Wednesday, September 20, 2006

Antara Idealisme dan Pasar

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Ada kepentingan dominan dalam bisnis majalah Islam: memilih idealisme atau lebih melayani pasar. Tak ayal, jika kompromi sebagai jalan keluar.

Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, Kuasa Ilahi, Titipan Ilahi, Astaghfirullah, Taubat, Hidayah, adalah tayangan yang beberapa waktu lalu laris manis ditonton. Tayangan-tayangan itu menyebar hampir di semua stasiun televisi. Begitu tombol power TV dipencet, pada parttime (waktu utama, jam 19.00-21.00) bisa dipastikan, sinetron-sinetron religius itu pasti akan muncul.

Membludaknya sinetron religius ini tak lepas dari kisah sukses Rahasia Ilahi yang ide ceritanya bersumber dari majalah Hidayah. Rating tayangan itu mengungguli berbagai tayangan. Kenyataan ini menurut hasil survey Ac Nelsen, sebuah lembaga survey dari Amerika Serikat.

Di luar tayangan televisi, dari segi oplah dalam waktu yang singkat (tidak lebih dari tiga tahun) majalah yang mengumbar jargon Sebuah Intisari Islam ini juga telah mampu merajai pasar industri majalah di Indonesia dan menyalip ‘pemain-pemaian’ lama yang cukup terkenal. Analisis ini diungkap majalah periklanan, promosi, dan kehumasan, Cakram, pada edisi Khusus Majalah dan Tabloid, Juni-Juli 2004.

Berdasarkan penelitian Nielsen Media Reserch tahun 2004, Hidayah bertengger di posisi teratas dalam kategori 10 majalah dengan pembaca terbanyak. Persis di bawahnya, ada majalah Aneka Yess. Sedangkan Tempo berada di posisi buncit. Paska itu, pertengahan tahun 2004, stasiun televisi swasta berbondong-bondong untuk menayangkan film yang ceritanya bersumber dari majalah-majalah Islam.

Fenomenal memang. Edisi perdana, Agustus 2001, Hidayah hanya mencetak 10 ribu eksemplar dan itu dipasarkan lewat masjid-masjid pada hari Jum’at. Belum setahun, melonjak menjadi 100 ribu eksemplar. Bahkan, tahun 2005 tirasnya mencapai 380 ribu eksemplar. “Perkembangan ini bisa dibilang bak meteor,” kata Ridwan selaku pemimpin redaksi majalah yang baru saja menerima penghargaan Indonesian Best Brand Award dari majalah SWA ini.

Sebelum Hidayah, majalah Islam yang pernah mendulang sukses adalah Sabili. Setelah beberapa tahun paska terbitnya menjadi majalah underground, terbit sembunyi-sembunyi tanpa Surat Izin Untuk Penerbitan dan Pers, tahun 1998 Sabili mengubah diri menjadi majalah yang profesional. Tirasnya pun melesat. Mulai dari 17 ribu, 20 ribu, 40 ribu, hingga sampai menembus angka 100 ribu eksemplar. Puncaknya yaitu saat berkecamuk konflik di Ambon, tahun 2000-an.

Ini adalah sejarah pertama majalah Islam menempati peringkat teratas dipentas nasional. “(Hal ini menunjukkan) kehadiaran Sabili tidak hanya disambut oleh tokoh-tokoh Islam, tapi juga umat Islam secara menyeluruh,” urai Aswin.

Terbukti di tahun 2005, berdasarkan survei Nielsen Media Reserch, Sabili adalah majalah dengan pembaca terbanyak umur 20 tahun ke atas, di bawah majalah Hidayah. Selain itu, majalah yang berkantor di Cipinang Cimpedak Jakarta Timur ini juga menyabet kategori media dengan pembaca laki-laki terbanyak.

Kenyataan ini, membuktikan bahwa Islam sebenarnya sudah tidak lagi pada wilayah periferal, kalangan pinggiran yang tidak laku ‘dijual’. Menurut pengamatan Ahmad Suaedy, Meski ada media-media umum, seperti Tempo, Gatra, juga Forum, media Islam tetap digemari oleh kelompok masyarakat yang membutuhkan informasi secara spesifik. “Pergerakan industri majalah Islam yang amat dominan ini merupakan pasar potensial sebagai lahan bisnis,” kata peneliti dan pengamat media Islam dari The Wahid Institute ini.

Maka sebuah kewajaran, jika fenomena Sabili kala itu mengilhami lahirnya media-media Islam yang lain. Majalah yang kali pertama terbit setelah tragedi Tanjung Periuk 1984 ini bisa dibilang pelopor, setelah media-media Islam yang lahir sebelumnya tidak mampu bersaing.

Kehadiran Sabili diikuti antara lain oleh Ummi dan Annida. Lalu, paska reformasi muncul pula Saksi, Tarbawi, El Fata dan Tatsqif. “Kehadiran media-media di atas bisa jadi karena kepeloporan Sabili, bahkan tidak menutup kemungkinan karena tidak puas pada sajian Sabili,” ujar Aswin yang juga pernah bekerja di harian Kompas dan Pikiran Rakyat.

Majalah-majalah yang seirama dengan Sabili ini menurut Eriyanto dan Amir dari Cakram orientasinya masuk kategori ideologis. Apa itu ‘media ideologis’? “Media yang berangkat dari idealisme untuk memperjuangkan misi tertentu. Seandainya ada perubahan tren, maka tetap konsisten dengan misi utama,” kata Eriyanto, analis media pada Institut Studi Arus dan Informasi. Sebut saja Annida. Media yang kali pertama terbit tahun 1991 ini diterbitkan sebagai media dakwah Islam untuk para pelajar dan remaja Islam. Awak redaksinya pun rata-rata adalah jebolan Lembaga Dakwah Kampus.

Begitu pula dengan Suara Hidayatullah dan Syir’ah, juga tergolong media ideologis. Misi Hidayatullah adalah mengusung pemurnian tauhid dan penegakan syariat Islam. Sementara Syir’ah, berkeinginan untuk menyebarkan ajaran Islam yang toleran, terbuka, dan anti kekerasan.

Untuk kategori yang kedua, adalah media-media yang berorientasi pasar. Di antaranya adalah majalah Paras, Alia, Hidayah, Al-Kisah, dan Noor. Lalu ada Nurani dan MQ untuk bentuk tabloid. Di antara media-media ini Hidayah yang paling fenomenal.

Menurut pengakuan Ridwan, kesuksesan majalah ini juga mengilhami terbitnya media-media Islam baru, semisal Hikayah, Sajadah, Alkisah, Ghoib, dan banyak lagi yang lain. Semuanya mengandalkan cerita-cerita mengikuti tren yang sedang populer.

Harun Musawa, pemimpin redaksi Alkisah, tak menampik. Majalahnya yang sudah memasuki tahun keempat ini juga berangkat dari tren. “Ya.. realistis sajalah, kita juga tidak mau ketinggalan tren..,” kata suami pemilik PT Aneka Yess ini.

Di sisi lain ada beberapa majalah yang memilih segmen tertentu, berbeda dengan yang lain. Lihat saja, saat Anggun terbit tahun 2005. Menurut pengakuan pemimpin redaksi Imam Ma’ruf, terbitnya majalah ini memang karena kecerdasan seorang pimpinan dalam menangkap pasar. “Maka, terbitlah Anggun yang mengambil segmen yang masih kosong, pernikahan Islam,” terangnya.

Walau berangkat dari sebuah tren, satu sama lain punya prinsip dasar. Majalah Muslimah satu misal. Pemimpin redaksinya, Irra Fachriyanthi, memegang prinsip, siapapun yang masuk majalah ini, pakaiannya harus menutup aurat. “Narasumber dan model iklan kalau perempuan ya harus pakai jilbab, meski sehari-hatinya dia tidak pakai jilbab,” tambah alumnus Politeknik Institut Teknologi Bandung ini.

Berbeda dengan Noor yang agak longgar dalam batasan. Kalau narasumber perempuan apakah harus berjilbab? “Tidak,” tegas pemimpin redaksi Noor Jetti Rosila Hadi. Narasumber akan ditampilkan apa adanya, tidak harus berjilbab. Hal ini bukannya tanpa alasan. Tila, panggilan akrabnya, menyitir sebuah pepatah, “Lihatlah apa yang dia katakan, janganlah melihat siapa yang berkata.”

Khusus untuk cover depan, Noor memilih figur yang memang saban harinya memakai jilbab. Untuk halaman-halaman Noor tak memberi patokan harus. “Mau berjilbab atau tidak, kalau dia pakar ya harus kita dengarkan pendapatnya,” kata ibu kelahiran Bukit Tinggi Sumatra Barat, tanggal 6 Januari 1956 ini.

Menurut Suaedy, Direktur Eksekutif Wahid Institut, yang cukup lama di penerbitan LKiS Yogyakarta, pada dasarnya media-media itu—baik yang ideologis maupun yang pasar—ketemu pada satu titik, Islam sebagai pasar yang dibidik. “Mereka semua berebut pasar,” katanya. Karena itu, isu yang dipilih pun bermacam-macam: mulai dari agama, politik, ekonomi, sampai dengan gaya hidup (life style). Demikian pula pada sisi segmen. Ada yang membidik anak, remaja, usia nikah, dan dewasa. Juga ada yang khusus diperuntukkan pembaca wanita. (Lihat tabel).

Bagaimanakah mereka meladeni pembaca? Harun Musawa punya pengalaman menarik. Usai solah Jum’at, tanggal 11 Agustus lalu, HP-nya berbunyi. Ternyata, ada SMS masuk dari nomor yang tak dikenal. Saat Syir’ah berkunjung ke kantornya di Jalan Salemba Tengah Jakarta Pusat, ia menunjukkan isi SMS itu.

“Assalamu’alaikum, Pak Harun. Tidak ada doa taubat para Nabi, yang benar adalah doa wasilah para Nabi. Poster dasar syekh Imam Maliki jangan merah dong...” Begitu bunyi pesan pendek itu. Ini adalah respon pembaca Alkisah edisi Agustus 2006. “Respon ini saya tanggapi dengan baik. Lain kali saya harus menghindari warna merah sebagai warna dasar poster,” kata pria berusia 49 kelahiran Semarang ini.

Ada lagi cerita dari majalah ekonomi Islam Modal Syariah Business. Pada mulanya, majalah ini bernama Modal. Majalah yang terbit sejak Oktober 2002 ini mengupas soal ekonomi Islam. Dengan nama yang umum itu, publik merasa canggung dan responnya minim. Akhirnya, Januari 2006 berganti nama menjadi Modal Syariah Business. Nama baru ini akhirnya membawa respon yang baik di pasar. “Meski kelihatannya sepele, ternyata nama membawa pengaruh yang luar biasa pada pembaca,” kata Guntur Subagja Mahardika, pemimpin redaksi Modal Syariah Business.

Beberapa cerita di atas adalah contoh kecenderungan media yang meladeni pasar. Ini juga terjadi pada media-media yang mulanya tergolong ideologis. Di awal terbit, Annida memang berdiri sendiri dan dibidani oleh keluarga yang berlatar Lembaga Dakwah Kampus. Karena tak kuasa menghadapi pasar, tahun 1993 mereka memutuskan untuk bergabung dengan manajemen Ummi Group. Kontennya pun dirubah. “Mulanya lebih banyak artikel dan feature. Saat bergabung dengan UMMI, spesifik pada sajian fiksi dan cerpen,” kata pemimpin redaksi, Ahmad Abrori.

Suara Hidayatullah pun demikian. Majalah yang digawangi oleh para ustad di pesantren yang ingin menegakkan syariat Islam ini, kini juga mengalami perubahan-perubahan akibat laju perkembangan pasar. Majalah yang pada mulanya diperuntukkan untuk santri dan alumni pesantren Hidayatullah kini diperluas pembacanya.

Demikian juga ihwal iklan. “Mulanya kita memang tidak ada iklan, namun kini iklan memakan tempat sekitar 10 sampai 15 halaman,” aku Saiful Hamiwanto, pemimpin redaksi. Karena perubahan itu, sebagian pembaca ada yang tidak puas. “Suara Hidayatullah komersil... kapitalis…” kritik salah seorang pembaca, yang diceritakan kembali oleh Saiful kepada Syir’ah.

Nampaknya, kompromi dengan pasar adalah suatu hal yang tak terhindarkan. Karena itu, tak ada lagi majalah Islam yang murni ideologis atau murni pasar. Kini, tergantung masyarakat, mau pilih yang mana? Kalau ingin tahu kontroversi ‘perda syariah’ dalam perspektif Sabili, belilah Sabili. Kalau ingin perspektif Syir’ah, belilah Syir’ah. Menurut Ibnu Hammad, kalau memang ditemukan perbedaan pendapat, ya dianalisis saja. “Ini milik siapa, dan yang itu punya siapa,” sarannya. []

Syir'ah/57/September/2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes