Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Masing-masing punya aktor dan latarbelakang yang tak bisa disamaratakan. Siapakah wajah-wajah di balik majalah-majalah Islam itu?
Duapuluh dua tahun silam. Ratusan umat Islam dibantai dan dibrondong peluru. Tanpa ampun. Massa kocar-kacir, jerit histeris, dan cucuran darah melumuri bumi Tanjung Priok. Tepatnya tanggal 12 September 1984, tragedi berdarah di daerah Jakarta Utara itu meletus. Peristiwa ini bermula dari ketidakpuasan umat Islam atas pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal. Pada akhirnya, berujung pada pembantaian ratusan umat Islam di Tanjung Periok.
Suara umat Islam benar-benar terbungkam kala itu. Bahkan, forum pengajian keislaman dan majlis-majlis taklim harus mendapat izin dari pihak keamanan terlebih dahulu. Atas kegelisahan ini, beberapa anak muda mencari format ideal untuk menyuarakan dengung Islam yang ditutup rapat. Akhirnya, mereka merasa bersepakat perlu membuat media sebagai penunjang misi dakwah. Selang setahun lebih setelah tragedi itu, terbitlah sebuah majalah bernama Sabili.
Kisah ini diceritakan oleh Aswin Jusar, Pemimpin Redaksi Sabili, pertengahan Agustus lalu.
Karena manajemen yang belum rapi, edisi ini sekaligus menjadi edisi terakhir. Baru pada tahun 1988 Sabili kembali terbit. Sayang, Sabili hanya mampu bertahan sampai tahun 1993. Tak lama, angin reformasi berhembus. Pertengahan tahun 1998, Sabili terbit kembali di bawah PT. Bina Media Sabili. “Ini adalah edisi kebangkitan,” kata Aswin.
Di antara penggagasnya adalah Zainal Muttaqin dan Rahmat Abdullah. Zainal Muttaqin lahir di Labuan Banten, tanggal 13 Agustus 1963. Tahun 1988, ia menjabat sebagai pemimpin redaksi Sabili. Sebelum itu, ia tercatat sebagai reporter majalah Kiblat, salah satu majalah Islam yang terkemuka pada 1980-an. Pernah kuliah ilmu politik di Universitas Indonesia. Kemampuan jurnalistiknya juga diasah di majalah Risalah dan tabloid Salam di Bandung.
Jika Zainal lebih dikenal sebagai jurnalis, Rahmat Abdullah lebih akrab dengan dunia dakwah. Pria berdarah Betawi lahir tanggal 3 Juli 1953 ini wafat dalam usia 52 tahun. Mantan pemimpin umum Sabili ini adalah salah satu pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saat pemilu tahun 2004, ia terpilih sebagai Anggota DPR RI dari PKS.
Sembari duduk santai di ruang tamu kantor Sabili, berukuran 3 x 4 dan bercat kuning muda, dengan penuh keakraban Aswin bercerita kepada Syir’ah. “Pada awal-awal berdiri, pembiayaan majalah Sabili dengan cara patungan, dan belum dikelola secara profesional.”
Model ‘pembiayaan awal’ dengan patungan ini juga dialami media-media Islam yang lain. Semisal Suara Hidayatullah, Annida, Wildan, dan Tatsqif. Media-media ini tergolong mandiri dalam mengembangkan usahanya. Mandiri maksudnya tidak punya grup atau kelompok usaha, dan tidak gabung dengan manajemen perusahaan lain.
Suara Hidayatullah, misalnya terbit pertama kali awal tahun 1988. Bentuknya buletin. Dan bulan Mei 1988 formatnya berubah menjadi majalah. Menurut keterangan Saiful Hamiwanto, pemimpin redaksi Suara Hidayatullah, majalah ini dibuat sebagai sarana komunikasi pesantren Hidayatullah pusat dengan cabang-cabangnya di berbagai propinsi.
Nama majalah diambil dari nama pesantren Hidayatullah di Balikpapan Kalimantan Timur. Berdiri pada tanggal 7 Januari 1973. Pendiri dan pengasuh pertamanya bernama Abdullah Sa’id (alm.). Ia aktif di bidang dakwah Islam. Di ormas Muhammadiyah, ia terlibat dalam kegiatan dakwah dan pengkaderan. Kegiatan dakwah ini dilakoninya sejak kecil.
Saat merintis pesantren Hidayatullah, ia didukung lima orang ustad: Usman Palese dari pesantren Persatuan Islam Bangil Jawa Timur, Hasan Ibrahim dari pesantren Krapyak Yogyakarta, Hasyim HS dari Gontor Ponorogo Jawa Timur, Nazir Hasan dan Kisman dari Akademi Tarjih Muhammadiyah. Pada akhirnya, melalui Musyawarah Nasional I tahun 2000, Hidayatullah mengubah bentuknya: menjadi organisasi kemasyarakatan. Dan, “Suara Hidayatullah menjadi salah satu badan usaha di bidang pers,” ujar Saiful kalem.
Di kota Solo Jawa Tengah, ada juga kantor redaksi majalah Islam. Namanya Wildan. Sayangnya Syir’ah tak sempat bertamu ke sana. Akhirnya, wawancara dilakukan via telepon dengan pemimpin redaksinya, Hadid Saiful Islam. “Wildan diterbitkan berlatar kekecewaan atas perkembangan dunia berbukuan dan media elektronik yang cenderung mengarah pada pornografi, pornoaksi, dan tayangan-tayangan tahayyul,” aku pria kelahiran 3 Juli 1973 ini.
Hadid Saiful Islam dan Misbah Abu Zakaria adalah dwi tunggal pada majalah yang terbit pertama kali bulan Juli 2001 ini. Hadid berperan sebagai pemimpin redaksi. Pria yang lahir di Salatiga Jawa Tengah ini jebolan jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri Surakarta. Ia berkecimpung di Yayasan Lajnah Istiqamah (YLI) dan Pesantren Imam Bukhari di Surakarta, dibawah pimpinan Ahmad Faiz Asifuddin. Ia juga aktif membendung gerakan kristenisasi di lembaga tersebut.
Sementara Misbah adalah pemimpin perusahaan. Selain merintis Wildan, ia punya andil di majalah remaja Islam El Fata yang terbit di Sukoharjo Solo dan majalah Islam dewasa As-Sunnah. Ia juga aktif di YLI. “Hingga kini, saya dan Misbah Abu Zakariya selalu bekerja sama untuk memajukan Wildan,” tegas Hadid.
Setahun belakangan ini, masih banyak bermunculan media-media Islam baru. Sebut saja Tatsqif. Keberadaannya ditopang oleh keinginan penggagas untuk bisa menyebarkan wawasan keislaman, khususnya di lingkungan sekolah dan kampus. Majalah yang edisi perdananya terbit pada bulan Februari 2005 ini digagas oleh empat orang: Ahmad Mukhlis alumnus Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta, Danang Wicaksono alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Yuniarto alumnus Universitas Nasional, dan Marahnaik Harahap. Semuanya adalah mantan aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK), kecuali Marahnaik Harahap, dari kalangan pebisnis dan wiraswasta.
Dari mana mereka dapat modal untuk menerbitkan majalah? Ternyata jawabannya sama: patungan. “Modal awal bersumber dari empat penggagas itu. Lalu kita putar hingga saat ini,” terang Mukhlis selaku pemimpin redaksi majalah yang bisa dibilang baru seumur jagung ini.
Tak jauh berbeda, Annida juga digawangi oleh mantan aktifis LDK. Mulanya digagas oleh Dadi Kusradi (pemimpin umum), dan Dwi Septiawati (pemimpin redaksi). Dadi dan Septi adalah pasutri yang konsen pada dakwah. Mereka melihat ada kekosongan di segmen remaja Islam. Akhirnya berinisiatif untuk menerbitkan majalah di segmen remaja Islam. Septi alumnus Universitas Negeri Jakarta jurusan bahasa Arab dan Dadi dari fakultas Ekonomi Universits Krisna Dwipayana Jakarta.
Saat ditemui Syir’ah di bilangan Utan Kayu, pemimpin redaksi Annida Ahmad Mabruri berkisah. Awalnya, tahun 1991-1993, Annida dikelola oleh kelompok keluarga. Akhirnya September 1993 Annida bergabung dengan majalah Ummi, Ummi Group Media. Mengapa harus bergabung? “Biasalah.. kalau terbit sendiri kan kekurangan modal, jaringan, tenaga ahli, dan lain-lain,” terang alumnus jurnalistik IISIP itu.
Lika-liku berjuang sendirian memang berat, seperti yang pernah dialami media-media di atas. Karena itu, perlu usaha ekstra keras untuk bisa meraih sukses. Kenyataan ini berbeda halnya dengan media-media Islam yang punya grup dan modal lumayan gede. Contoh majalah Hidayah, Muslimah, Paras, Variasari, Anggun, dan Didik.
Media-media itu bersumber dari satu penerbit, PT. Variapop Group. Menurut pemimpin redaksi Hidayah Ridwan, grup ini berasal dari negeri jiran Malaysia, berdiri sekitar 30 tahun yang lalu.
Mustafa bin Haji Ton adalah orang di balik perusahaan yang bergerak di media massa Islam ini. Sosok praktisi dan pebisnis media ini berasal dari Malaka Malaysia dan Besar di Singapura. Ia menikah dengan Wirdaningsih Aminuddin Yunus, wanita asal Padang Sumatra Barat. Tahun 2000, ia mulai mengepakkan sayap bisnis media Islam di Indonesia, dengan menerbitkan tabloit Berita Indonesia, untuk para Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia.
Tahun 2001 ia meraup sukses dengan menerbitkan majalah Hidayah. Lalu disusul berurutan oleh majalah Muslimah (2002), Paras (2003), Variasari (2004), Anggun (2005), dan yang terakhir Didik (2006). Dengan model begini, mekanisme pendanaan awal bersumber dari perusahaan. Biasanya, “Ada mekanisme subsidi silang dari majalah lain yang lebih dulu,” terang pemimpin redaksi Anggun Imam Ma’ruf.
Hal yang sama terjadi pada majalah Alkisah. Majalah Islam yang pertama kali terbit tahun 2002 ini satu grup dengan majalah remaja Aneka Yess dan Keren Beken. Semuanya dibawah bendera PT. Aneka Yess. Penggagasnya antara lain Nunik Harun Musawa selaku direktur perusahaan dan Harun Musawa, suaminya, selaku pemimpin redaksi. Nunik terbilang lama bergelut di dunia jurnalistik. Pernah bekerja di majalah Mode, dan manager iklan di majalah wanita Femina. Harun Musawa pun demikian. Alumnus IISIP jurusan publisistik ini adalah mantan wartawan Tempo tahun 1970-1990.
Menurut Harun, Alkisah terbit dilatarbelakangi oleh pesatnya media-media Islam di pasar. Karena itu, PT. Aneka Yess juga harus menerbitkan majalah Islam. “Maka terbitlah Alkisah,” paparnya.
Pinpoin Publication juga tidak mau ketinggalan. Sebuah perusahaan yang bergerak di media massa pada bulan Mei 2003 ini menerbitkan majalah Noor, dengan segmen wanita muslimah. Ingin merangsang kaum perempuan agar bergairah untuk belajar agama Islam. Itulah ide awal mengapa Noor harus terbit. Penggagasnya adalah Mario Alisyahbana, Ria Alisyahbana, Ratih Sanggarwati, dan Jetti Rosila Hadi.
Mario dan Ria adalah putra pujangga angkatan ‘45 Sultan Takdir Alisyahbana. Ratih Sanggarwati adalah Artis dan aktivis perempuan. Dan Jetti adalah alumnus Planologi Institut Teknologi Bandung, dan pemimpin redaksi yang sekarang. “Selain Noor, grup Pinpoint Publications yaitu: Warta Ekonomi, Perkawinan, Lisa, Salon, Info Linuk, Indonesia Tatler, Audiopro, PC Media, Audia Video, Audio Interior, Audio Mobil, dan Mobil Motor,” kata Tila, panggilan akrab Jetti Rosila Hadi.
Majalah Modal Syariah Busines, yang fokus pada ekonomi, juga tidak berdiri sendiri. Media yang ingin menebar informasi seputar ekonomi Islam ini satu grup dengan Global Comm. Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang marketing, komunikasi, dan public relation. Mempunyai tiga anak perusahaan. Pertama, Modal Multimedia, bergerak dalam bidang media-media Islam dan spiritual. Kedua, Ekbis Komunikasi, orientasinya pada bidang periklanan dan komunikasi pemasaran. Ketiga, Global Mahardika Netama, bergelut dalam bidang public relation, konsultasi, penerbitan.
Guntur Subagja Mahardika adalah direktur utama perusahaan yang berdiri sejak tahun 2000 itu, sekaligus pemimpin redaksi Modal Syariah Business. Pria kelahiran Purwakarta tanggal 2 Februari 1969 ini kenyang makan garam di harian Republika. Kurang lebih selama 10 tahun. Desk yang digelutinya ialah ekonomi dan politik.
Pendidikan terakhirnya ditempuh di program pasca sarjan Ekonomi Islam Universitas Indonesia. “Selain saya, Achjar Ilyas juga berperan sebagai penggagas Modal Syariah Busines,” paparnya. Waktu itu, Achjar Ilyas masih menjabat sebagai deputi gubernur Bank Indonesia. Ia lahir di Maninjo 10 Februari 1948.
Melihat kenyataan itu, tak ada salahnya kata pakar ilmu komunikasi dari Unversitas Indonesia Effendi Ghazali, “Meski sama-sama Islam, media-media itu satu sama lain punya identitas dan karakter masing-masing,” ungkapnya kepada Syir’ah usai mengisi acara dialog publik di Gedung Badan Sensor Nasional Jakarta Selatan. []
Syir'ah/57/September/2006