Sunday, November 26, 2006

Menggawangi Masjid, Mendengar Aspirasi

Masjid harus difungsikan sebagaimana mestinya. Masukan dari masyarakat menjadi pertimbangan penting bagi pengurus masjid.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Gundah gulana menyelimuti warga Tanjung Priok Jakarta Timur. Pasalnya Kramat Tunggak, salah satu perkampungan di sana menjadi pusat operasi Wanita Tuna Susila (WTS). Sejak tahun 1990, mereka bersama ulama mendesak pemerintah agar menutup tempat lokalisasi wanita tuna susila itu. Untung Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tanggap. Ia pun mengabulkan tuntutan warga.

Melalui SK Gubernur DKI nomor 496 tahun 1998, secara resmi Panti Sosial Karya Wanita Teratai Harapan Kramat Tunggak dinyatakan ditutup. Lalu, lahan seluas 10,9 hektar itu dimanfaatkan untuk pembangunan masjid. Tepatnya pada bulan Maret tahun 2003 masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) diresmikan.

Masjid ini tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tapi sebagai pusat kegiatan keislaman, yang melayani hajat hidup umat Islam. “Pak Gubernur berharap, JIC menjadi simpul pusat peradaban Islam di Asia Tenggara bahkan dunia,” kata Koordinator Humas Rudi Syamsudin berapi-api. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini memiliki empat fungsi: pendidikan dan pelatihan, sosial budaya, informasi dan komunikasi, dan pengembangan bisnis.

“Idealnya fungsi masjid memang harus begitu, jadi tidak melulu sebagai tempat ibadah,” tegas Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmidzi Taher kepada Syir’ah. Ia menggambarkan, fungsi masjid itu mencakup tiga wilayah garapan: agama, politik, dan ekonomi.

Jika diprosentasikan, fungsi agama ini dibagi menjadi empat porsi: keimanan, ibadah, sejarah para pejuang Islam, dan masalah yang dihadapi umat Islam beserta solusinya. Selain agama, fungsi politik juga penting, mengapa? Umat Islam harus melek politik, biar tidak selalu dibohongi. Bahkan, di zaman Nabi, masjid dijadikan sarna untuk mengatur strategi perang. Ini bagian dari agenda politik.

Sedangkan fungsi ekonomi, lebih bermanfaat untuk mengembangkan masjid dan membangun perekonomian umat. Nabi pernah bersabda, Kefakiran itu sangat dekat dengan kukufuran. “Karena itu, pengembangan ekonomi juga tak kalah penting,” tegas Tarmidzi.

Hamami Zada, koordinator kajian dan penelitian Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama justru menghawatirkan fungsi politik dalam masjid. Menurut pemantauannya, fungsi politik ini sudah kebablasan. Ia menemukan beberapa indikasi yang mengarah pada pendidikan politik tidak fair yang didalangi pengurus masjid.

Saat di temui Syir’ah usai shalat tarawih di Masjid Raya Villa Inti Persada, Pamulang Tangerang, Hamami mengatakan, pendidikan politik di beberpa masjid sekarang ini sudah masuk ke wilayah pendidikan ideologi atau penggiringan ke partai politik tertentu. “Ini tidak fair,” kata dosen Universitas Islam Negeri Jakarta itu.

Gelagat ini ternyata diamini oleh masyarakat. Salah satunya Zainul Arifin Adam, warga Sumber Rejo Paiton Probolinggo Jawa Timur. Ia juga mengendus gelagat seperti yang diutarakan Hamami. Saat dikonfirmasi Syir’ah via telpon, ia memaparkan, ini biasa terjadi di masjid-masjid yang dikuasai oleh pengurus yang cara beragamnya secara ekstrim, merasa paling benar sendiri. Bisa disebutkan contoh masjidnya? “Tak perlu saya sebut lah, ada pokoknya...,” ujarnya enteng.

Ihwal kasus ini Tarmidzi memberi tanggapan. Menurutnya, ada kesalahan dalam pengelolaan masjid. Fungsi politik itu harus dijalankan secara fair, tidak berat sebelah. Bahkan, untuk kampanye pemilihan kepala daerah pun sah-sah saja, asal semua calon-calon itu diberikan porsi yang sama. Jangan sampai calon dari kelompok tertentu saja yang diundang. “Kalau pengurus masjid tidak mengizinkan (kampanye dalam masjid secara proporsional dan berimbang) itu justru tidak sesuai dengan konsep Islam,” tegasnya dengan nada menukik.

Karena itu, pengelolaan masjid secara cermat dan profesional merupakan hal penting bagi para pengurus untuk menjalankan fungsi masjid yang sesungguhnya. Untuk menunjang itu, pengurus Masjid Bimantara biasanya menyebarkan “angket evaluasi” kepada jamaah. Ini dilakukan untuk mengetahui masukan dari jamaah dan mengukur keberhasilan program yang dicanangkan pengurus.

Pertengahan bulan lalu Syir’ah berkunjung ke masjid Bimantara yang terletak di Jalan Kebon Siri Jakarta Pusat pada pertengahan bulan Ramadhan, sore hari menjelang ta’jil (buka puasa). Di samping kanan masjid, ada ruang kecil bercat putih, pintunya terbuat dari besi. Di ruang pengurus yang berukuran 8 x 5 meter itu wawancara berlangsung. Tapi sayang, nama pengurus yang menjadi narasumber tak dapat disebut di sini, karena permintaannya pribadi. “Saya tak biasa masuk media Mas...” alasannya.

Angket evaluasi di masjid ini memang digunakan sebagai sarana komunikasi antara pengurus masjid dengan para jamaah. Banyak usulan jamaah yang masuk melalui angket ini. Bagaiamana pengurus masjid merespon?

Biasanya, angket para jamaah itu menjadi pertimbangan khusus dalam rapat-rapat pengurus. “Kalau memang menarik dan membawa manfaat ya tentu bisa kita jalankan...” katanya. Misalnya, masukan untuk pengajian rutin bidang fiqih. Mulanya, kajian ini sudah sampai pertengahan, bab munakahat (pernikahan). Tapi, ternyata jamaah masih banyak yang belum paham bab thaharah (tata cara bersuci). Mereka pun mengusulkan agar pelajaran kembali diulang. Akhirnya, bab thaharah diulang lagi.

Banyaknya pastisipasi ini juga terlihat dari jumlah jamaah. Saat rutin hari kerja jumlahnya sekitar 200 jamaah. Bahkan, ketika shalat Jumat, jamaah bisa membludak mencapai 1500 hingga 2000 orang. Kok bisa begitu? Ya, jamaah masjid ini tidak hanya karyawan gedung Bimantara, tapi banyak juga dari unsur masyarakat sekitar Kebon Sirih.

Ini juga terjadi di masjid Babur Rusydi, masjid Universitas Islam Jakarta. Meski notabene masjid kampus, masjid yang terletak di bilangan Utan Kayu Jakarta Timur ini juga diramaikan warga sekitar. Misalnya, saat shalat tarawih. Selain mahasiswa, masjid juga dipenuhi oleh warga. Mereka juga tak jarang memberikan masukan jika ada sesuatu yang dirasa kurang pas.

Tepatnya bulan Ramadhan tahun 2002. Usai shalat tarawih salah satu warga ada yang bilang, “Imam shalat tarawih kalau baca al-Qur’an kurang fasih,” katanya seperti dikisahkan Saefuddin Mubarok, wakil rektor bidang kemahasiswaan kepada Syir’ah. Mendengar omongan bernada protes itu, pengurus masjid membikin jadwal giliran imam tarawih yang diisi mahasiswa Fakultas Agama. “Kalau mahasiswa fakultas agama kan terjamin...,” kata bapak dari tiga orang anak ini. Berdasar kejadian itu, kebijakan ini tetap berlaku hingga kini.

Warga juga sering protes soal kenyamanan masjid. Misalnya, sound sistem yang tidak nyaring atau karpet yang sudah kumal. Sedang partisipasi mahasiswa itu lebih pada kegiatan meramaikan masjid. Misalnya, membuat acara kawin masal, sunatan masal atau peringatan hari-hari besar Islam.

Masjid Jakarta Islamic Centre agaknya berbeda dengan yang lain. Pengurus masjid JIC tak menunggu masukan masyarakat. Pengurus malah mengajak masyarakat berdiskusi untuk kemajuan bersama. Masyarakat yang istiqamah berjamaah selalu dipantau pengurus. Sesekali dia diajak untuk menyusun program. “Kita selalu butuh masukan dari mereka,” kata Rudi. Selain itu, pengurus juga menghimpun Taman Pendidikan al-Qur’an yang ada di daerah sekitarnya untuk bersama-sama memanfaatkan gedung JIC.

Mengapa JIC lebih pro-aktif ke masyarakat? “Masyarakat atau jamaah itu kan biasanya komentar di belakang. Daripada ngomong di belakang kan mending di depan pengurus,” ujarnya dengan logat Betawi yang kental. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes