Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Media-media Islam yang aktif menyuarakan keterbukaan, keragaman, dan anti kekerasan kini kian himpit. Masihkah ada harapan?
Sebelum sampai buletin disodorkan, pengurus masjid itu menolak mentah-mentah.
“Anda dari mana?” tanya salah seorang pengurus masjid.
“Dari P3M Pak... saya mau mengedarkan buletin Jumat-an di masjid ini...” Jawab Kholid (bukan nama sebenarnya).
Begitu dengar nama P3M, pengurus masjid itu langsung emoh (Jawa. tidak mau Mengapa menolak? “Buletin ini bukan dari Majelis Ulama Indonesia atau lembaga Islam resmi yang lain,” terang pengurus itu.
Buletin yang bernasib nahas itu bernama al-Nadhar. Buletin yang terbit saban Jumat ini diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, disingkat P3M, yang berkantor di Cililitan, Jakarta Timur. Hanya gara-gara bukan diterbitkan oleh lembaga Islam resmi, buletin ini terganjal. “Mungkin juga dikarenakan stigma beberapa kalangan, P3M dinilai sebagai lembaga Islam yang sesat, liberal, tidak islami, dan seterusnya,” kenang pemimpin redaksinya, Agus Muhammad, kepada Syir’ah.
P3M sejak awal berdiri, tahun 1983, dirancang sebagai wahana pemberdayaan masyarakat pedesaan dan pesantren, serta berupaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial masyarakat yang demokratis, adil, dan bermartabat. Pertengahan tahun 2002, lembaga ini menerbitkan buletin al-Nadhar, sebagai media dakwah yang bervisi menebarkah ajaran Islam anti-kekerasan, menerima perbedaan, dan memberi rasa aman kepada orang lain. Segmen yang disasar adalah umat Islam di masjid usai shalat Jumat. Orang-orang biasa menyebutnya ‘buletin jumatan’.
Serupa tapi tak sama, Warkah al-Basyar juga buletin jumatan. Kantor redaksi buletin yang pertama kali terbit bulan Juni 2002 ini terletak di Cirebon Jawa Barat. Wilayah distribusinya pada tahun pertama hanya di wilayah Cirebon, dengan daya jangkau sebanyak 20 masjid. Kini sudah berkembang pesat, hampir merata di beberapa kabupaten di propinsi Jawa Barat. “Sekarang perkabupaten ada 20 masjid yang sudah terjangkau,” papar Rosidin, Redaktur Pelaksana.
Namun, pada tahun ketiga buletin empat halaman ini menuai batu sandungan. Ada kelompok tertentu yang mengkampanyekan anti Warkah al-Basyar. Buletin itu dituding media perusak aqidah Islam. Kampanye itu disampaikan saat khutbah Jumat di masjid-masjid, “al-Basyar telah merusak agama,” kata sang khotib seperti yang diceritakan Rosidin.
Warkah al-Basyar berusaha menghembuskan wawasan keagamaan yang progresif: kritis dalam berfikir, terbuka dalam bersikap, berdaya dalam martabat, dan berkeadilan dalam tatanan kehidupannya. Cita-cita itu senada dengan keinginan Fahmina Institute, lembaga yang menerbitkannya. Berdiri sejak tahun 2001, digawangi KH. Husein Muhammad, pengasuh pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.
Tuduhan yang sama juga menimpa al-Wasathiyyah, majalah yang terbit hasil kerjasama International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). BKSPPI memiliki ratusan jaringan pesantren se-Indonesia. Lewat tangan BKSPPI, majalah bertiras 3000 eksemplar itu dituding menjadi media yang berupaya menularkan paham ‘syirik modern’ di pondok-pondok pesantren. Langkah BKSPPI itu dinilai tak sejalan dengan fatwa MUI tentang keharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, biasa disingkat ‘sepilis’.
ICIP adalah lembaga yang menekuni isu-isu soal Islam dan pluralisme. Dikomandani doktor alumnus University of Melbourne, Australia dan mantan pemimpin redaksi Majalah Umat, Muhammad Syafii Anwar. Sementara BKSPPI lebih memfokuskan kegiatannya pada urusan kepesantrenan. KH Kholil Ridwan, salah satu ketua MUI pusat dan mantan kandidat Presiden RI yang diusung Partai Keadilan KH. Didin Hafiduddin tercatat sebagai pengurus organisasi ini.
Februari 2006 menjadi edisi perdana majalah yang terbit triwulanan ini. Melalui media ini ICIP ingin mengangkat tema-tema pemikiran keagamaan yang terbuka, toleran, dan menghargai keberagaman. Hadirnya media ini, menurut redaktur pelaksananya Ahmad Fuad Fanani, diharapkan menjadi media penyeimbang. “Sebab, selama ini, media Islam dikuasi oleh kalangan Islam fundamentalis,” kata Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhamadiyah (JIMM) itu.
Beberapa bulan sebelum al-Wasathiyyah terbit, lembaga yang dikepalai putri mantan presiden Abdurrahman Wahid Yenny Zanuba Wahid, The Wahid Institute (WI), menerbitkan buletin catur wulanan. Edisi pertamanya November 2005-Februari 2006. Buletin berukuran 25 x 30 centimeter itu bernama Nawala. Kehadirannya tak lepas dari visi WI. Sejak didirikan september 2004, WI becita-cita untuk mengembangkan demokrasi, pluralisme, dan Islam damai di Indonesia.
Nawala lebih mengangkat tema-tema yang aktual di masyarakat. Antara lain, isu agama dalam pemilihan kepala daerah, kontroversi perda syariat Islam di beberapa daerah, juga menyoroti perkembangan otonomi daerah. Menurut Gamal Ferdhi, buletin ini juga mengawal proses demokratisasi di daerah-daerah. “Jangan sampai agama dipolitisir untuk kampanye kemenangan salah satu parpol,” kata Pemimpin Redaksi buletin setebal delapan halaman itu.
Secara gratis, Nawala didistribusikan ke perusahaan, ormas Islam, partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat, dan jaringan WI lainnya. WI juga aktif melakukan kampanye nilai-nilai pluralisme di majalah Gatra, majalah mingguan yang bermarkas di Kalibata Timur Jakarta, dengan menyisipkan ‘suplemen Islam’.
Media-media yang berusaha menggaungkan perdamaian, menghargai perbedaan agama, ras, dan identitas itu memang punya keunggulan tersendiri. Mereka punya visi yang kuat dalam menciptakan iklim demokratisasi dan kerukunan antar umat beragama. Indonesia sendiri bukanlah negera berpenduduk homogen. Masyarakatnya terdiri dari berbagai ragam suku, adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Sebagian masyarakat percaya, masyarakat muslim Indonesia lebih moderat di banding negeri muslim di Timur Tengah. Media-media ini punya ceruk pasar sendiri. Media ini ingin menjadi penyemai damai, bukan malah menyulut konflik.
Ketika konflik bernuansa agama dan etnis meletus di Ambon (1999), Poso (2000), Sampit (2001), dan Aceh (1989-2005), sejumlah media massa memang tak jarang menjadi media penyebar kebencian dan propaganda. “Alih-alih menempatkan diri sebagai mediator dan agen transformasi konflik, sebagian media malah terlibat dalam penyebaran bahasa perang dan kebencian,” kata Eko Maryadi, Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen.
Wartawan lepas di sejumlah media internasional ini berharap media-media penyebar damai itu terus tumbuh subur dan berumur panjang. Tapi itu masalahnya? Kebanyakan media ini tak seperti nasib media Islam pada umumnya. Beragam kelemahan menggelayut perjalan mereka. Misalnya soal kemasan yang tak tergarap maksimal. Desain dan tata letak masih dirasakan amat konvensional. Belum lagi soal isi dan bahasa yang disajikan yang masih “melangit”.
Ini dialami jurnal keagamaan dan kebudayaan Taswirul Afkar, jurnal yang terbit sejak 1997. Jurnal ini mengusung visi menebar wacana keagamaan dan kebudayaan yang lebih inklusif, toleran, dan pluralis. Seperti dituturkan Redaktur Pelaksana Ahmad Fawaidl Syadzili, dari sekian respon pembaca yang masuk ke meja redaksi, rata-rata komentar berputar soal sajian yang dinilai terlalu berat, susah dimengerti, dan kurang nge-pop. Kendala ini bukan kasus khusus Taswirul Afkar. Ghalibnya jurnal-jurnal lain, pasar media ini tersegmen di kalangan berpendidikan menengah ke atas. “Kita sadar, jurnal ini susah dimengerti oleh masyarakat akar rumput,” kata pria berdarah Madura itu.
Jurnal terbitan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) itu mensasar segmen pembaca dari kalangan pesantren, akademisi, dan pengamat Nahdlatul Ulama. Lakpesdam NU didirikan bertepatan dengan ulang tahun NU yang ke-61, yakni tahun 1985. Organisasi itu diniat bisa menjadi kanal penggemblengan sumber daya manusia yang konsisten pada visi kerakyatan, demokratisasi, dan gerakan civil society.
Kendala penyajian bahasa dialami Swara Rahima. Buletin yang mengusung isu-isu perempuan ini bercita-cita mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam penyajian bahasa, buletin yang terbit tahun 2001 ini terkesan ekstra hati-hati. Terutama paskafatwa MUI tentang vonis haram pluralisme.
“Kita tidak menggunakan istilah pluralisme lagi, tapi dengan istilah keragaman,” kata Leli Nurrahmah, salah satu dewan redaksi. Mengapa? Masyarakat sering salah faham dalam mengartikan istilah yang digunakan Swara Rahima. Misalnya istilah pluralisme. Gara-gara beda pemaknaan, terjadi salah paham. Akhirnya pluralisme divonis haram. Menurut Leli, sekarang ini Swara Rahima berusaha untuk tidak mengangkat hal-hal yang bisa membikin kontroversi.
Seperti nama akhirnya, buletin ini diterbitkan Rahima, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam perspektif Islam. Segmen yang dibidik, kalangan pesantren, perempuan secara umum, dan akademisi.
Terutama untuk buletin jumatan, kendala yang dihadapi lebih banyak soal sempitnmya jaringan distribusi. Mereka yang dicap agen-agen Barat itu kesulitan masuk masjid. Sebagian besar masjid “dikuasai” jaringan media-media Islam yang disebut-sebut berkarakter fundamentalis. Umumnya para pengurus masjid beralasan, isi media-media ini tak sejalan dengan ajaran Islam. Belum lagi soal stigma liberal, pluralis, sekuler seperti disebut dalam fatwa MUI. “Kelemahan kita adalah, kita tidak mampu menangkis serangan fitnah itu, akhirnya kita yang jadi korban,” kata Rosidin yang kantornya pernah disatroni beberapa ormas Islam gara-gara dianggap tak mematuhi fatwa MUI soal pluralisme.
Kalau begini, bagaimanakah prospek media-meda itu? Mampukah media-media itu bertahan? Me¬nu¬rut pengamat media Islam dan Direktur Uta¬ma PT. Mizan Haidar Baqir, laju perkem¬bang¬an itu tergantung pada media yang ber¬sangkutan. Kalau memang media itu be¬¬¬nar-benar terbuka dengan segala bentuk kha¬zanah pemikiran dan peka terhadap aspi¬rasi masyarakat, maka masa depannya akan ce¬rah. “Jika tidak, jangan berharap ada masa depan,” ujar alumnus Harvard University ini. []
Syir'ah/57/September/2006