Sebagai subkultur dari masyarakat, pesantren menyimpan banyak keunikan, terutama ketika menyapa tradisi dan merespon keragaman.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Tempat mirip padepokan yang lazim terkesan adem ayem itu tiba-tiba dituding sebagai sarang teroris yang mensahkan aksi kekerasan atas nama agama. Penghuninya dicap ekslusif, jumud, kaku, dan tidak toleran. Ya, pesantren, nama tempat itu. Syak wasangka ini marak sejak tertangkapnya Imam Samudra dan Amrozi cs, tiga tahun silam, sebagai pelaku peledakan bom. Ironisnya, mereka ternyata jebolan pesantren. Wajar saja jika tudingan dialamatkan ke institusi ini.
Benarkah tudingan itu? International Center for Islamic and Pluralism (ICIP), belum lama ini, mengadakan penelitian untuk menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan?
Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI).
Tema-tema yang diteliti seputar wacana multikulturalisme, semisal toleransi, demokrasi, gender, dan syariat Islam.
Hasil penelitian menunjukkan, pemahaman sejumlah kalangan pesantren di Jawa Barat, belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan multikulturalisme. Hal ini diungkap tim peneliti ICIP dalam seminar dan workshop bertajuk “Persepsi Komunitas Pesantren di Jawa Barat terhadap Isu-isu Keagamaan dan Multikulturalisme”, bulan Januari silam, di kawasan Depok, Jawa Barat.
Kalau begitu, betul bahwa pesantren anti keragaman dan tidak toleran? Jangan bergegas ambil kesimpulan. Tim peneliti ICIP justru menemukan hal lain yang menarik. Kalangan pesantren ternyata belum familiar dengan istilah multikulturalisme. Konsep apakah ini?
Kamus besar berbahasa Inggris Webster’s New World College Dictionary mengartikan, multikulturalisme adalah sebuah paham atau sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, gender, agama ataupun yang lain. Konsep ini tidak hanya mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di ruang publik.
Merangkul Keragaman
Kaitannya dengan pesantren, multikulturalisme adalah spirit alamiah yang telah tumbuh berkembang sebelum istilah ini dikenal. Ditilik dari segi namanya saja, pesantren terkesan unik. Nama lembaga yang menjadi lokus pendidikan Islam di Indonesia ini bersumber dari bahasa Sansekerta, “sastri” artinya orang yang mendalami kitab suci.
Pesantren, dalam konteks budaya Indonesia kuno, adalah tempat pemeluk agama Hindu dan Budha mempelajari dan mendalami kitab sucinya. Istilah ini kemudian diadopsi oleh Islam. Berarti, kalangan pesantren tak gamang bergaul dengan agama lain.
Pada sisi lain, pesantren yang disebut antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz sebagai komunitas “Islam santri” itu juga tidak sungkan-sungkan berpelukan dengan kalangan “Islam abangan”, kalangan yang mengaku Islam tapi jarang melakukan syariat dan cenderung kejawen.
Ini pernah dipraktikkan Pesantren Tegalrejo. Tahun 1986, saat acara kataman, pesantren yang tergolong salafi (tradisional) ini mengadakan pesta seni dan dakwah. Perbagai kesenian rakyat diberi panggung dan dipersilahkan unjuk kebolehan. Mulai dari jatilan, wayang, ketoprak, reog, orkes dangdut sampai dengan hadrah dan samroh.
Kataman adalah pesta perpisahan para santri yang sudah lulus dan akan menduduki posisi kiai di desa masing-masing, dan juga bagi santri yang naik kelas. Acara yang dinilai nyeleneh itu mengundang tanya masyarakat, “Pesantren kok mengundang orang-orang yang biasa maksiat, nggak pernah salat?” Mendengar desas-desus itu, Muhammad, salah satu pengasuh, akhirnya menjelaskan di sebuah forum pengajian.
Menurutnya, kesombongan atau takabbur adalah sifat yang buruk. “... janganlah sekali-kali meyakini, hanya kita yang sekarang menjalankan salat lima waktu dalam sehari ditakdirkan masuk surga. Mereka yang sekarang sedang bermain jatilan mungkin saja ditakdirkan masuk surga, dan kita mungkin dilemparkan dalam neraka karena penuh kesombongan...” katanya seperti ditulis Bambang Pranowo dalam Islam Faktual, antara Tradisi dan Relasi Kuasa (1998).
Sikap Muhammad itu menunjukkan cara pandang yang egaliter, mensejajarkan antara kalangan santri dan kalangan abangan. Ia tidak merasa lebih benar dari yang lain, apalagi sampai menyalahkan. Pesantren yang berdiri sejak tahun 1944 ini didirikan kiai Chudlori, wafat tahun 1977. Sepeninggalnya, pesantren yang terletak di Magelang Jawa Tengah ini dipangku oleh kedua putranya, Abdurrahman (lahir 1942) dan Muhammad (lahir 1946).
Menjadi Subkultur Masyarakat
Abdurrahman Wahid, mantan presiden RI yang juga aktif bergelut di dunia pesantren, dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (2001) menyebut realitas pesantren dengan istilah “subkultur”. Maksudnya, keberadaan pesantren selalu berada dalam lingkup budaya tertentu.
Pesantren yang satu dengan yang lain pasti tidak sama, tergantung lokasi dan budaya masyarakat setempat. Meski begitu, bukan berarti pesantren mengidentikkan diri dengan budaya setempat. Tapi, pesantren tetap punya karakter khas hasil kreasinya sendiri yang berakar dari tradisi lokal, seperti di contohkan Pesantren Tegalrejo di atas.
Karena itu, perbedaan pendapat di dunia pesantren hal yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkan pun tidak satu mahdzab. Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi adalah menu sehari-hari santri saat kegiatan musyawarah atau bahtsul masail. Menariknya, dinamika perbedaan pendapat itu berjalan sesuai dengan logika dan koridor perdebatan masing-masing, tanpa menyalahkan satu sama lain.
Bahkan, di kalangan pesantren dikenal kaidah fiqh, al-ijtihâd lâ yunqaddu bi al-ijtihâd, ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Misal, dalam satu masalah, ada perbedaan pendapat. Maka, bukan berarti pendapat yang satu lebih benar dari yang lain karena lebih akhir ijtihadnya atau alasan lain. Santri diberikan keleluasaan untuk memilah dan memilih manakah yang sesuai untuk dijalankan.
Dulu, pendiri dua pesantren besar di Jombang Jawa Timur pernah beda pendapat, Kiai Bisri Syamsuri (Pengasuh Pesantren Denanyar) dan Abdul Wahab Hasbullah (pengasuh Pesantren Tambak Beras) dalam menyikapi hukum drumband. Waktu itu, santri-santri putri di beberapa pesantren di Jombang berkeinginan untuk membentuk grup drumband. Gelagat ini tak lama tercium oleh Bisri. Sontak saja dia naik pitam, “Perempuan tidak boleh main drumband. Dikhawatirkan nanti auratnya kelihatan,” tegas pendiri Pesantren Denanyar Jombang itu.
Larangan Bisri itu lantas dilaporkan para santri ke Wahab. Mendengar laporan para santri, ia bergegas menemui Bisri, yang juga adik iparnya sendiri itu. “Nggak apa-apa wong masih pakek kerudung kok, nggak seperti Gerwani (organisasi perempuan PKI). Pokoknya, auratnya tidak kelihatan,” kata pendiri Pesantren Tambakberas Jombang itu kepada Bisri. Dan akhirnya grup drumband pun jadi terbentuk.
Meski tadinya melarang, saat pertunjukan drumband digelar, Bisri ternyata ikut menyaksikan. Ya, begitulah dinamika perbedaan pendapat di kalangan pesantren. Berbeda boleh saja asal saling menghargai dan tanpa menyalahkan. []
Syir`ah, Edisi 59, November 2006.