Orang merasa gembira dengan hari-hari yang dilaluinya. Padahal, hari-hari itu adalah usia manusia dan karunia Tuhan yang tak mungkin kembali lagi.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Sebut saja Ahmad Jaelani, karyawan salah satu perusahaan swasta di Ibu Kota. Bapak dua orang anak ini jago ilmu komputer. Ketika di bangku kuliah, ia pernah menggondol juara di bidang yang digeluti itu. Decak kagum kawan-kawannya pun bertaburan, bahkan tak sedikit orang yang menaruh hati.
Tapi, ada yang aneh saat ia terjun di dunia kerja. Ranum mukanya tak sumringah lagi seperti dulu. Murung dan gampang marah. Jalannya lunglai, tak bertenaga. Biasanya, begitu tiba di kantor, tak lama kemudian ia menyandarkan kepala di meja dan matanya terpejam. Tak heran, jika amukan bos adalah menu tiap hari yang mau tak mau harus ia santap.
“Tugasmu sudah selesai?” tanya bosnya.
“Besok.. Pak,” jawab Jaelani.
“Bagus..!! Teruskan..!!” sindir bosnya dengan sinis.
Jawaban itu selalu diulang-ulang Jaelani pada kesempatan yang berbeda. Ia sosok yang tidak biasa kerja dengan deadline, batas waktu. Ia terbiasa kerja sesuka hati, tergantung mood. Sementara tuntutan perusahaan, ia harus bekerja dengan cepat dan tepat waktu. Perusahaan tidak mau rugi. Entah kenapa, pria yang kini berumur 29 tahun itu tetap saja tak beranjak dari kebiasaannya. Si Bos akhirnya tak tahan lalu memecat Jaelani.
Jaelani adalah “tamsil kegagalan” akibat kurang mampu mengelola waktu. Untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan, waktu adalah kunci utama. Allah berkali-kali dalam firman-Nya bersumpah dengan menggunakan waktu, “Demi masa.” Tidak kurang dari sepuluh kali, allah menyebut di surat yang berbeda-beda. Antara lain: Wa al-`ashri (demi masa), wa al-laili (demi malam), wa al-fajri (demi waktu fajar) dan wa al-dhuha (demi waktu dhuha).
Ukuran Tingkat Kesalehan
Saking pentingnya waktu, ulama kelahiran Damaskus, kini Syiria, Ibnu Qayyim al-Jauzi (1292-1350 M) dalam Al-Fawâ`id (beberapa faidah), mengelompokkan orang-orang sufi didasarkan atas kemahiran mereka dalam mengelolanya.
Pertama, model orang yang hanya bisa menuntaskan hal-hal yang wajib saja. Perkara yang sifatnya sunnah atau tambahan, tidak begitu banyak dikerjakan. Karena itu, ada sisa waktu yang terbuang tanpa guna.
Kedua, jenis orang yang usai menjalankan kewajiban, ia juga giat mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan yang positif. Tapi, kelompok ini menitikberatkan perbuatannya pada lahiriyah saja, tidak mengikutsertakan hati yang pasrah karena Allah.
Ketiga, tipe orang yang mengarahkan kelebihan waktunya—setelah menjalankan hal-hal yang wajib dan sunnah—untuk melakukan perbuatan positif disertai niat tulus lillahi ta’ala, semata-mata karena Allah. Orang yang masuk kategori tingkat ketiga ini disebut sosok manusia hakikat, manusia yang mampu memaksimalkan karunia Tuhan dan berhasil hidup seimbang.
Kisah-kisah sufistik klasik sering bertutur tentang urgensi mengelola waktu dalam kehidupan sehari-hari. Misal, Ibnu Qudamah (1147-1223 M) pernah bertutur dalam kitab Al-Tawwâbîn (orang-orang yang taubat).
Alkisah, Shilah bin al-Syam, seorang tabiin (generasi setelah Sahabat) tidak mau menyia-nyiakan waktunya. Ia gemar berkelana mencari ilmu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Setiap melintasi sekelompok anak muda yang nongkrong dan bersenda gurau di pinggir jalan, ia selalu memberikan nasihat berupa renungan pertanyaan.
“Jika ada orang yang siang hari pergi tanpa tujuan dan malam harin ia tidur pulas, maka kapan ia sampai pada tujuan?” tanya sufi yang hobi berkelana itu.
Pertanyaan ini selalu diulang kala ia melewati kelompok anak-anak muda itu. Suatu hari, ketika ia mengucapkan nasihat itu, tiba-tiba seorang pemuda ada yang menyahut. “Hai kawan-kawan, yang dimaksud Bapak ini adalah kita. Mari kita renungkan! Bukankah di waktu siang kita habiskan waktu untuk bermain-main dan malam harinya kita tidur pulas?”
Rupanya pemuda itu sudah bisa menangkap maksud ungkapan tabiin tersebut. Kala itu juga, ia bertaubat di jalan Allah dan berjanji pada diri sendiri, tidak akan menyia-nyiakan waktu tanpa tujuan pasti. Ia kemudian menjadi murid Shilah bin al-Syam hingga akhir hayatnya.
Pesan Nabi Soal Waktu
Jelas kan..., tak ada keuntungan bagi orang yang menyia-nyiakan waktu. Sebab, “Waktu itu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya maka engkau yang akan dipotong-potong oleh waktu.” Begitu sabda Nabi dalam riwayat al-Baihaqi. Maksudnya, jika manusia tidak mampu mengelola waktu dengan baik, maka ia akan digilas oleh zaman, dan yang ada hanyalah penyesalan di hari kemudian.
Dalam diriwayatkan al-Nasa’i, Nabi pernah berpesan kepada umatnya, “Manfaatkan lima hal sebelum datang lima hal yang lain.” Apa itu? 1) Muda sebelum tua, 2) sehat sebelum sakit, 3) kaya sebelum miskin, 4) waktu luang sebelum sibuk, 5) hidup sebelum mati.
Ada dua alasan mendasar mengapa waktu begitu penting bagi kehidupan manusia. Pertama, waktu adalah kesempatan yang tidak mungkin dapat kembali. Kedua, tugas kita biasanya lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Karena itu, kita harus dapat mengelola dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Orang yang teledor dan tidak mampu memenej waktu dengan baik, maka ia sangat dekat dengan kegagalan.
Ibaratnya begini. Ada seorang dermawan yang memberi santunan kepada kita senilai 1 juta rupiah tiap hari. Uang itu harus diambil hari itu juga. Jika yang diambil hanya setengah, 500 ribu misalnya, maka sisanya akan hangus. Apa yang akan kita lakukan? Kita pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Uang 1 juta itu akan kita ambil keseluruhan saban hari, tanpa sisa sedikitpun.
Nah, begitu pula dengan waktu. Waktu laksana mutiara yang bertebaran di mana-mana. Kita berebut mengambilnya atau hanya berpangku dagu menyaksikan orang yang berlomba-lomba menghimpun mutiara.
Spirit Keseimbangan
Surat al-`Asr ayat 1-3 Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh....”
Ayat ini mengisyaratkan agar manusia mengelola waktunya dengan amalan seimbang, antara kehidupan ukhrawi (iman) dan duniawi (amal saleh). Inilah yang dijadikan patokan para sufi dalam memanfaatkan waktu. Berarti, bisa dikatakan, orang merugi yaitu orang yang selalu beribadah kepada Allah, tapi ia lupa tidak berbuat baik kepada manusia. Begitu pula sebaliknya.
Imam Haramain (419-478 H), ahli fiqih dan guru Imam Ghazali, adalah sosok yang tidak mau menyia-nyiakan waktu. “Saya tidak tidur kecuali karena memang tertidur dan saya tidak makan kecuali dalam kondisi yang benar-benar lapar,” kata ulama yang dikenal zuhud itu, seperti disitir Tajuddin al-Subki, seorang sufi yang meninggal tahun 771 H, dalam Tabaqat al-Syafi’i al-Kubra dan Ibnu Asakir (499-571 H) dalam Tabyin Kadzibil Muftari (penjelasan dustanya pendusta).
Begitu pula dengan Muhammad bin al-Hasan (132-189 H) seperti diceritakan dalam kitab Miftah al-Sa’adah wa Mishbah al-Siyadah (kunci kebahagiaan dan lampu kemuliaan) karya Tasykubri Zadah. Sebagian besar waktu murid imam Abu Hanifah ini dibaktikan untuk kemajuan ilmu.
Kalau malam, ia suka menurunkan buku-buku dari rak, lalu diletakkan di sekelilingnya. Waktu malam yang sunyi itu selalu ia habiskan untuk melahap buku. Apabila ia bosan membaca buku tertentu, ia akan mengambil buku yang lain. Jika ngantuk tiba, maka tak segan-segan ia mengusap mukanya dengan air. “Sesungguhnya rasa kantuk itu karena panas,” ujarnya.
Memenej Waktu
Nikmat dahsyat yang Allah berikan kepada manusia, salah satunya, adalah nikmat waktu. Orang kalau sudah lupa waktu, maka ia akan lupa dengan dirinya. Kalau sudah lupa diri maka ingat Tuhan adalah sesuatu yang muhal. Rasulullah jauh-jauh hari telah mengingatkan agar manusia itu mahir dalam mengelola waktu. Sebab, di hari akhir nanti, kita akan mempertanggungjawabkan waktu yang telah kita habiskan.
“Kedua kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari kiamat, hingga ia ditanya empat perkara: usianya, untuk apa dia habiskan; masa mudanya, bagaimana ia habiskan; hartanya dari mana ia dapatkan dan pada jalan apa dia keluarkan; serta ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya.” Demikian sabda Nabi seperti diriwayatkan Al-Bazar dan al-Thabrani.
Karena itu, kita harus mensyukuri dan manfaatkan waktu dengan cerdas. Bagaimana caranya? Pertama, menetapkan tujuan dan cita-cita hidup. Setidaknya, kita mampu menjawab pertanyaan berikut: “Apa yang saya inginkan dalam hidup ini?” Karena itu, “Apa yang harus saya lakukan?”
Kedua, melakukan perencanaan. Tanpa perencanaan, target akan susah diraih. Rencana ini ada dua: jangka pendek dan jangka panjang. Agar tidak meleset, kegiatan direncanakan sedetail mungkin: mulai dari harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan seterusnya.
Ketiga, menetapkan skala prioritas. Jika tak tahu prioritas, kita biasanya mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Jadi, kuncinya adalah mendahulukan yang lebih penting, dan jangan pernah bilang, “Ah... entar saja deh..”, kalau memang bisa dikerjakan saat itu juga.
Kini, kita patut bertanya pada diri kita masing-masing. Benarkah saya sibuk? Perkara apa yang menyibukkan saya? Sudahkah kesibukan itu bermakna bagi saya, atau sekedar hura-hura dan buang-buang umur? [Dari berbagai sumber]
Syir`ah, Edisi 59, November 2006.