Apresiasi ‘NU Tua’ terhadap ‘NU Muda’
Judul Buku: Mengenal Nahdlatul Ulama. Penulis: Abdul Muchith Muzadi. Penerbit: Masjid Sunan Kalijaga, Jember. Cetakan: Februari 2004 (I), Juli 2004 (II), Desember 2005 (III)
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
“Menjadi NU harus pula menjadi Indonesia” tegas Mbah Muchith, sapaan akrab KH. Abdul Muchith Muzadi, sebagaimana dikutip Ayu Sutarto (2005) dalam buku Menjadi NU Menjadi Indonesia. Ungkapan singkat itu sekilas menampakkan kejembaran paradigma kebangsaan Mbah Muchith. Terkesan begitu luwes dan terbuka, sehingga tidak terjebak pada fanatisme agama apalagi kelompok organisasi, sebagaimana yang marak akhir-akhir ini. Jelas, jika ungkapan tersebut dibalik, “Menjadi Indonesia harus pula menjadi NU”, maka maknanya pun akan berbalik 180 derajat, berubah menjadi fanatisme buta yang mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan.
Keberadaan organisasi yang berdiri sejak 1926 ini memang tak terlepas dari bumi merah putih. Dari era revolusi fisik pra-kemerdekaan hingga detik ini, kiprah NU selalu mewarnai gegap-gempita perjalanan bangsa. Karena itu, NU seringkali dijadikan obyek kajian oleh berbagai kalangan. Bejibun buku dan tulisan seputar NU disajikan sebagai hasil kajian dan penelitian. Namun, berbeda dengan buku-buku lain yang lebih dulu, buku Mengenal Nahdlatul Ulama karya Mbah Muchith ini adalah hasil interpretasi subyektif atau pengalaman pribadi tokoh yang bertahun-tahun bergelut dan bergulat dengan NU. Tanpa melebih-lebihkan, buku ini bisa dikatakan sebagai ‘kesaksian sejarah’.
Mempelajari ormas ini tidaklah segampang yang kita pikirkan, untuk bisa membedah jeroane NU dibutuhkan waktu lama. Melalui buku ini, kita akan berlayar mengarungi samudra NU dengan menggunakan kapal kepunyaan Mbah Muchith. Maksudnya, interpretasi doktrin-doktrin dan teks sejarah di sini adalah versi Mbah Muchith. Pembacaan NU yang dilakukan Mbah Muchith, dalam buku ini, tidak semata-mata berdasarkan teks, tapi diperkaya dengan pengalaman empiris yang selalu bertautan dengan konteks kala itu. Di sinilah letak kekuatan buku ini dalam upaya ‘memperkenalkan’ NU sekaligus menepis kesan-kesan atau image yang kadung kaprah di masyarakat.
Mengorek Khittah dan Orientasi Organisasi
Perkenalan awal: seputar khittah, fungsi, dan posisi NU. Dibanding soal-soal lain, term khittah akhir-akhir ini menjadi buah bibir dan perdebatan sengit di kalangan NU. Pasalnya, pengertian dan interpretasi terhadap landasan ini sangat beragam dan debatable. Sehingga biasa terjadi, ada perdebatan dua faksi yang beda pendapat, tapi keduanya ngakunya sama-sama berdasarkan khittah. Bagaimana menyikapi beda pendapat semacam ini, dan apa itu sebenarnaya khittah?
Buku kecil, Khittah Nahdliyyah (1979) karya KH. Achmad Siddiq, dalam sejarahnya, adalah cikal bakal rumusan khittah NU. Khittah ini kemudian dijadikan alasan epistemologis mengapa orientasi NU berfusi (lagi) menjadi organisasi sosial keagamaan an sich, bukan partai politik. Buku tersebut, ternyata kala itu, mendapat respon positif dan membangkitkan antusiasme generasi muda NU. Lalu, mereka mengadakan ‘Pertemuan 24’ (1982). Pertemauan ini merekomendasikan tim tujuh, yang akhirnya berhasil merumuskan dokumen “NU menatap masa depan”. Disusul dengan Musyawarah Alim Ulama NU (1983) di Situbondo, dan Muktamar ke-27 (1984) di tempat yang sama, akhirnya berhasil menetapkan rumusan (naskah) Khittah Nahdlatul Ulama (tanpa kata-kata ‘Kembali Kepada’ atau embel-embel ‘1926’). (Lihat naskah Khittah NU, hasil muktamar ke-27 di Situbondo). Hal ini untuk memperjelas istilah yang sudah ghalib digunakan publik. Biasanya, ada sebutan ‘kembali kepada khittah 1926’. Padahal, sejak dirumuskan (1982-1983) sampai diputuskan (1984), hanya ada istilah ‘Khittah NU’, tanpa embel-embel lain. Perlu dicatat, kata Mbah Muchith, naskah khittah NU itu lahir tahun 1984 saar muktamar ke-27, tapi hakekatnya sudah eksis jauh sebelum itu.
Secara etimologi, khittah berarti garis-garis yang ditempuh atau diikuti. Sedangkan menurut terminologi, khittah NU berarti rambu-rambu yang harus ditaati atau garis-garis haluan yang harus ditempuh oleh orang-orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita-cita, sehingga terbentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Menurut tokoh eks komandan kompi pasukan Hizbullah (1947) ini, saat itu khittah NU memang tidak dirumuskan secara sistematis, namun bagi generasi awal NU hal tersebut bisa dipahami, dihayati, dan diamalkan dengan konsekwen. Namun berbeda dengan generasi ‘NU muda’ sekarang ini, mungkin karena bentangan waktu yang begitu panjang, sehingga interpretasi khittah menjadi beragam. Lebih lanjut dikatakan, generasi muda mutlak memerlukan pemahaman dan penghayatan terhadap khittah NU, tapi sistematika dan kerangka teoritik dalam khittah tersebut belumlah memadahi. (hlm. 18). Akhirnya, beda pendapat adalah hal yang tak terhindarkan.
Khittah NU hakikatnya memang tidak cukup difahami hanya dengan membaca AD/ART NU dan berbagai dokumen yang jumlahnya amat terbatas. Mengapa? Karena hakekat khittah itu tumbuh secara gradual yang tidak lepas dari konteks (konsisi intern dan ekstern organisasi serta realitas-sosial saat itu). Dalam konteks ini, perlu dijelaskan, bahwa dalam rumusan khittah juga dimasukkan beberapa inovasi. Misalnya, wawasan NU tentang Negara Kesaruan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, UUD 45, dan soal-soal baru yang belum disentuh sebelumnya. Adalah maklum, karena selain bersumber dari faham Islam ahlussunnah waljamaah, khittah NU juga merupakan hasil eksplorasi dan penggalaian intisari perjalanan sejarah khidmat NU yang begitu panjang dan penuh liku-liku.
Ini bisa kita telusuri melalui naskah khittah NU. Fungsi khittah adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. (Butir 2, poin a). Substansi khittah yaitu faham Islam ahlussunnah waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. (Butir 2, poin b). Sedang unsur-unsur lain dalam khittah disebutkan, bahwa khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. (Butir 2, poin c).
Butir-butir di atas harus mejadi pegangan bagi seluruh warga NU, khususnya para generasi muda yang akan memegang tongkat estafet. Dengan pemahaman terhadap khittah secara komprehensif dan mendalam, otomatis akan mengantarkan kita pada aktualisasi fungsi dan posisi NU. Pertama, sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyah Diniyah). Pada posisi ini, NU berfungsi sebagai kanal perjuangan para ulama dan pengikutnya untuk memlihara, melestarikan, dan mengembangkan ajaran Islam haluan ahlussunnah waljamaah. Serta mempersatukan langkah semua elemen dalam perjuangan cita-cita demi terciptanya kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). (butir 1, alinea 2 dan 3). Kedua, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (Jam’iyah Diniyah wa Ijtima’iyah). NU dan warga Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan. Satu sama lain harus memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), saling tolong menolong, baik sesama warga negara yang berlaian aliran (non-NU) maupun yang berlaian agama (non-Islam). (Butir 8, alinea 1-4). Ketiga, organisasi yang mengemban fungsi pendidikan (Jam’iyah Tarbiyah). NU berusaha untuk memberikan pencerahan dan penerangan kepada warga negara Indonesia agar mampu memahami dan menyadari hak-hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara. (Butir 8, alinea 5). Keempat, organisasi independen. Secara organisatoris, NU adalah organisasi independen yang tidak menginduk atau terikat dengan organisasi kemasyarakatan atau organisasi politik manapun. Setiap warga NU adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi undang-undang. (Butir 8, alinea 6).
Aswaja dan Penyegaran dalam Bermadzab
Pokok bahasan ini merupakan perkenalan lanjutan dalam buku Mengenal Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah waljamaah yang disingkat ‘aswaja’ adalah postulat dari ungkapan Rasulullah saw., “Ma ana alaihi wa ashabi”. Berarti, golongan aswaja adalah golongan yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah beserta sahabatnya. Sekelibat ungkapan tersebut memang nampak sederhana, namun persoalannya adalah bagaimanakah kita bisa menilai bahwa suatu amalan itu benar-benar sesuai dengan ajaran dan amalan yang dilakukan Nabi? Bukankah masih butuh interpretasi? Dan tentu, hasil interpretasi itu tidak akan tunggal. Untuk itu, menurut NU sebagaimana yang dipaparkan Mbah Muchith, diperlukan haluan ‘madzab’ sebagai petunjuk jalan. (hlm. 28).
Pada titik ini, dalam intern NU, terjadi pergolakan pemikiran antara NU tua dengan NU muda. Bagi kalangan anak muda NU, konsepsi Aswaja yang digelindingkan oleh pendiri NU, untuk era sekarang ini, sudah terasa cukup sempit dan tidak berelevansi. Konsep itu, secara sederhana sebagaimana dalam naskah khittah NU (butir 3, poin b), menyatakan: Islam aswaja adalah Islam yang menganut salah satu dari empat madzhab dalam fikih (Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali), menganut salah satu dari dua madzhab dalam teologi (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), serta menganut salah satu dari dua madzhab dalam tasawuf (Al-Ghazali dan Al-Junaidi). Dengan demikian, siapapun yang berfikih selain menggunakan salah satu dari empat madzhab tersebut, atau berteologi selain dari dua madzhab, atau bertasawuf selain dari dua madzhab, maka secara otomatis tidak termasuk golongan aswaja ala NU.
Dulu, konsep tersebut memang relevan, tapi ketika didudukkan pada kompleksitas problem mutakhir yang kian multidimensional, kiranya patut ditinjau ulang. Pada tataran fikih, misalnya, keempat madzhab yang diresmikan NU—menurut kalangan anak muda NU—sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas persoalan saat ini. Namun, seringkali kita memaksakan diri untuk secara terus-menerus ‘mengembalikan’ kompleksitas persoalan mutakhir ini pada empat madzhab. Selain itu, dengan adanya pembatasan madzab, kita akan terkungkung pada satu alur pemikiran, bahkan bisa terjerumus dalam fanatisme, pengkultusan satu madzab tertentu, dan menganggap pemikiran lain yang berbeda tidak sesuai dengan aswaja.
Di sinilah, antara lain, letak poin-poin yang harus dikaji ulang oleh kalangan NU. Diantara tawaran alaternatif yang sempat mencuat dari kalangan NU muda, yaitu aswaja sebagai ‘manhaj al-fikr’ (metode/cara berfikir), bukan lagi sebagai sistem beragama yang mengharuskan bermadzab. Tawaran ini bermaksud, ingin membebaskan warga NU dari keterkungkunagan madzab, fanatisme, dan pengkultusan. Orientasi yang dingin digapai manhaj al-fikr antara lain (1) kemerdekaan individu dalam berijtihad, (2) menciptakan metode-metode baru yang inovatif dan progresif dalam berijtihad, (3) memberikan peluang tajdid bagi pemikiran-pemikiran baru yang berorientasi pada ‘kemaslahatan publik’ dan ‘pembebasan dari ketertindasan’, (4) memperluas cakupan ilmu dan lahan garapan, tidak hanya soal-soal fikih-teologi-tasawuf (keagamaan an sich), tapi dengan manhaj al-fikr, aswaja tumbuh subur dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan lebih bersifat inklusif.
Melihat fenomena ini, tokoh NU yang dikategorikan ‘liberal’ oleh Mujamil Qomar dalam buku NU Liberali ini berpendirian: meski ada efek samping yang ditimbulkan, sistem bermadzab tetap penting dan relevan hingga kini. (hlm. 29). Untuk menjawab realitas kekinian dan meluruskan tuduhan atau anggapan miring tentang bermadzab, Mbah Muchith mempunyai beberapa alasan tersendiri.
Pertama, agar tidak out of date, harus ada usaha untuk meningkatkan kualitas dan bangunan epistemologis dalam bermadzab. Ini bisa dibangun melaui beberapa cara. Antara lain: (a) menguasai secara mendalam unsur-unsur syariah dan akidah Islam, (b) memahami perkembangan dan kebutuhan zaman, dan (c) menemukan metodologi yang tepat. Cara ini disinyalir dapat mengurangi efek negatif akibat bermadzab.
Kedua, fanatisme sejatinya tidak bersumber dari madzab. Dengan bermadzab, berarti kita telah menentukan pilihan, madzab siapa yang akan kita ikuti. Secara otomatis, kita juga sadar dan akan menghormati orang lain yang menentukan pilihan madzab yang berbeda dengan kita. Kalau mau jujur, fanatisme atau gerakan radikalisme di Indonesia justru muncul dari kalangan—yang mengklaim dirinya kelompok modernis—anti madzab (yang penting Islam), yang pada hakikatnya justru mengukuhkan munculnya ‘madzab baru’. Lebih lanjut, Mbah Muchith menegaskan, bahwa para pendiri madzab adalah orang-orang yang terbuka dan toleran (anti fanatisme). Jikalau ada fanatisme di kalangan orang bermadzab, tak lain, itu semata-mata disebabkan kedangkalan pengetahuan, dan ini ghalibnya terjadi pada kalangan masyarakat awam.
Ketiga, bermadzab ‘tidak sama dengan’ anti tajdid (pembaruan). Tajdid tidak hanya bermakna sebagai upaya melestarikan agama dari pemalsuan, penyimpangan, dan pendistorsian, tapi tajdid juga berarti perbaikan dan reinterpretasi yang harus dicanangkan dan diimplementasikan secara metodologis dan sistematis, tidak boleh grusa-grusu (tergesa-gesa tanpa pertimbangan). Selain itu, dalam NU juga dikenal prinsip, al-muhafadhatu ala al-qadimi al-salih, wa al-akhdzu ala al-jadidi al-ashlah (menjaga ‘barang lama’ yang baik, dan mengambil ‘barang baru’ yang baik). Kalau begitu, mana bukti bahwa NU yang bermadzab berarti anti tajdid? Sungguh tuduhan yang tak berdasar. Bagi Mbah Muchith, tajdid tidak semata-mata menghendaki ‘asal baru’, tetapi perubahan ke arah perbaikan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Keempat, menutup pintu ijtihad bukanlah hakikat ajaran dalam sistem bermadzab. Jika ada kemampuan dan kesungguhan, bermadzab justru memberiakan ruang terbuka untuk ijtihad. Ijtihad sejatinya adalah ‘spirit pencarian dan penggalian’, serta merupakan bagian ‘tak terpisah’ dari bermadzab. Karena itu, bermadzab tidak selalu harus dipertentangkan dengan berijtihad, keduanya merupakan rangkaian yang proporsional. Dengan demikian, hemat Mbah Muchith, sesungguhnya setiap orang itu pasti bermadzab, baik madzab manhaji (mengikuti metode ijtihad) maupun madzab qauli (mengikuti hasil ijtihad). Berarti, kalau tidak bermadzab Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, mungkin bermadzab Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab, Fazlur Rahman, Ali Abdul Raziq, atau tokoh-tokoh yang lain. Jelas sudah, bermadzab berarti tidak alergi terhadap ijtihad. Semakin pesat peradaban, maka semakin diperlukan banyak ijtihad.
Gagasan urgensi ijtihad ini membuktikan, Mbah Muchith yang tergolong kalangan NU tua ini ternyata masih sarat pemikiran progresif, tak kalah terbukanya dengan kalangan NU muda. Beliau mencita-citakan adanya arus pemikiran baru atau pembaruan arus pemikiran ke arah yang positif-konstruktif, serta relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ijtihad (ala madzab manhaji) yang dikonsepsikan oleh Mbah Muchith, bukan asal-asalan, tapi harus bermuara pada karakter aswaja (hlm. 29), yaitu tawassuth dan i’tidal (obyektif dan berkeadilan), tasamuh (toleran terhadap perbedaan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat: manusia-Tuhan-alam), dan amar ma’ruf nahi munkar (membela kemaslahatan dan menentang kemadlaratan).
NU dan Politik: Absurditas Khittah?
Pada bagian akhir buku Mengenal Nahdlatul Ulama, Mbah Muchith memperkenalkan dan mengajak pembaca untuk melanglangbuana di dunia absurd, NU dan politik, suatu perhelatan yang tak kunjung usai. Disadari atau tidak, sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, NU kerap diombang-ambil oleh sebuah kepentingan (invisible hand). Meski NU sudah ‘talak tiga’ dengan gerpol (baca: gerakan politik praktis), NU kadang masih saja terseret arus gigantisme politik praktis, mungkin akibat pesonanya yang masih tetap menggiurkan. Hingga kini, NU acap dihadapakan pada dua pilihan, tetap dijalur gerakan sosial keagamaan atau ditambah jalur politik (sosial-keagamaan plus).
Fakta di lapangan mengindikasikan, garis demarkasi yang membedakan antara NU dengan politik sungguh begitu absurd dan multi-interpretatif. Karena itu, pergumulan dan pergulatan bagaimana semestinya kiprah ‘politik NU’ di pentas nasional kerap mendatangkan kontroversi. Satu contoh, kasus pencalonan KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) sebagai Wakil Presiden dalam pemilu 2004. Sebagian kalangan menuduh, Hasyim telah mempolitisasi NU dan mengkhianati khittah, namun kalangan lain justru mendukungnya. Ini adalah realitas di lapangan yang tak terelakkan. Entah apakah perbedaan pendapat itu akibat interpretasi yang sengaja dibuat-buat untuk melegitimasi atau akibat rumusan khittah yang masih absurd? Yang jelas, NU tidak dilahirkan sebagai partai politik, namun mempunyai ‘kekuatan politik’ yang sangat besar.
Dalam kancah politik, NU sudah banyak makan asam dan garam. Fenomena jatuh-bangun dalam lintasan dan patahan sejarah merupakan pengalaman ijtihad politik NU yang patut dipelajari (hlm. 35-37).
(1) Pada zaman penjajahan Belanda: NU dengan tegas menyatakan anti-penjajahan, dan membuat gerakan under ground di pesantren-pesantren untuk merebut kemerdekaan; NU juga menolak kewajiban milisi (menjadi tentara Hindia Belanda) yang diterapkan untuk pemuda Indonesia. (2) Zaman penjajahan Jepang. Waktu itu, ketika Jepang membekukan seluruh organisasi rakyat, tokoh NU—membuat strategi—bersama dengan tokoh-tokoh lain memperlihatkan sikap kooperatif dengan Jepang. Strategi ini sengaja dilancarkan supaya mendapat kesempatan lebih luas untuk berhubungan dengan rakyat dalam rangka mempersiapakan gerakan grassroot merebut kemerdekaan. (3) Era revolusi fisik: NU bahu-membahu dengan seluruh lapisan masyarakat dalam mengisi kemerdekaan dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai Masyumi.
(4) Seusai revolusi fisik: NU keluar dari Masyumi dan berubah ‘kelamin’ menjadi partai politik. Pemilu 1955, NU berhasil memperoleh 45 kursi di DPR. Sejarah mencatat, saat itu, NU berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik nasional yang diperhitungkan. (5) Era orde lama: partai NU pernah direpotkan dengan gerakan ‘Nasakomisasi’. Ikut kabinet Nasakom, dituduh komunis; tidak ikut, Soekarno akan berjalan tanpa NU dan menggantikan posisi NU dengan kekuatan lain, yang bisa jadi kekuatan tersebut tidak mampu merepresentasikan umat Islam dan warga nahdliyyin. Akhirnya, NU memilih gabung dengan kabinet bentukan Soekarno. (6) Era orde baru: NU memfusikan fungsi politiknya kepada Partai Persatuan Pembangunan (1973). Karena sering dikebiri, dikadali, dan didiskriminasi, tahun 1984 NU membebaskan diri dari keterikatannya dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan manapun (lahirnya khittah NU dalam muktamar ke-27 di Situbondo).
(7) Orde reformasi: NU memberikan kesempatan kepada warganya untuk mendirikan partai politik, sebagai penyalur lidah rakyat umumnya dan warga nahdliyyin khususnya, yaitu dibentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan Mbah Muchith adalah salah satu tokoh pendirinya—di samping Gus Dur, Gus Mus, Kiai Ilyas Ruhyat, dan Kiai Munasir Ali. Menurut Mbah Muchith, hubungan NU dengan PKB adalah hubungan historis, aspiratif, dan kultural, bukan hubungan organisatoris struktural. Karena itu, pilihan politik warga NU di PKB bukanlah kebijakan yang qath’i (pasti nan abadi), tapi sewaktu-waktu bisa berubah. Maka tak heran, saat pemilu 2004, Hasyim Muzadi justru digandeng oleh PDI-P, yang notabene partai tersebut tak ada kaitan dengan NU. Begitu pula dengan banyaknya kader-kader NU yang bertaburan di partai-partai lain, selain PKB.
Bilik-bilik bangunan NU memang tak pernah sepi dari aktifitas politik. Perang urat-syaraf itu kembali menganga saat pagelaran ‘pesta demokrasi’ 2004. Lagi-lagi soal hubungan NU dan politik. Kasak-kusuk ini dipicu oleh beberapa aktifitas politik warga NU yang, menurut sebagian kalangan, dianggap melenceng dari khittah. Pertama, fenomena rangkap jabatan. Banyaknya pengurus NU yang juga tercatat sebagai pengurus partai. Jadi, mereka punya peran ganda: sosial kemasyarakatan di NU dan peran politik di partai. Masalahnya, mereka cenderung menggunakan NU sebagai alat politik untuk memuluskan kepentingan politik partainya, jadinya ya NU ditunggangi. Kedua, klimaknya adalah saat Hasyim (dari NU) bersedia digandeng Megawati (dari PDI-P) untuk menjadi pasangan capres dan cawapres. Dan yang menyedihkan, Hasyim tidak bersedia melepaskan jabatan sebagai ketua PBNU (hanya berstatus ‘non-aktif’, yang berarti selepas pemilu bisa menjabat kembali). Ini kemudian diikuti dengan pembentukan tim sukses yang melibatkan pengurus struktural NU dari tingkat pusat sampai ranting.
Pro-kontra ini setidaknya dibidani oleh dua kubu. (1) kubu pro Hasyim. Dimotori oleh mayoritas para Pengurus Besar NU dan pengurus struktural dari wilayah sampai ranting yang sepakat dengan pencalonan Hasyim. (2) kubu kontra Hasyim. Sebagian besar think-tank-nya berasal dari ‘anak-anak muda NU’ yang bergiat di kampus, LSM, lembaga kajian dan penelitian, dan juga terdapat beberapa kiai muda. Mereka menamakan dirinya sebagai pembela dan penegak khittah. Lagi-lagi, persoalan ini adalah percekcokan antara ‘orang tua’ dengan ‘anak muda’ (layaknya bapak dengan anaknya). Lalu, bagaimanakah sejatinya politik NU (pasca khittah) menurut Mbah Muchith?
Jika dipetakan secara sederhana, NU mengenal tiga jenis orientari dalam berpolitik. Pertama, politik kebangsaan. Peran ini dimainkan NU saat perjuangan revolusi fisik dan awal-awal kemerdekaan. Bagi NU, NKRI adalah keputusan paripurna. Karena itu, NU tidak pernah melakukan pemberontakan dan terlibat dengan gerakan separatis. Kedua, politik kerakyatan. Pada posisi ini, NU lebih berkonsentrasi pada bidang: pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pendampingan buruh, petani, dan kaum marjinal. Kegiatan-kegiatan ini terfokus pada penguatan civil society di akar rumput, yang merupakan bagian dari politik keseimbangan kekuatan, rakyat vis-à-vis penguasa (negara). Ketiga, politik kekuasaan. Peran pertama kali adalah ketika NU masih gabung dengan Masyumi. Saat itu, banyak pengurus NU yang terlibat dalam perebutan jabatan, baik di eksekutif maupun legislatif. Kecenderungan ini semakin kuat, tatkala NU keluar dari Masyumi (1952) dan berubah menjadi partai politik. Dari ketiga orientasi tersebut, manakah yang semestinya dijalanakan NU?
Mbah Muchit berpendapat, soal pilihan orientasi berpolitik (kebangsaan atau kerakyat atau kekuasaan) tidaklah substansial. Justru yang pokok dan harus dipahami, bahwa NU adalah organisasi yang mandiri, tidak menjadi bagian dari organisasi lain, baik organisasi politik atau kemasyarakatan. (hlm. 37). Lebih lanjut, tokoh yang dijuluki pakar khittah ini juga mengemukakan kritik, mengapa orang berkoar-koar mengkritik NU ketika NU ‘dekat’ dengan parpol, sementara orang-orang pada tutup mulut ketika NU ‘dekat’ dengan organisasi kemasyarakatan. Padahal, dalam khittah jelas-jelas termaktub, “NU sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak boleh terikat dengan organisasi politik atau kemasyarakatan manapun juga.” Kemudian dilanjutkan dengan alinea berikutnya, “Setiap warga NU mempunyai hak-hak politik yang dilindungi undang-undang. Dan, dalam menggunakan hak politiknya, warga NU harus bertanggung jawab penuh. Dengan demikian, dapat ditumbuhkan sikap hidup demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mampu mengembangkan menkanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.” (Naskha Khittah, Butir 8 alinea 6 dan 7).
Jadi, pada intinya, timbulnya perseteruan dua kubu di atas adalah adanya perbedaan pemahaman khittah, yang tidak dilanjutkan dengan musyawarah mufakat. Karena itu, gerakan tersebut berkembang dan menggelinding bak bola salju. Tentunya, semua ini merupakan bagian dari pahit-manis perjuangan NU dalam mewujudkan Indonesia sebagai baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur dan upaya menciptakan masyarakat Indonesia sebagai the good society. Jadi, tidak ada yang perlu disalahkan, sebab yang penting adalah dinamika saling koreksi, kritik, dan kontrol masih tetap ‘hidup dan tumbuh subur’ di tubuh NU.
Ikhtitam
Menurut kalangan luar NU, Fachry Ali misalnya, pernah mengatakan, peran organisasi NU dan Muhammadiyah dalam histoire mentalitè (sejarah kesadaran) masyarakat Indonesia, lebih berhasil memainkan “peran politik”—daripada partai-partai politik Islam itu sendiri—tanpa menjadi organisasi politik secara resmi. Publik jauh lebih mendengar seruan-seruan moral dan intelektual NU dan Muhammadiyah, daripada kekuatan-kekuatan politik resmi. (Fachry Ali, Islam dan Pemberdayaan Politik Umat, Makalah Diskusi Serial bidang Politik International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 16 Januari 2003). Ini membuktikan, meski bukan parpol, NU mempunyai kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Terkait dengan peran politk NU, ada baiknya kita menilik hasil keputusan Muktamar ke-28 di Krapyak Jogja. Di situ dipaparkan, “Pedoman Berpolitik bagi Warga NU”, yang terdiri dari 9 poin. Menurut Mbah Muchith, keputusan inilah yang harus dijadikan kiblat atau acuan berpolitik warga NU. (hlm. 38). Antara lain: Pertama, berpolitik bagi warga NU mengandung arti, keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Ketiga, perbedaan pandangan antara aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai satu sama lain. Sehingga dalam berpolitik, persatuan dan kesatuan di lingkungan NU tetap terpelihara.
Hemat saya, keberadaan ‘naskah khittah’ (hasil Muktamar ke-27) dan ‘Pedoman Berpolitik bagi Warga NU’ (hasil Muktamar ke-28), ternyata belum aplikatif dan masih sangat general. Di sinilah letak kritik saya terhadap buku ini. Pada pokok bahasan ‘hubungan NU dan politik’ yang kerap menjadi polemik, justru buku ini tidak menyuguhkan penjelasan secara rigid dan aplikatif terhadap kedua landasan berpolitik warga NU tersebut—berbeda dengan ulasan bab-bab lain yang cenderung mendalam dan memberikan perspektif anyar. Seharusnya, landasan yang masih general itu, dipreteli dan dikupas satu-persatu secara rigid dan aplikatif di lapangan sebagai rambu-rambu berpolitik warga NU.
‘Ala kulli hal, buku ini tetap penting dibaca oleh semua kalangan (NU maupun non-NU) dan menarik untuk dijadikan referensi dalam kajian-kajian seputar NU. Sebab, segala perspektif dalam buku ini, merupakan pandangan tokoh senior NU, yang—sejak tahun 1941—telah merasakan pahit-manis berjuang dan berkhidmat kepada publik melalui jalur NU. Buku ini juga merupakan bagian dari apresiasi pemikiran intelektual kalangan ‘NU tua’ dalam menilik, menelisik, dan menanggapi berbagai perkembangan kenyelenehan mutakhir pemikiran NU, yang acap dimotori generasi anak-anak muda NU. Di samping itu, buku berwarna hijau tua ini juga mengajak pembaca untuk selalu memaknai dan memahami realitas sosial sesuai dengan konteks. Sebab, semuanya itu hadir tidak dalam ruang hampa.
Di kalangan NU, penulis buku ini masyhur dengan berbagai sebutan: pakar khittah, literatur hidup NU, ensiklopedi NU yang berjalan, dan lain-lain. Hebatnya, di usianya yang tergolng udzur ini (81) beliau tetap berkarya dan malah dikategorikan berada di barisan ‘NU liberal’. Ulasan realitas sosial dan lika-liku perjalanan NU, ditambah dengan sosok penulis yang fenomenal, justru menjadikan buku ini ‘berbeda’ dan ‘lebih bergizi’, serta mempunyai ‘keunikan khas’ jika disandingkan dengan buku-buku tentang NU yang lain. []
Taswirul Afkar, Juni 2006.