Sunday, November 26, 2006

Toleransi dari Bilik Pesantren

Pesantren tak hanya menyimpan ajaran toleransi, tapi juga menganut lima falsafah hidup yang mirip Pancasila dalam membangun hubungan yang harmonis. Apa sajakah itu?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Menjaga nilai-nilai yang baik dari tradisi lampau dan mengambil yang lebih baik dari masa kini adalah kredo besar yang diusung pesanten. Pesantren tak mengenal cara belajar agama secara kilat. Para santri mempelajari berbagai disiplin ilmu secara mendalam. Sebut saja tafsir, hadis, tasawuf, ushul fiqih (dasar-dasar hukum Islam), nahwu, shorof (ilmu tata bahasa Arab), balaghah (Ilmu keindahan bahasa Arab), dan lain-lain. Usai memahami khazanah situ, santri baru ngeh dan dapat melihat betapa nilai-nilai Islam justru mendorong pola hidup toleransi.

Lili Zakiyah Munir, Direktur Center For Pesantren and Democracy Studies, mengungkapkan statemen itu saat acara talkshow Islam Indonesia di Metro TV dengan tema Belajar Toleransi dari Pesantren. Hal ini diamini Fuad Al-Anshori, Santri sebuah pondok pesantren bernama Al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia merasakan hal serupa di pesantennya yang terletak di Parung Bogor itu.

Fuad bahkan sering melihat kalangan non-muslim bertamu ke pesantren yang diasuh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar ini. Tamu-tamu itu diterima dengan lapang dada. Mengapa? Fuad menjelaskan sembari menyitir sabda Nabi, “ihtarim al-dhuyûf walau kâna kâfiron,” hormatilah tamu walapun itu seorang kafir.

Ia lalu berkisah. Pesantren Nurul Iman pernah didatangi delapan orang pendeta utusan Yeni Zannuba Wahid, putri Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Mereka ingin mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu mereka menginap selama tiga hari. Setelah bergaul di pesantren yang jumlah santrinya tak kurang dari 9000 itu, mereka baru sadar, ternyata Islam adalah agama penuh toleransi dan damai.

Mengapa harus dengan cara damai? “Ketika di Thaif (sekarang Ethiopia), Rasulullah berdakwah dengan santun,” Fuad mencontohkan. Nabi dilempari batu dan dicaci-maki. Lalu, malaikat datang untuk menghancurkan penduduk Thaif. Tapi, Nabi justru menolak, dan berdoa “Allâhummahdi kaumî fainnahun lâ ya’lamûn.” Ya Allah, tunjukkanlah kaumku bahwasanya mereka tidak mengetahui.

Praktik keagamaan di pesantren Nurul Iman ini kian menegaskan statemen Zakiyah di atas. Bahkan, menurut Zakiyah, ada filsafat kehidupan di pesantren yang dia bahasakan sebagai “pancasilanya pesantren”. Yakni, tawâsuth (berada di tengah moderasi) kemudian tawâzun (seimbang menjaga keseimbangan), kemudian tasâmuh (toleransi), `adâlah (keadilan), terakhir tasyâwur (musyawarah). “Jadi lima nilai inilah yang menjadi ciri khas pesantren,” ujarnya. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes