuk menyampikan surat kepada Hasan al-Bashri. Dan ternyata, Hasan sedang sibuk mengajar murid-muridnya di madrasah. Begitu tahu yang datang adalah menteri utusan khalifah, Hasan kian asyik mengajar, seakan tidak tahu kalau ada menteri datang. Menteri itu mengucap salam berkali-kali tapi Hasan tetap tidak menghiraukan. Lalu, salah satu muridnya memberi tahu kalau ada tamu.
“Salam,” jawabnya singkat dengan nada tinggi. “Untuk apa kau ke mari?” imbuhnya dengan ketus.
“Saya membawa surat dari khalifah untuk tuan,” jawab menteri.

Surat itu kemudian dibacakan oleh muridnya. Inti surat itu adalah khalifah sangat mengharap kehadiran Hasan al-Bashri di hajatan yang digelarnya itu. Hasan menampik dengan tegas, dan membalas surat kepada khalifah. Berikut ini penggalan isi suratnya.

Harun,
Apakah kau sangka dengan menjamuku dengan hidangan yang serba enak dan lazat, serta kau anugerahkan kepadaku hadiah yang mahal, kau mampu membujukku agar aku menjadi penyokong perbuatan mungkarmu?

Tahukah kamu, uang yang digunakan untuk merayakan acaramu adalah bersumber dari Baitul Mal, kas negara untuk kesejahteraan rakyat. Berarti, kau telah menggunakannya untuk kepentingan dirimu sendiri. Kau telah mencampakkan hak-hak rakyatmu yang fakir miskin, anak yatim, janda, dan sebagainya. ...

Belum genap sehari kau menjadi khalifah, sudah banyak dosa yang telah kau lakukan. Amanah rakyat telah kau khianati. Apalagi jika kian lama kau memerintah, maka semakin banyaklah dosa dan kemungkaran yang bakal kau lakukan. ...

“Ambillah surat ini lalu sampaikan kepada Tuan mu,” pinta Hasan.

Begitu surat itu sampai di tangan khalifah, khalifah pun langsung membuka dan membacanya. Kata demi kata dan baris demi baris surat itu diresapi oleh khalifah. Dan... kata-kata dalam surat itu telah menyebabkan Harun al-Rasyid menangis tersedu-sedu. Sebuah tangis keinsafan dan pertobatan.

Selepas peristiwa itu, Harun al-Rasyid selalu meletakkan surat itu di sebelahnya kala sembahyang. Ia menjadikan surat itu sebagai peringatan kepada dirinya agar tidak tergelincir dalam kedzaliman dan ketidakadilan. Maka tak heran, Harun al-Rasyid merupakan salah seorang khalifah Abbasiyah yang yang dikenali wara’, arif, dan bijaksana.

Kritik Hasan al-Basri juga pernah menimpa al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, salah satu gubernur di Irak. Sudah menjadi rahasia umum waktu itu, Al-Hajjaj adalah sosok pemimpin yang kejam, otoriter, dan suka memeras rakyat.

Suatu hari, al-Hajjaj sedang membangun istana megah di pinggiran kota Basrah untuk kepentingan pribadinya. Begitu proyek pembangunan selesai, al-Hajjaj mengajak rakyat berkumpul untuk bersenang-senang bersamanya.

Di sela-sela orang banyak yang sedang berkumpul itu, Hasan berdiri di depan khalayak dan berorasi dengan lantang. “Kita telah melihat apa yang dibangun oleh manusia paling keji ini. Ia tak ubahnya Fir’aun yang telah membangun bangunan yang besar dan tinggi, kemudian Allah membinasakannya, akibat kedzaliman dan kecongkakan yang telah diperbuat.”

Mendengar ucapan itu, al-Hajjaj berang. Hasan seketika dipanggil al-Hajjaj untuk dieksekusi mati karena telah menghina gubernur. Lalu, datanglah Hasan dengan tenang dan penuh percaya diri. Seluruh pandangan mata tertuju padanya. Dan jantung orang-orang pun berdenyut kencang dag.. dig.. dug..

Melihat ketegasan dan sikap jentelmen yang ditampilkan Hasan, seketika al-Hajjaj menjadi gentar dan berubah pikiran. “Kemarilah wahai Hasan! Kemarilah!” pintanya. Begitu Hasan duduk, al-Hajjaj menoleh ke arahnya, dan mengurungkan niat buruknya itu. Bahkan, al-Hajjaj malah berkonsultasi tentang berbagai permasalahan agama kepadanya. Dan akhirnya al-Hajjaj insaf.

Begitulah sepak terjang yang dilakoni Hasan al-Bashri. Baginya, sufi yang wara’ dan zuhud bukan berarti masa bodoh dengan dunia, tapi harus peka terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Membela yang tertindas dan melawan tirani yang dzalim. Di usia 80 tahun ia memenuhi panggilan Tuhannya. Tepatnya di Basrah Irak, pada Hari Jum’at awal Rajab tahun 110 H/728 M. []

Syir'ah, Edisi 54, Juni 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes