Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Istilah ‘mesias’ pada abad ini sudah jarang dikenal. Beberapa abad lalu, sekitar abad 19 dan permulaan abad 20, istilah ini pernah ngepop di kalangan rakyat Indonesia. Mesias tak lain merupakan personifikasi atau postulat dari kepercayaan rakyat akan kedatangan ‘sosok’ yang dianggap mampu menebar keadilan dan ketentaram. Sebagai the sociology of hope, meminjam istilah sosiolog Desroche, mesias berkembang menjadi faham bahkan mitos (menjadi mesianisme) yang memberikan spirit perjuangan rakyat untuk ber-amar makruf nahi munkar demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan di muka bumi.
Dalam konteks kultural, mesianisme menjadi gerakan kontra-kultur, yang berfungsi antagonistis terhadap keberadaan kukltur yang talah mapan (established culture). Bahkan mesianisme ini berkembang subur menjadi simbolisme yang menjiwai gerakan protes dan perlawanan rakyat atas hegemoni. Antara lain: Cargo Cult di Irian Jaya (1860-an), Ratu Adil di Cilacap (1920-an), Tambakmerang di Wonogiri (1935), dan Kyai Djati Kusuma di Jawa Tengah (1954). Terlepas dari pro dan kontra, hemat saya, gerakan ini menarik untuk dicermati. Sebab, (1) mampu mempengaruhi nalar berfikir rakyat untuk membela keadilan dan kesejahteraan yang ‘diimajinasikan’, dan (2) gerakan ini tidak berhenti pada tataran ide, tapi bergerak pada tataran praksis bersama-sama elemen lain dalam mewujudkan cita-cita kemakmuran.
Gerakan ini, dalam kajian sosiologi, mirip dengan bentuk praksis gagasan Karl Manheim yang masyhur, yaitu ideologi dan utopia. (B. Turner, 1995). Ideologi dimaknai sebagai sistem gagasan yang mencoba menyembunyikan dan melestarikan keadaan kini dengan menginterpretasikannya dari sudut pandang masa lalu. Sedang utopia adalah sistem gagasan yang melampaui kekinian dengan memusatkan pandangan masa depan. Bedanya hanya tipis; Manheim cenderung membenturkan antara dua sistem gagasan, tapi messianisme justru menggabungkan keduanya sebagai political will atau power dalam perubahan sosial. Berarti, masa lalu adalah elan vital bagi amunisi perjuangan untuk melompat ke arah masa depan yang diidamkan.
Terus terang, penulis tertarik dengan gerakan ini karena sifatnya yang komprehensif dan eksistensial. Artinya, gerakan ini tidak elitis, menyapa dan melibatkan semua kalangan, tidak fragmentis ataupun sektoral, serta tidak kategoris ataupun polaristis. Dan juga perlu dicatat, sebagai ideologi dari gerakan sosial, mesianisme memuat secara inhern sifat radikal dan revolusioner. Karena itu, gerakan mesianisme kian subur jika berada di tangah-tengah ‘kekacauan sosial’—seperti di negara kita ini. Jelas, kekacauan sosial di sini cakupannya luas, tidak hanya kekerasan fisik tapi juga bentuk-bentuk penindasan non-fisik, semisal hegemoni, korupsi, penjualan aset-aset negara, penghapusan subsidi, kemiskinan, kelaparan, dll.
Konsep gerakan ini memang terbilang kuno, yang mungkin tidak aplikatif jika dibiarkan apa adanya, jadi perlu ada penyegaran. Kalau dulu gerakan ini bisa massive karena adanya mitos masyarakat primitif pada lahirnya “sosok” yang mendapat wahyu atau—dalam sosiologi Barat disebut—charisma. Maka kini latar belakang spirit gerakan ini harus dirasionalkan. Jadi pemicunya bukan lagi sosok atau figur yang dimitoskan, tapi substansi dari ajaran yang dibawa sosok yang diidealkan itu, yaitu keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan lain-lain. Sehingga sampai kapan pun spirit dari gerakan ini akan terus bergelora dan bertenaga, “di mana ada ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keculasan yang lain, maka di situ gerakan pembebasan mesianisme pasti berlangsung.” Karena mengalami pergeseran orientasi, gerakan ini selanjutnya penulis sebut sebagai neo-mesianisme.
Tradisi Agama sebagai ‘Mesias Baru’
Titik temu neo-mesianisme dengan agama-agama adalah perjuangan menegakkan keadilan. Tidak jauh berbeda dengan dulu, mitos ‘sosok’ itu dialihkan pada tradisi keagamaan yang lebih dapat dirasionalkan dan mudah diterima masyarakat kontemporer. Makanya, tak heran jika sosiolog Durkheim menempatkan agama dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Form of Religious Life (1912/1965), sebagai posisi yang sentral dalam kajian fakta-fakta sosial. Sebab ia yakin, bahwa agama merupakan fakta sosial yang mempunyai kekuatan (forces) lebih dibanding yang lain. (Tendzin Takla dan Whitney Pope, 1985). Lebih lanjut dia berpendapat, masyarakat dan agama adalah ‘kesatuan kolektif’ yang menciptakan fakta sosial berupa ‘kesadaran kolektif’ yang kuat untuk melakukan perubahan.
Saya yakin, agama tidak bicara soal eskatologi an sich. Tapi lebih jauh juga berbicara (baca: mengajarkan) soal-soal kemanusiaan yang profan. Dan ghalibnya agama-agama mempunyai spirit teologis dalam melawan kemunkaran dan menegakkan kebajikan. Peristiwa ‘exodus’, misalnya, dalam perjanjian lama diyakini umat Kristiani mempunyai arti teologis yang mendalam. Peristiwa politik ini dimaknai sebagai ‘pendobrak penderitaan’ akibat hubungan antarmanusia dalam struktur lama (status quo) yang opresif dan menindas. Exsodus dapat diartikan longmarch, yaitu suatu desakralisasi terhadap praktek-praktek sosial yang tadinya menindas dan melegalkan perbudakan, diubah menjadi pola hidup manusia secara wajar: di mana setiap individu bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan nasibnya sendiri. Jadi, jika ada kesemena-menaan dan pembatasan kehendak individu yang menjurus pada tindakan opresif, semangat ini akan menyembul kepermukaan dengan sendirinya, kemudian berpostulat sebagai gerakan sosial untuk pembebasan.
‘Karbala’, misal lain, dalam tradisi Islam juga berdimensi mesianis. Karbala—terutama bagi kalangan Syi’ah—adalah sikap berani mati dan menantang maut demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Perjuangan keadilan melawan kemunkaran tersebut merupakan personifikasi perjuangan Husain (putra Ali bin Abi Tahalib) dalam menegakkan keadilan melawan kecongkakan dan keculasan Yazid (pemimpin bani Umayyah) di Karbala. Akhirnya, Husain kalah lalu disembelih oleh Yazid. Begitu pedihnya perjuangan, apapun harus dipertaruhkan termasuk nyawa demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat secara luas. Sikap senantiasa siap menjadi ‘martir’ adalah efek yang luar biasa dari Karbala. Tentunya masih banyak contoh lain dari tradisi keagamaan yang mampu menggelorakan semangat juang dan membangkitkan imajinasi dalam gerakan neo-mesianisme.
Gerakan ini sampai kapanpun memimpikan dunia baru, negeri gemah ripah lohjinawi, toto tentrem kerto raharjo, di masa depan. Mungkin mimpi itu hanya remang-remang bagi generasi sekarang, tapi emosi juang dan aspirasinya akan selalu menjadi daya gerak yang kuat dalam pembentukan sejarah.
Neo-Mesianisme, Teologi Pembebasan ala Indonesia
Amerika Latin tak lain merupakan embrio awal gerakan teologi pembebasan. Teologi pembebasan ala Gustavo Merino Gutierez ini mengembangkan dua gagasan (A theology of Liberation: History, Politic and Salvation, 1974). Pertama, gagasan soal sekularitas dunia. Maksudnya, desakralisasi dunia dari perlindungan dan perwalian agama. Berarti, selaku orang beragama seyogyanya sadar akan tugas dan kedudukan dirinya dalam proses sejarah, yaitu sebagai agen dari peruabahan sosial. Diri manusia juga merdeka penuh dalam menentukan nasibnya. Kedua, gagasan keselamatan. Gagasan ini menyadarkan akan adanya ‘panggilan keselamatan’ terhadap kemanusiaan yang satu dan hidup di dunia yang satu pula. Doktrin keselamatan Kristiani ini dijadikan tugas luhur menolong dan membela sesama manusia dalam memperjuangkan keadialan, dengan tanpa pandang ‘bulu’ dan simbol-simbol yang lain (beyond the symbols).
Pertanyaannya, apakah perbedaan teologi pembebasan ala Gutierez dengan gerakan neo-mesianisme? Sepintas memang sama, yaitu sama-sama menjadikan agama sebagai elan vital, yang melayani ummat dalam konteks pembebasan. Tapi, sejatinya ada perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya.
Pertama, kerangka epistemologis gerakan. Teologi pembebasan berasal dari doktrin Tuhan atau ajaran agama secara “universal” yang ditasirkan menjadi doktrin revolusioner. Ajaran ini bersumber dari teks-teks atau kitab suci agama. Misalnya, doktrin keselamatan, amar makruf nahi munkar, menegakakan keadilan, membela orang lemah, dan lain-lain. Sedangkan neo-mesianisme berakar pada tradisi-tradisi agama. Maksudnya, doktrin pembebasan tidak diperoleh secara langsung dari kitab suci, tapi melalui kultur religiutsitas “lokal” masyarakat. Umat Islam di Jawa (baca: Islam Kejawen), misalnya, punya tradisi ‘Syuroan’. Tradisi ini berlangsung tiap tanggal 10 Muharram untuk mengenang syahid-nya sayyidina Husain di Karbala, yang biasanya dikemas dengan berbagai ritual ataupun ruwatan. Nah, tradisi semacam ini digunakan oleh gerakan neo-mesianisme seabagai ‘martir’ untuk melawan ketidakadilan.
Kedua, letak sentrum gerakan. Teologi pembebasan ghalibnya dimotori oleh kaum elit agamawan. Sebab, keterbatasan rakyat kecil (awam) dalam menerjemahkan dan menginterpretasikan ajaran agama secara mendalam dari teks kitab suci. Jadi motor penggeraknya adalah pendeta, pastur, ulama, biksu, dan elit-elit agamawan yang lain. Hal ini sebagaimana terjadi di Peru, Iran, Korea Selatan, Hongkong, dll. Sedangkan neo-mesianisme menjadikan masyarakat awam (wong cilik) sebagai sentrum pergerakan. Sebab, tradisi-tradisi keagamaan itu begitu melekat dalam emosional mereka, sesuai dengan gaya lokalitas masing-masing. Tinggal bagaimana pola tersebut kemudian diarahkan menjadi gerakan praksis di lapangan.
Meski bernafaskan ‘teologi-eskatologis’, hemat saya, gerakan neo-mesianisme berkarakter ‘sosial-futuristik’ yang di dalamnya terdapat ‘perjuangan kelas’. Yaitu gerakan sosial kelas tertindas melawan kelas penindas, dengan berbasis lokalitas tradisi agama. Walhasil, penulis berharap, gerakan ini setidaknya mampu memperkaya dan memperkuat gerakan civil society di akar rumput. []
Duta Masyarakat, Februari 2006. Aku lupa tanggal berapa tulisan ini dimuat.