Thursday, July 13, 2006

Kekerasan Terpuji dan Kekerasan Tercela

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Kendati mulanya tidak percaya hukum, kini FPI dan FBR mulai menggunakan jalur-jalur hukum. Betulkah ada sinyal-sinyal tobat dari aksi kekerasan?


Gugatan itu tercatat dengan nomor 3268/K/IX/2005/SPK Unit III tertanggal 22 September 2005. Tidak seperti biasanya memang. Respon FPI dalam kasus foto bugil
Anjasmara di pameran seni rupa CP Biennale 2005 itu tidak menggunakan kekerasan. Tapi dengan somasi.

Mungkin saat itu adalah hari baik bagi aktor pemeran Si Cecep ini. “Untung saja dia tidak langsung digrebek atau dihujani pentungan oleh lasykar FPI,” kelakar pengamat Intelijen Wawan H. Purwanto saat ditemui Syir’ah di Plaza Kalibata Jakarta Selatan. Pameran yang bertajuk Urban/Culture itu digelar di Museum Bank Indonesia Jakarta. Sedianya, pameran ini berlangsung selama satu bulan, mulai dari 5 September-6 Oktober, tapi karena ada masalah jadi terpaksa distop di tengah jalan.

Foto yang menjadi sumber masalah itu adalah hasil kolaborasi karya pelukis Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar, dengan mengangkat tema Adam dan Hawa di Taman Eden. Dalam foto itu, Anjas yang berperan sebagai Adam tidak sendirian. Ia ditemani Hawa, yang diperankan oleh model jelita Isabela Yahya.

Saat mendatangi Polda Metro Jaya, Jakfar tidak sendirian. Selain bersama-sama puluhan lasykar, ia juga didampingi penasihat hukum FPI Amir Jusuf Ali SH. Ia menandaskan, visualisasi Nabi dengan foto telanjang telah menyesatkan dan menghina umat Islam karena Adam adalah Nabi pertama yang digelari alaihi al-salam, jaminan keselamatan dari Allah. Selain Anjas, FPI juga melaporkan Isabele, Dafy Linggar, dan penyelenggara pameran.

Kasus ini tidak berbuntut panjang, semuanya telah dibereskan melalui jalur hukum. Pada tanggal 13 Pebruari 2006, kuasa hukum FPI Sugito SH telah mengirimkan surat pencabutan gugatan ke Direktorat Reserse Kriminal Polda Metro Jaya bernomor 307/BHFPI/U/II/2006.

Mekanisme hukum seperti ini juga pernah ditempuh FPI saat bersitegang dengan majalah Playboy, tapi tidak semulus kasus FPI-Anjas. Bulan oktober 2005, sekelompok anak muda gaul dan enerjik menemui ketua FPI Habib Riziq di suatu tempat dekat seketariat FPI di Petamburan Jakarta Timur. Mereka ingin berkonsultasi secara baik-baik tentang rencananya untuk menerbitkan majalah Playboy.

Rizieq memberikan dua saran, tentang nama dan isi majalah. Soal nama, ia menganjurkan mereka agar tidak menggunakan nama Playboy karena konotasinya tidak bisa dipisahkan dari unsur pornografi. Sedang terkait dengan isi, Rizieq menganjurkan penggagas Playboy yang terdiri atas para anak muda berusia antara 20 hingga 30 tahun itu untuk tetap menjunjung tinggi norma-norma agama.

Tampaknya saran itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tanggal 6 April lalu, Playboy tetap terbit tanpa ada perubahan nama dan isi. Rizieq pun geram. Nasehatnya tidak digubris. Selang seminggu, Riziq menggerakkan ratusan massa FPI ke arah Maskas Besar Polri. Di tempat itu, ia mengadukan sembilan orang kepada polisi. Mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam produksi Playboy Indonesia plus 26 perusahaan yang beriklan di majalah itu ke polisi.

Krak.. krak.. krak.! Di depan kamera para wartawan, Rizieq geram lalu menyobek majalah itu berkali-kali. “Ini majalah laknat.” Begitu teriaknya.

Matahari telah bergeser, sudah tidak tepat di atas kepala lagi. Massa bergerak ke Kejaksaan Agung, lalu menerangsek ke Jalan TB Simatupang Cilandak Jakarta Selatan. Begitu pas di depan kantor Playboy di gedung ASEAN Aceh Fertilizer (AAF), massa tak kuat menahan emosi. Tiba-tiba.. prang..!! tar.., prang..!! dar.. dar.. dar.. Batu-batu itu beterbangan dari kerumunan ratusan massa menghantam kaca gedung APP.

Para karyawan yang sebagian besar wanita itu tampak ketakutan. Diam-diam, sambil mengendap-endap, mereka meninggalkan Gedung AAF lewat pintu belakang. Untung saja tidak ada yang memergoki. Aksi pengerusakan ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar 20 menit. Setelah kaca-kaca gedung itu pada remuk, lasykar-lasykar itu membubarkan diri.

Kekerasan lagi.. kekerasan lagi.. Nampaknya, organisasi yang telah tersebar di 24 profinsi ini tidak punya niat untuk menjadi ormas yang baik-baik dan bertobat dari aksi-aksi kekerasan. Bagaimana sebenarnya fenomena ini?

“Lho.. anda jangan salah pengertian,” sela Ahmad Shabri Lubis. Kekerasan itu ada dua, kekerasan terpuji dan kekerasan tercela. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI adalah kekerasan terpuji. Sebab, dalam rangka nahi munkar, mencegah kemungkaran.

Ia mengaku meniru kelakuan Rasulullah Muhammad. Saat peristiwa Fathu Makkah Rasulullah pernah menghancurkan 365 berhala di sekitar Ka’bah. Nabi juga pernah memimpin perang sebanyak 28 kali untuk membela agama. “Apakah ini dinamakan kekerasan?” tanyanya balik. Inilah yang dimaksud dengan kekerasan terpuji itu. Untuk membenarkan sikapnya, dia juga mengutip surat al-Taubah ayat 73. “Hai Nabi, lawanlah orang-orang kafir dan munafik itu, dan bersikaplah keras terhadap mereka.”

Selain FPI, Forum Betawi Rempug juga agak melunak belakangan ini. Sejauh mana keseriusan mereka? “Kita lihat saja nanti perkembangannya,” ujar mantan ketua umum PP Muhammadiyah A. Syafii Maarif .

Somasi berbalas somasi adalah kisah perseteruan ketua umum FBR Fadloli El Muhir dan Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Bermula dari talk show. Dialog yang digelar Metro TV 1 Mei lalu itu ternyata ada buntutnya. Pada acara itu, Fadloli berulang kali menyatakan, “Peserta pawai Bhineka Tunggal Ika pada 22 April 2006 sebagai perempuan iblis, bejat, dan perusak moral bangsa.” Mendengar ucapan itu, emosi mantan ibu negara Sinta Nuriyah sontak naik.

Merasa nama baiknya dicemarkan, Sinta pun mensomasi pria berdarah asli Betawi itu, 18 Mei lalu. Dalam waktu 3x24 jam, Sinta meminta Fadholi agar menarik pernyataannya dan meminta maaf. Tiga hari telah lewat, tapi tak ada perkembangan apa-apa. Somasi itu tak digubris. Karena tidak ada tanggapan, Sinta pun melaporkan pengasuh pesantren Ziyadatul Mubtadiin itu ke Polda Metro Jaya pada Senin 22 Mei. Fadloli dijerat dengan pasal 156 KUHP tentang penyebaran permusuhan dan kebencian atas ras, keturunan, dan agama.

Begitu tahu dirinya dilaporkan, mantan aktivis Himpunan Mahasisswa Islam ini akhirnya naik pitam juga. Ia pun merasa nama baiknya sebagai kiai dan ketua ormas dicemarkan oleh istri Abdurrahman Wahid itu. Ia pun bermaksud membalas.

Selang sehari, ormas yang berkantor di Wisma Nusantrara Kuningan ini melaporkan wanita kelahiran Jombang itu ke Polda Metropolita Jaya. Pelapornya adalah Sekretaris Korwil VIII FBR Ahmad Irsan. Dalam laporan bernomor LP 1942 itu dinyatakan, istri tokoh NU tersebut dinilai pelapor telah menghina dan mencemarkan nama baik Fadloli, seperti dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Terkait dengan laporan istri Gus Dur, pria yang juga wakil ketua Badan Musyawarah Betawi itu diminta hadir ke Polda Metro Jaya, Kamis 8 Juni lalu. Tapi, ia menampik panggilan itu. Para pengacaranya menilai, polisi tidak memiliki dasar memanggil kliennya. Sebab, Fadloli tidak melakukan tindak pidana. “Seharusnya polisi juga tidak menerima laporan dari Sinta karena laporan itu harus cukup bukti,” ujar Suhana Natawilwana, salah seorang kuasa hukum Fadholi.

Perbincangan somasi bak bola salju. Walhasil, 12 Juni lalu Fadloli datang ke markas Polda Metro Jaya untuk memenuhi panggilan polisi. Ia tidak sendirian. Ia bersama 2 pengacara, 3 saksi, dan 7 pengikutnya. “Kami dimintai keterangan atas laporan yang sebelumnya telah kami buat,” kata Pengacara FBR, Suhana Natawilana, di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta. Hingga kini perkara ini belum tuntas.

Hal serupa juga dilakukan FBR dalam kasus penghinaan al-Qur’an oleh mantan presiden RI Abdurrahman Wahid, 13 Juni lalu. Jam 10.15 WIB rombongan orang-orang dengan mengenakan pakaian serba putih dan bersorban tiba di Mabes Polri untuk menggugat Gus Dur. Selain bos FBR, juga ada perwakilan dari FPI, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Hizbit Tahrir Indonesia, serta kiai-kiai dari Jateng, Jatim dan Jabodetabek.

Mereka ditemui Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Pol Makbul Padmanegara di aula Bareskrim Mabes Polri. Gugatan ini adalah reaksi atas pernyataan Gus Dur pada acara Kongkow Bareng Gus Dur di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, yang mengudara saban Sabtu pukul 10.00 sampai 12.00 WIB, lalu ditulis di situs Jaringan Islam Liberal dan dimuat kembali oleh koran Duta Masyarakat 6 April 2006. Saat itu Gus Dur berkelakar. “Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Al-Qur’an, ha-ha-ha…,” ia tertawa terkekeh-kekeh.

Soal ini, Syir’ah bertanya kepada Fadloli. Mengapa dalam kasus Sinta Nuriah dan Gus Dur, FBR cenderung tidak anarkis? “Jangan salah sangka, FBR itu tidak selalu pakai cara-cara kekeran,” tegas Fadloli. Dalam bertindak, FBR menggunakan dua tahapan. Pertama FBR melalui jalur hukum. Tapi, jika jalur ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, atau bertolak belakang dengan kenyataan dan keadilan, maka tidak ada jalan lain kecuali menggunakan cara kedua, dengan kekuatan massa.

Wakil penasehat pusat pengurus Pencak Silat Putra Setia ini yakin, FBR tidak pernah melakukan tindakan anarkis, tapi hanya sekadar menghajar orang-orang yang pro kezaliman. “Dalam penegakan kebenaran, tidak dikenal istilah anarkis.”

Khusus untuk menghadapi orang-orang semisal Gus Dur dan Sinta Nuriyah, yang kita lawan adalah pemikirannya bukan fisiknya. “Gimana kita lawan Gus Dur secara fisik, dia kagak bisa ngeliat... Begitu juga dengan Sinta, kalau pakai fisik kagak mungkin.. kan orangnya uda gempor...,” cetusnya enteng dengan logat Betawi. []

Tulisan ini adalah tulisan awal saya sebelum diedit oleh Redaksi Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes