Sunday, November 26, 2006

Mati Sangit atawa Mati Syahid?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tradisi mudik dan arus balik saat lebaran laksana kewajiban bagi orang udik yang bekerja di Jakarta. Ini juga dialami Siti Wulandari, sebut saja begitu. Warga desa Gelap Laren Lamongan Jawa Timur ini mudik bersama Joko Prayitno, pria pujaan hatinya. Sepasang muda-mudi ini belum genap sebulan menikah.

Sekitar dua minggu mereka berlebaran di kampung. Enam hari di Lamongan dan sisanya ia habiskan di Kota Pahlawan, tempat orang tua Joko tinggal. Usai bertemu famili dan handai tolan, plus berbulan madu, mereka pun kembali ke Ibu Kota naik kereta ekonomi.

Sehari-hari, Siti biasa mangkal di Terminal Senen. Jadi preman? Tentu bukan, ia membuka warung Pecel Lele di kawasan Jakarta Pusat itu. Sang Suami sehari-hari mengajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri 12, jauh dari tempat tinggalnya di bilangan Kwitang Jakarta Pusat.

Begitu sampai di Jakarta, pasutri itu menuju kontrakannya di bantaran sungai Ciliwung. “Hah..! Masya`allah..!” Siti dan Joko tercengang. Apa pasal? Kurang lebih lima belas deretan rumah didekatnya dilahap si jago merah saat fajar menyingsing. Sedikitnya tujuh orang meninggal dan sepuluh orang luka-luka.

Saat itu juga, Joko mengajak Siti melakukan sujud syukur.
“Untung saja rumah kita tidak kena Mas. Meski mati sangit, semoga mereka masuk surga” kata Siti lirih usai sujud syukur.
“Iya. Tapi kamu jangan ngawur, ngomong sak udelmu dewe (seenaknya), mati sangit..! mati sangit..!,” sahut suami Siti yang pernah nyantri di Jombang Jawa Timur itu.
“Benar kan mati sangit, kan tubuhnya terbakar api?”.
“Mereka bukan mati sangit, tapi mati syahid.”
“Lho kok?” Siti terperanjat.

Joko kemudian menjelaskan kepada istrinya yang hanya belajar sampai kelas enam Sekolah Dasar itu. Joko mengutip sabda Nabi yang pernah diceritakan kembali oleh ahli hadis dari Mesir Ibnu Hajar al-Asqalani (1372-1449 M) dalam Isti`dâd liyaum al-ma`âd (persiapan menjelang hari kiamat).

“Orang yang mati syahid—selain yang mati di medan perang di jalan Allah—itu ada tujuh. 1) orang yang mati karena sakit perut, 2) orang yang mati karena tenggelam, 3) orang yang mati karena menyandang penyakit busuk, 4) orang yang mati karena terserang penyakit lepra, 5) orang yang mati terbakar, 6) orang yang mati di bawah reruntuhan, dan 7) wanita yang mati saat melahirkan.”

Mendengar keterangan tersebut, Siti tersentuh dan terenyuh oleh kepandaian sang pangeran hati itu. Ia lalu memeluk dan ciuman kasih sayang pun mendarat di jidat Joko, “Clup...!” [aum]

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes