Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Tiga bulan paska Indonesia merdeka, umat Islam dari beragam unsur berduyun-duyun ke Yogyakarta untuk mengikuti hajatan akbar, Kongres Umat Islam Indonesia. Ini merupakan hajatan umat Islam terbesar setelah Indonesia merdeka. Waktu itu, kongres digelar selama dua hari, mulai tanggal 7 hingga 8 November. Salah satu poin keputusan penting adalah medirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi.
Yang turut berserikat adalah delapan organisasi umat Islam: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Jam’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Maklum saja jika waktu itu, Masyumi bak payung besar, tempat berteduh umat Islam se-Indonesia.
Dalam Anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, organisasi induk umat Islam ini didirikan dengan dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Ihwal konsep kenegaraan, Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Karena itu, Masyumi menolak dengan tegas sekularisme, memisahkan antara negara dan agama. Masyumi meyakini, agama adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan dari negara.
Tahun 1952, karena perbedaan sikap dan pandangan, NU menyatakan keluar dari Masyumi, dan menjadi partai politik tersendiri. Meski ditinggal NU, Masyumi tetap menjadi partai Islam terbesar. Buktinya? Saat pemilu 1955, Masyumi masuk pada jajaran teratas di antara partai-partai yang ada. Di parlemen, Masyumi mendapat jatah 58 kursi, sama besarnya dengan Partai Nasional Indonesia (pemenang pemilu). Sementara NU mendapat 47 kursi dan Partai Komunis Indonesia mendapat 39 kursi.
Masyumi dari dulu dikenal piawai berpolitik. Kader-kadernya menjabat di posisi strategis pemerintahan. Di antaranya Muhammad Natsir yang sempat menjadi Perdana Menteri, tahun 1950-1951. Mohammad Roem pernah duduk sebagai Menteri Dalam Negeri pada masa Kabinet Wilopo, tahun 1952-1953. Dan, Syafrudin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama tahun 1950.
Sayang, Masyumi tak langgeng meneruskan kiprahnya di kancah politik tanah air. Tahun 1960 pemerintah Soekarno membubarkan Masyumi, karena disinyalir mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Syafruddin dan Natsir dinyatakan ikut berperan dalam Dewan Perjuangan PRRI.
Hukuman dari Soekarno itu diteruskan oleh Soeharto. Setelah keluar penjara, Natsir mentransformasikan Masyumi menjadi gerakan sosial keagamaan dengan mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia pada tahun 1967. [aum/berbagai sumber]
Syir`ah, Edisi 59, November 2006.