Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Kalau santri suka bola itu kan uda biasa, tak jarang mereka sampai dihukum gara-gara ulahnya itu. Tapi bagaimana jika kiai yang nonton bola, siapa yang berani menghukum hayo...? Ikuti juga prediksi piala dunia 2006 versi kiai-kiai gibol.
Waktu telah menunjukkan pukul 03.00 WITA dini hari. Suasana rumah di sepanjang jalan Tuan Guru Ibrahim al-Khalidi Pelulan Kuritan Utara kecamatan Kuritan kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat itu nampak sunyi senyap. Hanya suara hening malam yang terdengar.
Tapi… ada suara samar-samar lirih dari rumah di sekitar komplek pesantren Al-Madani. Aneh, ada suara tapi tak satu pun terdengar orang bercakap-cakap di rumah pengasuh pesanten yang berdiri sejak tahun 2001 itu.
Tiba-tiba, “Aaaaa....aaa..ah!!!,” pekik suara itu memecah hening dan mengagetkan seisi rumah. Seketika rumah itu menjadi gemuruh. Para penghuninya spontan terjaga dari tidur. Karena kaget, mereka berhamburan keluar kamar. “Ada apa ada apa?” tanya mereka satu sama lain. Mereka berjalan menuju ruang tengah. Dan… begitu melihat ada TV menyala di tempat itu mereka baru sadar, ternyata suara itu adalah jerit histeris Buya Subki saat nonton pertandingan sepak bola. “Oh... bola..,” gumamnya secara berbarengan. Pertandingan waktu itu antara Brazil versus Paraguay, saat seleksi 32 negara untuk masuk ke piala dunia 2006.
Buya Subki adalah panggilan akrab Subki Sasaki. Kiai yang lahir 30 tahun silam ini pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Madani. Ia gemar dengan olah raga ini sejak SD, saat masih nyantri di pesantren Al-Islahuddini Kediri Mataram Lombok.
Karena sudah menjadi hobi, dulu saat di pesantren Buya Subki sengaja mengatur jadwal khusus untuk main bola. Pagi sampai siang digunakan untuk belajar. Sedang sore hari sekitar jam 17.00 ia manfaatkan untuk main sepak bola. Tempat yang biasa digunakan main bola adalah lapangan dekat sungai. Kurang lebih dari pondok jaraknya 200 meter, dan panjang lapangan 80 meter. Selain sore hari, Buya Subki juga memanfaatkan hari libur Jum’at.
Gara-gara main bola, pria yang kini juga menjadi penasehat Komite Rakyat Anti Kekerasan di Lombok ini mengaku sering ketinggalan khotbah saat shalat Jum’at. Biasanya, pertandingan tak kan berhenti jika belum terdengar iqamat khutbah kedua dari corong masjid dekat lapangan.“Pas khutbah saya dan teman-teman masih asyik main bola, ketika iqamat langsung lari terbirit-terbirit menuju masjid,” kenangnya saat dihubungi Syir’ah via telpon.
Hingga kini, Buya Subki masih tidak mau ketinggalan dengan perkembangan mutakhir sepakbola dunia. Bedanya, kalau dulu ia bisa nonton dan main, sekarang tinggal nonton di TV saja. Jika siarannya dini hari, Buya Subki biasanya tidur dulu, kemudian bangun dan shalat tahajud plus witir, baru nonton bola.
Saat nonton bola, ia memang mempunyai kebiasaan teriak-teriak. Apalagi saat tim kesayangannya berhasil menjebol pertahanan lawan. Karena itu, ia lebih gemar nonton bola di rumahnya sendiri, biar tidak mengganggu orang lain. Ia juga lebih suka nonton bareng dengan orang banyak daripada sendirian. Kalau sendirian tidak asyik. “Kalau banyak orang kan kita bisa saling diskusi, berkomentar, dan dukung-mendukung,” tandas pengasuh pondok yang juga koordinator kajian budaya dan Islam di Pembayun dan Pengemban Adat Sasak (Pembasak) ini.
Kalau Buya Sasaki kini hanya bisa menjadi penikmat bola alias jadi penonton, maka berbeda dengan KH. Agoes Ali Masyhuri, pengasuh pesantren Bumi Shalawat Tulangan Sidoarjo Jawa Timur. Ia tidak hanya nonton, tapi ia juga masih sering merumput, bahkan menjadi pelatih.
Kiai yang nge-fans dengan Chelsea di liga Inggris itu punya stadion khusus sepakbola yang letaknya tidak jauh dari lokasi pesantrten, sekitar 200 meter. Di tempat itulah Gus Ali, sapaan akrabnya, kerap merumput dengan club-club Liga Sepakbola Utama (Galatama) Indonesia yang sedang uji coba. Bahkan ia juga mengajari teknik-teknik permaianan bola dan berstategi melawan tim lawan.
Di pesantren yang dipimpinnya itu, Gus Ali juga mempunyai tim kesebelasan. Namanya Persatuan Sepakbola Bumi Shalawat. Dari pembinaan intensif yang dikelola oleh pihak pesantren banyak pemain-pemain handal lahir dari sini. Santri-santri hasil besutan Gus Ali itu banyak yang bergabung di Persebaya Surabaya.
Antara lain, Uston Nawawi gelandang serang, Mursyid Effendi gelandang bertahan, Mat Chalil bek sayap, dan Bejo Sugiantoro bek tengah. “Mereka itu semuanya pernah ngaji di Pesantren Bumi Solawat ini,” ujarnya dengan berapi-api. Selain tim kesebelasan, pesantren ini juga punya tim Bulu Tangkis, namanya Persatuan Bulu Tangkis Bumi Shalawat.
ِِِKiai yang pernah mengenyam pendidikan di IAIN Sunan Ampel Surabaya ini punya keunikan saat nonton bola. Ghalibnya, orang kalau nonton bola itu ditemani kopi, rokok, kacang, atau jajan cemilan yang lain. Tidak bagi Gus Ali. Untuk mengusir rasa ngantuk ia terbiasa dengan membaca buku-buku ringan sembari nonton bola.
Sama halnya dengan Buya Subki, Gus Ali juga shalat tahajjud dulu sebelum nonton bola. Sungguh tradisi unik yang jarang ditemukan di luar kalangan pesantren.
Pesantren Bumi Shalawat berdiri tahun 1976, diririkan langsung oleh KH. Agoes Ali Masyhuri. Namun, kiprah pesantren ini baru bisa dirasakan oleh masyarakat luas sejak tahun 1981.
Gus Ali sengaja menerapkan konsep dakwah dan pendidikan tidak hanya dengan membaca kitab di majlis-majlis taklim atau ceramah agama. Ia menyadari dan memahami, ada orang-orang yang harus disentuh secara persuasif di luar ruang-ruang itu. “Salah satu tempat dakwah yang juga harus disentuh ya lapangan sepakbola,” tegasnya.
Soal cara berdakwah kepada masyarakat pecinta bola ini memang beragam fariasi. Salah satu pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Tegal Rejo Magelang Jateng KH. Muhammad Yusuf Chudlori punya cara lain.
Di pesantrennya, Gus Yus, sapaan sehari-hari, punya studio radio. Namanya Fast Fm. Lokasi studio radio yang mengudara di frekuensi 96.4 MHz ini sekitar 100 meter dari kompleks pondok. Hampir tiap even perhelatan sepak bola, radio ini mengadakan program acara “Nonbar” nonton bareng masyarakat. Acara yang baru saja selesai digelar adalah Nonbar final piala Champion: Barselona vs Arsenal. Begitu juga dengan even piala dunia 2006 nanti. “Kalau berminat silahkan datang saja ke mari,” ajak kiai yang juga pimpinan radio itu.
Tahun 2002, Gus Yus membuat kafe piala dunia di studio itu. Dalam sekejap, studio yang bermotto smart, care, and religious itu disulap menjadi kafe non-alkohol alakadarnya. Lantai pertama dijadikan kafe, dan lantai dua ditempati oleh pengelola radio. Pada even-even tertentu, kiai yang juga ketua tanfidziyah DPC PKB kabupaten Magelang itu juga terkadang mengadakan acara nonton bola di layar lebar.
Di tempat tersebut, masyarakat tidak hanya sekedar disuguhi tontonan. Tapi ada pernak-pernik acara. Misalnya, kuis, musik dari pengamen jalanan, dan ada pula pakar-pakar sepak bola lokal yang sengaja diundang sebagai komentator. Tak heran, apa yang dilakoni Gus Yus sekarang ini adalah bagian dari penyaluran hobi nonton sepak bola, plus dakwah.
Cintanya kepada sepakbola ini terbentuk sejak kecil dimulai dari lingkungan keluarga. Dulu kiai Khudlori (alm.), bapaknya yang juga pendiri dan pengasuh pertama API, juga suka bola. “Mengajak masyarakat kepada kebaikan ya harus dengan bahasa yang dimengerti mereka. Jika mereka suka bola ya kita suguhi bola,” ujarnya.
Sejak tahun 2001, kiai muda yang baru berusia 32 tahun itu diberikan kepercayaan masyarakat untuk mengelola klub sepakbola di kampungnya, namanya Persatuan Sepakbola Tegal Rejo. Klub ini berdiri tahun 1963, dan pernah menggondol juara satu pertandingan se-jawa tengah yang diadakan PSSI jawa tengah, tahun 1999.
Di daerah Sulawesi Selatan, ada kiai gila bola yang tak kalah menariknya. Tepatnya di daerah Benteng Baranti kabupaten Sidrap. Ia adalah Imran Muin Yusuf, pengasuh pesantren Al-Urwatul Wutsqa. Di daerahnya ia akrab disapa dengan ‘tuan guru’, yang maksudnya kurang lebih sama dengan ‘kiai’ kalau di daerah jawa.
Sejak umur 17 tahun, tuan guru Imran sudah tertarik dengan olah raga ini. Saat itu dunia padang rumput sedang dirajai oleh Belanda, dengan trio pemainnya: Marco Van Basten penyerang, Ruud Gullit gelandang serang, dan Frank Rijkard gelandang bertahan.
Yang bikin berbeda dengan kiai-kiai yang lain adalah kebiasaan tuan guru Imran. Jika yang lain hanya menikmati bola di lapangan atau lewat televisi, tidak hanya itu bagi tuan guru Imran. Ia juga dapat menyalurkan hobi sepakbolanya itu via internet.
Ia menyadari bahwa jangkauan siaran televisi sangat terbatas. Yang sering ditampilkan hanya pertempuran liga-liga yang sudah kondang, seperti Liga Inggris, Itali, dan Spanyol. Bagaimana dengan liga yang digelar oleh negara-negara Islam, maksudnya negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Tak mungkin jika hanya mengandalkan televisi.
Jalan satu-satunya yang mudah ditempuh untuk memuaskan hobinya itu adalah internet. “Untuk mengikuti perkembangan gelegar sepakbola di negara-negara Islam biasanya saya buka situs-situs koran Arab,” tukasnya. Situs-situs yang biasa dikunjungi oleh pengasuh pesantren yang berdiri sejak 1 april 1974 itu antara lain, www.ahram.org.eg, www.alhayat.com, dan www.arabo.com.
Dalam situs ahram dan alhayat ada banyak menu yang disajikan, tinggal klik menu al-riyadhah kita bisa berselancar sepuasnya menikmati berbagai perkembagan semua jenis olah raga di negara-negara Islam. Sementara situs arabo cara penyajian beritanya agak berbeda. Sebelum meng-klik menu al-riyadhah, kita harus memilih negara mana yang akan kita kunjungi. Terdapat sekitar 22 negara, antara lain: Saudi Arabia, Tunisia, Maroko, Mesir, dan Algeria. Semua berita di situs-situs itu menyajikan dua pilihan bahasa: Arab dan Inggris.
Di ajang piala dunia 2006, pengasuh generasi kedua pesantren Al-Urwatul Wutsqa yang juga penggemar Rud Van Nistelrooy striker Mancester United, menjagokan Belanda sebagai Sang Juara. “Meski belum pernah menggondol juara, saya percaya Belanda akan menang dengan total football-nya,” terangnya.
Total football adalah strategi sepakbola modern yang ditelurkan Rinus Michels, mantan pemain sekaligus timnas Belanda. Konsep dan strategi permain ini kali pertama diperkenalkan saat Piala Dunia 1974 di Jerman. Konsep stategi ini intinya: ‘menyerang merupakan pertahanan terbaik’.
Jelas, dengan empat belas kali masuk babak utama putaran final piala dunia, serta tujuh kali menjadi finalis, tim Oranye Belanda pantas diunggulkan sebagai salah satu tim yang diperhitungkan bisa menjadi batu sandungan bagi tim favorit juara di putaran final Piala Dunia 2006 Jerman.
Tidaklah demikian bagi Buya Subki. Kiai yang menjagokan Brazil ini punya pengamatan lain. Ia mantab bahwa Brazil akan juara lagi di tahun ini. Sebab Brazil masih dipenuhi oleh pemain-pemian bintang yang diakui dunia, seperti Roberto Carlos bek sayap, Ronaldinho gelandang serang, dan Ronaldo striker andalan.
Menurut analisanya, saat final nanti, Brazil tak bakal ketemu dengan Belanda, karena tim Oranye ini bakal keok di semi final. Brazil justru akan berebut juara dengan Argentina. Mengapa demikian? Nampaknya Buya Subki agak ketar-ketir dengan para menain Argentina. “Pemain-pemainnya berkualitas dan regenerasinya juga bagus,” ungkapnya.
Tahun 1994 Argentina melahirkan Gabriel Omar Batistuta, 1998 melahirkan Sbastian Veron, 2002 melahirkan Javier Saviola, dan tahun ini Argentina akan melahirkan Leonal Messi, striker muda yang baru saja membawa Barcelona menjadi juara piala Champion di Eropa mengalahkan Arsenal, dengan skor 2-1. Maka, wajar saja jika Buya Subki menghawatirkan Argentina, negara yang dijagokan oleh Gus Yus sebagai Sang Juara. Gus Yus memilih argentina karena ia tak meragukan kemampuan Leonal Messi dan Hernan Crespo dalam mencetak gol-gol kemenangan.
Lalu bagaimana dengan Gus Ali, ia dukung negara mana? Ketika ditanya soal itu Gus Ali berkelit. Di mata kiai yang lihai berdakwah dengan lisan dan tulisan ini, Sepakbola bukanlah soal dukung mendukung atau siapa yang menang dan siapa yang salah. Tapi, dalam sepakbola itu ada teknik, skill, speed, menajemen, dan juga ada seninya. “Saya ini kan pengamat bola, jadi harus obyektif serta tidak boleh memihak,” jelasnya dengan nada agak melengking. []
Syir'ah, Edisi 54, Juni 2006.