Tipe-tipe masjid sangat beragam, tergantung lokasi dan pengelolaan. Sayang, kualitas khatib dan keuangan masih saja menjadi batu sandungan.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Angka tujuh ratus ribu tidaklah sedikit. Itu adalah data jumlah masjid di Indonesia tahun 2002. Bagaimana mengelola masjid sebanyak itu? Ragamnya apa saja? Anggarannya dari mana? Punya kelemahan apa tidak?
Untuk mendapatkan data awal seputar itu Syir’ah harus mondar-mandir ke Departemen Agama (Depag). Mulanya Syir’ah ke bagian humas untuk melapor sebelum meluncur ke ruang kepala subdirektorat (kasubdit) kemasjidan di lantai enam. Beberapa deret komputer menyala tanpa pengguna. Hanya ada dua orang di ruangan sore itu. Satu sedang menulis, satu lagi membaca koran. “Besok pagi saja Mas, orang kasubdit kemasjidan sudah mau pulang,” kata salah seorang bagian humas di lantai dasar itu.
Hari itu Syir’ah belum berhasil. Keesokan harinya, Syir’ah lebih beruntung. Kasubdit Kemasjidan Hiemyar Jam’an bisa ditemui, namun sayang ia tak mau diwawancarai langsung waktu itu. “Tulis saja pertanyaan-pertanyaan terus kasihkan ke saya,” pinta Hiemyar.
Meski begitu, Syir’ah akhirnya berhasil memperoleh data wawancara dengan Mudzakir, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, dan sebuah buku pemberian Hiemyar berjudul Kriteria Tipologi Masjid (2004) karya Ahamad Buwaethy.
Kepada Mudzakir Syir’ah mula-mula bertanya bagaimana pengelompokan masjid-masjid itu? “Ratusan ribu masjid itu, jika dikelompokkan berdasarkan wilayah, maka hanya mengerucut menjadi enam tipe masjid,” ujar Mudzakir mengawali paparan. Pertama, masjid negara: masjid di tingkat pemerintahan pusat dan dibiayai sepenuhnya oleh negara. Masjid jenis ini hanya ada satu, masjid Istiqlal.
Kedua masjid nasional: masjid di tingkat provinsi yang diajukan gubernur kepada Menteri Agama untuk dibuatkan surat keputusan menjadi sebutan masjid nasional. Ketiga, masjid raya: juga di tingkat provinsi tapi surat keputusannya diajukan melalui kantor wilayah Depag setempat kepada Gubernur.
Keempat, masjid agung: masjid yang berada di tingkat kabupaten atau kota. Kelima, masjid besar: masjid yang berlokasi di tingkat kecamatan. Dan terakhir: masjid jami, masjid yang berpusat di tingkat desa atau kelurahan.
Tipologi itu, menurut Mudzakir, sesuai dengan keputusan Menteri Agama nomor 391 tahun 2001. Selaku ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmidzi Taher memberi penjelasan tipologi ala DMI. DMI adalah organisasi keagamaan yang bergerak khusus untuk menangani masjid. Berdiri sekitar tahun 1970-an. Kini DMI mempunyai cabang di seluruh provinsi dan kabupaten.
Jika berdasarkan pengelolaannya, masjid itu ada tiga tipe. Pertama, masjid pemerintah, masjid yang dikelola dan pengurusnya ditunjuk oleh pemeritah. Pembiayaan masjid ini semua ditanggung pemerintah, baik dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Misalnya masjid Jakarta Islamic Centre. Masjid yang terletak di kawasan Tanjung Priok Jakarta Timur ini didirikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dan pembiayaannya ditanggung seratus persen oleh Pemda.
Kedua, masjid swasta, masjid yang didirikan dan dikelola oleh lembaga swasta, seperti masjid di gedung-gedung perkantoran dan di kampus. Pendanaan masjid ini biasanya dibebankan secara penuh kepada lembaga yang mendirikan. Misal tipe ini adalah masjid Bimantara di Kebon Siri Jakarta Pusat. Masjid ini didirikan oleh Yayasan Bimantara, lalu dikelola oleh Usaha Gedung Bimantara. Pendanaannya digantungkan pada Yayasan Bimantara dan para dermawan.
Ketiga, masjid masyarakat umum, masjid yang didirikan atas inisiatif warga, tidak ada pemilik tunggal. Pengurus masjid ditetapkan berdasarkan musyawarah antarwarga. Semua pembiayaan bersumber dari swadaya masyarakat. Masjid Raya Villa Inti Persada adalah tamsil tipe ini. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap masjid yang terletak di kawasan Tangerang Banten ini sangat besar. Lebih dari 90 persen masjid ini dibiayai hasil iuran masyarakat
Lalu, bagaimana cara membina masjid yang begitu beraneka ragam? Secara umum, Depag memiliki wewenang untuk membina masjid-masjid itu. Pembinaan ini meliputi: motivasi, bimbingan, dan regulasi. “Motivasi” dalam soal ini bisa berbentuk pemberian dana bantuan, dana rehabilitasi dan pembangunan, bisa juga berbentuk non-materi, seperti pelatihan-pelatihan.
Kalau “bimbingan” lebih pada pengembangan kapasitas sumber daya pengelola masjid. Misalnya dengan menerbitkan buku-buku panduan, atau workshop, pelatihan, dan orientasi. Sedangkan “regulasi” memberikan rambu-rambu yang terkait dengan masjid. Misalnya penggunaan pengeras suara, bagaimana jika berdampingan dengan rumah ibadah agama lain, dan lain-lain.
“Pembinaan ini berguna untuk pengelolaan dan pengembangan masjid agar sesuai dengan fungsi yang diemban,” kata Mudzakir. Untuk itu, ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan masjid.
1) Aspek idarah (pembenahan perkantoran), meliputi pembinaan organisasi, kelembagaan, personalia, administrasim, dan lain-lain. 2) Aspek imarah (memakmurkan masjid), meliputi pembinaan peribadatan, majlis taklim, kursus-kursus, dan keterampilan. 3) Aspek ri`ayah (pemenuhan fasilitas), meliputi pembangunan perpustakaan, kelengkapan masjid, dan sarana pra sarana yang lain.
Depag dalam menjalankan tugas-tugas itu membentuk Badan Kesejahteraan Masjid, disingkat BKM. BKM ini tersebar dari pusat sampai ke desa-desa. Tujuan inti BKM adalah mengeimplementasikan idarah, imarah, dan ri’ayah di lapangan. Misalnya, menyalurkan bantuan baik fisik maupun non-fisik, membantu peningkatan perpustakaan, balai kesehatan, dan seterusnya.
Kepengurusan BKM terdiri dari beberapa unsur, antara lain: pegawai Depag di daerah, Majelis Ulama Indonesia dan DMI.
DMI memiliki beberapa fungsi, antara lain mengelola uang bantuan. Maksudnya adalah memenej penyaluran bantuan uang agar tepat guna, sesuai sasaran, dan tidak terjadi penyelewengan. “Kalau tidak diatur akan jadi fitnah,” kata Tarmidzi. Selain itu, DMI juga memberikan pengayaan tentang materi khutbah kepada khatib-khatib.
Program ini untuk meningkatkan kemampuan khatib. Tarmidzi bercerita kepada Syir’ah soal kegerahannya saat mendengar khutbah khotib yang tidak berkualitas. Khatib seperti ini biasanya terlalu menyederhanakan masalah dan tidak mampu mencari solusi problem yang dihadapi umat.
Satu contoh, masalah kemiskinan hanya dipecahkan dengan cara kembali ke sistem zaman Nabi. Kalau ada khatib yang gemar bernostalgia dalam menyelesaikan masalah, Tarmidzi suka bergumam, “Memang yang hadir di sini tukang becak semua kali ya….”
Bagi Ahmad Yani, penulis buku Manajemen Masjid (1999), kasus ini adalah salah satu kendala yang menjadi kelemahan masjid. Selain itu, “Pengurus yang tertutup dan berpihak pada satu golongan tertentu juga bagian dari kelemahan masjid,” tulis Yani. Jika ditemukan kasus ini, Tarmidzi menyarankan agar ditegur dengan halus, “Janganlah begitu… masjid ini milik semua masyarakat, milik umat,” Tarmidzi mencontohkan cara menegur yang sopan.
Tapi, kelemahan masjid yang paling fundamental adalah soal pendanaan. Mengapa? “Karena umat Islam itu miskin-miskin.” terang Tarmidzi. []
Syir`ah, Edisi 59, November 2006.