Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Saat membuka acara International Conference of Islamic Schoolar (ICIS) II, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono melontarkan statemen tegas soal hubungan Islam dan Barat. Presiden SBY, begitu dia biasa disapa, berangkat dari suatu kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Karena itu, menantu almarhum Letjen TNI Sarwo Edi Prabowo ini menganjurkan umat Islam Indonesia agar mencerminkan nilai dan prinsip Islam yang cinta damai, dan tidak memandang Barat dengan pendekatan sentimentil.
Mengapa SBY sampai berbicara begitu? Hemat saya, Sang Presiden ingin memaparkan kepada peserta konferensi, bahwa tindakan terorisme dan aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini marak di Indonesia memang benar-benar terjadi dan tidak mungkin ditutup-tutupi. Ini adalah persoalan riil problem kebangsaan. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal akur, bersatu, dan toleran, kini berubah wajah menjadi momok yang sangar dan menakutkan.
Dengan mencatut legitimasi agama, orang dengan seenaknya menghakimi orang lain, merusak tempat ibadah, menebar kebencian, saling fitnah, saling tikam, dan saling bunuh-membunuh. Tregedi demi tragedi terus bergiliran. Mulai dari tragedi berdarah di Maluku, Sulawesi, Aceh, sampai dengan teror bom bunuh diri di tempat-tempat khalayak. Sekejap, pandangan mata dunia Internasional tertuju pada Indonesia yang berubah menjadi negara seram dan sangar. Negara-negara Barat berebut mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak melancong ke Indonesia.
Anehnya, begitu beberapa pelaku aksi kekerasan itu tertangkap, dengan enteng mereka berdalih: saya hanya beramar makruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Saya tidak habis pikir, satu misal ketika melihat di televisi, salah satu tersangka peledakan bom di Bali, Imam Samudra alias Abdul Aziz, dengan tangan diborgol dan dijaga dengan ketat dia senyam-senyum di depan kamera dengan mengumbar jargon Allahu Akbar.. Allahu Akbar.., Allah Maha Besar, dan juga mengatakan jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Allah. Ironis sekali, nama kebesaran Tuhan dieksploitir menjadi martir penebar teror dan pencabut nyawa.
Kelompok-kelompok ini, di Indonesia, biasa disebut-sebut sebagai kelompok Islam fundamental atau radikal. Mereka memang sering kali mengeksploitasi doktrin-doktrin agama, baik dari al-Qur’an atau Hadis, sebagai pembenar langkah. Karenanya, belakangan ini, banyak orang-orang di luar Islam yang takut atau ngeri melihat masyarakat Islam. Jamaknya kita kenal dengan istilah ‘Islamphobia’, ketakutan kepada Islam.
Untung saja presiden SBY memahami ini. “Kita harus berbuat lebih cermat dan tegas untuk memerangi gelombang Islamophobia yang tampaknya sedang berkembang,” begitu katanya pada forum ICIS II di Hotel Borobudur, Jakarta, tanggal 20 Juni lalu.
***
Kelompok-kelompok tersebut diwadahi oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) yang beragam. Titik temunya adalah ihwal penyelesaian masalah. Jalan yang acap ditempuh adalah jalur kekerasan. Ormas yang disebut-sebut presiden SBY sebagai penebar kekerasan adalah Front Pembela Islam (FPI), Front Betawi Rempug (FBR), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Demikian seperti dikutip oleh Sekjen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Sonny T. Danaparamita usai bertemu presiden di istana negara kepada wartawan.
Gara-gara tindakan yang selalu main hakim sendiri itu, ketua umum FPI Habib Rizieq kena getahnya. Tahun 2003, ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan hukuman tujuh bulan penjara. Bukti kuat kesalahan Rizieq adalah adanya surat tertanggal 5 Mei 2000 yang ditandatanganinya selaku ketua umum. Dalam surat itu, tertulis instruksi yang ditujukan pada seluruh anggota FPI untuk melakukan gerakan anti maksiat dengan menutup dan memusnahkan tempat maksiat.
Tapi, nampaknya Rizieq tidak pernah kapok. Begitu keluar, ia meneruskan kebiasaan lamanya itu, hingga kini. Misal, dua tahun silam, Lasykar FPI menyerbu dan merusakkan pintu gerbang depan pekarangan Sekolah Katolik Sang Timur Tangerang Banten. Mereka datang sambil mengacung-acungkan senjata, berteriak-teriak, dan memerintahkan para Suster yang dianggap kafir itu agar menutup sekolah Sang Timur. Baru-baru ini, akhir Mei lalu lasykar FPI Bekasi merusak warung remang-remang di Kampung Kresek Jatisampurna Bekasi. Dengan modal senjata pentungan kayu, mereka mengobrak-abrik sebelas warung. Saat petugas keamanan setempat berusaha menghadang penyerangan itu, mereka malah ditantang.
Nasib sama juga dialami amir Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir. Tanggal 3 Maret tahun kemarin, ia dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom tahun 2002 di Bali, yang memakan korban sedikitnya 202 orang meninggal dan 209 orang cedera. Ia didakwa sebagai pemimpin besar Jama’ah Islamiyah (JI) yang memotivasi sejumlah pemboman di tanah air. Karena itu, ia dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan (30 bulan) penjara. Dan baru tanggal 14 Juni lalu, ia dibebaskan.
Jama’ah Islamiyah ini berdiri sekitar Januari 1993, setelah organisasi Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) pecah. Tokoh gerakan NII Abdullah Sungkar bersama Ba’asyir pernah melarikan diri ke Malaysia, Februari 1985. Pada saat itulah mereka mulai merintis JI. Menurut pengakuan salah seorang mantan pimpinan JI Nasir Abbas yang juga veteran pejuang Afganistan, Sungkar adalah pemimpin besar JI sebelum Abu Bakar Ba'asyir.
Hingga kini, keberadaan organisasi ini terbilang masih misterius. Orang-orang JI disinyalir punya hubungan dekat dengan kelompok Al-Qaeda pimpinan Osamah bin Laden di Afganistan.
Selain FPI dan MMI, seperti yang disebut-sebut presiden di atas, ada juga Forum betawi Rempug (FBR). Belum lama ini, Pebruari tahun lalu, puluhan orang berseragam FBR mengkroyok pedagang Pasar Senen Jakarta Pusat. Korbannya bernama Waridin, salah seorang pedagang. Insiden ini bermula dari salah paham urusan jual beli. Terus berkembang pada cekcok dan adu fisik. Adu jotos itu terjadi pagi hari antara pedagang dengan tiga anggota FBR.
Dan pada 10 Mei lalu, ratusan massa dari FBR bentrok dengan warga suku Madura. Tepatnya di Jembatan Dempet, perbatasan Kelurahan Sunter Jaya, Jakarta Utara, dengan Sumur Batu, Jakarta Pusat. Tawuran ini dipicu oleh perselisihan sepele terkait perebutan ‘timer’ angkutan umum. Massa Madura yang bersenjata tajam dan kayu balok itu tawur dengan massa FBR yang bersenjata samurai dan balok kayu.
Ada lagi kejadian di bulan Mei. Tanggal 23, mantan presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid diusir oleh ormas Islam yang mengatasnamakan dirinya dari FPI, MMI, FUI (Forum Ulama Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Saat itu, Gus Dur, panggilan akrabnya, menghadiri acara “Dialog Lintas Agama dan Etnis” di Purwakarta Jawa Tengah. Mereka menolak kehadiran Gus Dur, karena dianggap telah menistakan agama.
***
Atas aksi-aksi kekerasan yang marak itu, Presiden SBY menegaskan, bahwa pemerintah akan menindak tegas ormas yang bersikap anarkis. Di samping itu, pemerintah juga berniat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. (13/6).
Ismail Yusanto, juru bicara HTI, merespon keras pernyataan SBY. “Kami akan melawan sekuat tenaga kalau HTI dibubarkan. Kami punya hak untuk berpendapat dan berkumpul sebagai warga negara,” tegasnya kepada media. Pada kesempatan yang berbeda, ketua umum FPI Habib Riziq menyatakan, “Sebelum dibubarkan, sebaiknya pemerintah mengajak dialog terhadap ormas-ormas yang dianggap anarkis.”
Bahkan, Rizieq balik menuduh. Ia justru khawatir dan merasa terancam dengan munculnya kelompok yang disebutnya sebagai ‘komparador Amerika Serikat’ melalui LSM-LSM yang ada di Indonesia. Menurutnya, LSM-LSM itu dibiayai oleh Amerika Serikat dan malah sudah akan dilatih sebagai milisi sipil. “Mereka ini sangat berbahaya karena menjual negara ke asing. Sedangkan ormas-ormas Islam meski radikal tidak akan pernah menjual negara ini,” paparnya.
Ya.. begitulah dilema religiusitas di Indonesia. Hingga artikel ini ditulis, pemerintah Indonesia masih menakar persoalan ini. Belum ada langkah kongkrit yang sudah dijalankan untuk keluar dari soal ini. Semuanya masih dalam proses. Semoga saja perdamaian dan toleransi tersemai (kembali) di bumi merah putih. Amiin.[]