Thursday, July 13, 2006

"Polisi Swasta" di "Negeri Barbar"

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Aneh tapi nyata. Semua agama bermuara pada satu tujuan, perdamaian. Tapi, atas nama agama pula telah terjadi begitu banyak aksi kekerasan.


Allâhu akbar..! prang..ng..!!! Allâhu akbar..! tar.r..r..!!! Gemuruh dan suara sahut-menyahut takbir itu memecah keheningan sepanjang Jl. Latuharhari Jakarta, lima tahun silam. Percis suasana jamaah haji saat adegan lontar Jumrah di Mina Makkah. Ada kerumunan massa berpakaian serba putih dan mereka melemparkan batu ke arah yang sama. Bedanya, mereka ini tidak menyandang pakaian ihram dan sasaran lontarnya adalah kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (komnas HAM).

Hampir tidak ada kaca yang tersisa di gedung itu. Semuanya luluhlantak. Mulai dari jendela lantai satu dan dua, lampu-lampu taman, serta pos pengamanan depan. Lasykar-lasykar itu datang dengan mengendarai tiga truk, beberapa mobil bak terbuka, serta puluhan sepeda motor. Begitu sampai di depan kantor komnas HAM, tanpa ba bi bu mereka langsung turun dari kendaraan, dan menghajar gedung bercat putih dan berkaca riben hitam itu.

“FPI menuntut agar Komnas HAM dibubarkan,” tegas Alwi Usman, wakil kepala staf laskar FPI kepada wartawan. Dari Komnas HAM, mereka meluncur ke kantor Kepolisian Sektor Mampang. Lalu mampir ke Kafe Jimbani.

Lho FPI kok nongkrong di kafe? Bukan begitu. Lasykar-lasykar itu mengobrak-abrik bagian luar dan dalam kafe yang terletak di Jalan Kemang Raya Jakarta Selatan itu. Lalu, mereka juga merusak belasan papan iklan Bir Bintang atau Anker Bir yang mereka temui di sepanjang Jalan Wijaya I Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Sekali dayung, dua sampai tiga pulau terlampaui. Begitu kata pepatah yang sesuai dengan rentetan aksi FPI ini. Dari tahun ke tahun, sejak berdirinya 1998, FPI tak lekang dari aksi-aksi semacam ini.

Misal, dua tahun silam, Lasykar FPI menyerbu dan merusakkan pintu gerbang depan pekarangan Sekolah Katolik Sang Timur Tangerang Banten. Mereka datang sambil mengacung-acungkan senjata, berteriak-teriak, dan memerintahkan para Suster agar menutup sekolah Sang Timur. Baru-baru ini, akhir Mei lalu lasykar FPI Bekasi merusak warung remang-remang di Kampung Kresek Jatisampurna Bekasi. Dengan modal senjata pentungan kayu, mereka mengobrak-abrik sebelas warung. Saat petugas keamanan setempat berusaha menghadang penyerangan itu, mereka malah ditantang.

Ahamad Syafii Maarif mantan ketua umum PP Muhammadiyah muak melihat tingkah organisasi kemasyarakatan (ormas) model begini. Apalagi tindakan mereka mengaku-ngaku berlandaskan perintah agama. Ia menjuluki mereka sebagai “preman berjubah”. Kostumnya boleh pakai jubah dan berpeci putih, tapi kelakuannya percis preman: suka berantem, egois, dan merasa paling berkuasa.

Sedang jika mereka bertindak dengan mengatasnamakan membantu aparat kepolisian karena dianggap lamban dalam bertindak, ia menjulukinya sebagai “polisi swasta” yang kerjaannya main hakim sendiri. Begitulah tutur pria yang kini menjabat sebagai direktur eksekutif Maarif Institute ini.

Gara-gara tindakan yang selalu main hakim sendiri itu, ketua umum FPI Habib Rizieq kena getahnya. Tanggal 11 Agustus 2003, ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan hukuman tujuh bulan penjara. Bukti kuat kesalahan Rizieq adalah adanya surat tertanggal 5 Mei 2000 yang ditandatanganinya selaku ketua umum. Dalam surat itu, tertulis instruksi yang ditujukan pada seluruh anggota FPI untuk melakukan gerakan anti maksiat dengan menutup dan memusnahkan tempat maksiat.

Nasib sama juga dialami amir Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir. Tanggal 3 Maret tahun kemarin, ia dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom tahun 2002 di Bali, yang memakan korban sedikitnya 202 orang meninggal dan 209 orang cedera. Ia didakwa sebagai pemimpin besar Jama’ah Islamiyah (JI) yang memotivasi sejumlah pemboman di tanah air. Karena itu, ia dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan (30 bulan) penjara. Dan baru tanggal 14 Juni lalu, ia dibebaskan.

Jama’ah Islamiyah ini berdiri sekitar Januari 1993, setelah organisasi Negara Islam Indonesia (NII) atau DI/TII pecah. Tokoh gerakan NII Abdullah Sungkar bersama Ba’asyir pernah melarikan diri ke Malaysia, Februari 1985. Pada saat itulah mereka mulai merintis JI. Menurut pengakuan salah seorang mantan pimpinan JI Nasir Abbas yang juga veteran pejuang Afganistan, Sungkar adalah pemimpin besar JI sebelum Abu Bakar Ba'asyir.

Hingga kini, keberadaan organisasi ini terbilang masih misterius. Orang-orang JI disinyalir punya hubungan dekat dengan kelompok Al-Qaeda pimpinan Osamah bin Laden di Afganistan.

Ormas MMI yang juga dikepalai oleh Ba’asyir tidak jarang terlibat dengan aksi-aksi kekerasan. MMI tercatat, antara lain, pernah terlibat konflik antar-agama di Ambon. Joko Wibowo alias Abu Sayaf, yang Januari lalu ditangkap oleh tim Detasemen 88 Antiteror, adalah anggota Laskar Mujahidin yang pernah dikirim ke Ambon pada tahun 2000 lalu. Selain itu, belakangan ini MMI juga melakukan sweeping majalah Playboy di sejumlah toko buku di solo dan penyegelan Fahmina Institute di Cirebon.

Nama ormas, selain FPI dan MMI, yang pernah disebut presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono suka main kekerasan adalah Forum Betawi Rempug (FBR). Demikian seperti dikutip oleh Sekjen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Sonny T. Danaparamita usai bertemu presiden di istana negara kepada wartawan.

Belum lama ini, Pebruari tahun lalu, puluhan orang berseragam FBR mengkroyok pedagang Pasar Senen Jakarta Pusat. Korbannya bernama Waridin, salah seorang pedagang. Insiden ini bermula dari salah paham urusan jual beli. Terus berkembang pada cekcok dan adu fisik. Adu jotos itu terjadi pagi hari antara pedagang dengan tiga anggota FBR.

Karena tidak ingin berlarut-larut, si pedagang itu ingin menyelesaiakan permasalahan secara damai. Tapi, sore harinya sekitar 30 orang berseragam FBR datang lagi. Dan .. tiba-tiba Praa..a..k.!! pukulan-pukulan maut itu mendarat di kepala Waridin. Selain itu, tangannya juga tertusuk benda tajam cukup dalam dan parah. Akibatnya, salah satu otot lengan kanannya putus, sehingga jari tengah tangan kanannya tidak bisa digerakkan ke atas.

Aisul Yanto, warga masyarakat Ciledug Jakarta ini punya pengalaman pribadi dengan organisasi yang bermula dari kumpulan majlis taklim ini. Bulan Maret lalu, ia sedang menggelar pameran tepat di samping kantor Akademi Jakarta (AJ) di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Saat itu, ia duduk bersandar dinding di samping lukisan-lukisan karyanya. Namun, sontak ia terperanjat. Ratusan orang bergerombol sambil berteriak-teriak menerangsek ke arahnya. “Bakar Akademi Jakarta... bakar sarang anjing-anjing Zionis itu...”. Begitu koar-koar yang sempat mampir di telinganya.

FBR kecewa dengan hasil pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta yang digelar oleh AJ. Mereka ingin mengobrak-abrik kantor AJ dan sekitarnya. Aisul pun geram. “Hei jangan ngawur kalian! Ini lagi ada pameran lukisan, awas kalau ada lukisan yang rusak!” ancam Aisul sambil memegangi tangan salah satu anggota FBR yang sudah menyentuh lukisannya.

Untung, FBR tidak jadi mengobrak-abrik AJ dan segera menarik diri. Hanya pot bunga saja yang dipecah dan kantor AJ disegel silang dengan kayu. Akhirnya, massa bergerak di depan gedung bioskop 21 TIM dan merusak kantor Dewan Kesenian Jakarta. “Saya baru ngeh, ternyata mereka benar-benar preman,” tambahnya.

Nada ini juga disuarakan oleh Iwan Nuryan pekerja wiraswasta yang tinggal di Ciampelas Bandung. Ia tidak setuju dengan aksi-aksi kekerasan yang liar. “Mereka semua harus segera ditertibkan,” usulnya.

Di tengah stigma miring terharap ormas-ormas itu, Ngadimen punya pendapat berbeda. Warga Ciputat Tangerang yang biasa jualan mie pangsit ini mendukung langkah FPI cs. “Siapa yang berani memberangus kemaksiatan dan orang-orang mendem (mabok) di jalanan kalau bukan FPI,” ujarnya. Menurut pengakuannya, saat jualan ia sering dipalakin preman yang lagi mabok. Nah, “Kalau ada FPI kan kita jadi aman,” katanya sambil terkekeh.

Meski begitu, ia mengaku sedikit kecewa dengan FPI. Ia pernah menyaksikan lasykar FPI membubarkan secara brutal acara Dangdutan yang digelar warga kampung Ciputat Molek Tangerang, dua tahun lalu. “FPI seharusnya tidak sekasar itu..., masak kita nggak boleh goyang-goyang dikit, joged kan gak pa pa buat refresing,” katanya.

Bagi Buya Syafii, panggilan Syafii Maarif, tindakan ormas yang mengandalkan fisik dengan legitimasi dalil-dalil al-Qur’an dan hadits justeru akan ‘membunuh’ masa depan Islam. Pria berdarah Sumatera Barat ini juga mengamati perubahan orientasi dalam ormas-ormas itu.

Ormas yang dulu dikenal garang dan selalu melakukan kekerasan kini mulai menggunakan cara-cara lembut. Misal: saat merespon pernyataan Gus Dur, al-Qur’an itu kitab porno. FPI bersama FBR, MMI, dan HTI berbondong-bondong mengadukan Gus Dur ke Polri. Selain itu, saat menyikapi kasus logo yang dipakai grub band Dewa dan juga kasus foto bugil Anjasmara, FPI menggunakan jurus somasi.

FBR dan MMI pun demikian. Baru-baru ini, Fadloli bersedia mendatangi markas Polda Metro Jaya untuk diperiksa, terkait dengan ‘somasi balik’ yang diajukan kepada Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Yang juga menarik adalah respon MMI atas pro-kontra di masyarakat soal RUU APP. MMI dengan jitu mengirimkan somasi kepada Gubernur Bali dan menyampaikan legal opinion kepada Pansus RUU APP.

Syafii Maarif kembali berkomentar. Lama-kelamaan mereka juga sadar dan letih dengan kekerasan yang selama ini mereka agung-agugkan. Sebab, Aksi-aksi kekerasan pasti akan bertemu pada satu muara, kegagalan.

Bahkan, Shabri Lubis juga menyadari, di FPI memang ada penyesuain kira-kira sejak dua tahun terakhir ini. “FPI tidak lagi menekankan pada metode perjuangan melalui gerakan massa dan kelaskaran,” paparnya.

Pengamat Intelijen Wawan H. Purwanto menyambut positif perubahan itu. Harus berubah memang. Jika tidak, mereka akan mudah disusupi oleh kepentingan pihak ketiga atau oknum. Jadi, perbuatan mereka tidak murni lagi. “Kalau sudah tidak murni berarti ada kelompok yang berkepentingan, bila ada kelompok yang berkepentingan pasti ada benturan kepentingan, dan jika ada benturan kepentingan maka yang terjadi adalah aksi-aksi anarkisme,” tuturnya.

Karena itu, bila masyarakat tidak percaya dengan hukum dan masih saja suka main hakim sendiri, maka negeri ini akan menjadi ‘negeri barbar’, yang kuat menindas yang lemah. Bahkan dia memprediksi, dalam jangka panjang negeri ini akan dikuasai oleh kelompok-kelompok ‘geng’, seperti yang kini terjadi di Brazil. []

Tulisan ini adalah tulisan awal saya sebelum diedit oleh Redaksi Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes