Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Konvoi truk bergerak memadati jalanan di Halmahera, Maluku Utara. Iring-iringan kendaraan yang mengangkut ribuan massa itu mengelilingi desa demi desa. Tak ada reaksi apa-apa saat mereka melewati desa yang dihuni mayoritas kristiani, atau yang biasa dinamakan “desa kristen”. Paling, hanya suara yel-yel yang terdengar nyaring.
Tapi, begitu melewati “desa muslim”, massa turun dari truk. Dan sekelompok kawanan tiba-tiba menyiram rumah penduduk dengan bensin lalu membakarnya. Suasana seketika berubah menjadi kacau, riuh, dan gaduh. Penduduk pun berhamburan keluar rumah. Sejak itu, yang bertepatan tanggal 28 Desember 1999, tragedi pembantaian manusia atas manusia di Halmahera meletus.
Penduduk muslim yang terjepit mencari perlindungan di masjid. Tanpa ampun, massa yang sedang kalap itu lalu menyiram masjid dengan bensin dan membakar hidup-hidup penduduk yang menyelinap di dalamnya. Akibatnya, tak kurang 800 pria dewasa muslim tewas di tiga desa di kecamatan Tobelo, Halmahera Utara.
Aksi massa ini disinyalir beberapa kalangan berasal dari kelompok yang beberapa hari sebelum penyerbuan melakukan perayaan Natal di Tobelo, tanggal 25 Desember. Halmahera adalah pulau terbesar di kepulauan Maluku. Prosentase pemeluk agama penduduk pulau yang terletak di provinsi Maluku Utara ini sekitar 80 persen beragama Islam, dan sisanya beragama Kristen.
Jika ditilik, praktik homo homini lupus, pembantaian manusia atas manusia, bukanlah kali pertama di pulau yang memiliki tanah seluas 17.780 kilometer persegi itu. Tragedi ini adalah runtutan aksi kekejaman kemanusiaan yang sebelumnya terjadi. Bisa dikatakan, ini adalah aksi balas dendam.
Tanggal 3 sampai 4 November 1999 tercatat, warga minoritas Kristen di Tidore kabupaten Halmahera Tengah dibantai oleh pasukan jihad. Tak kurang dari 240 rumah penduduk kristiani dirusak dan dibakar. Tak lupa, gereja-gereja di wilayah itu juga dibumi-hanguskan pasukan yang terdiri dari umat Islam itu.
Kerusuhan Tidore belum reda, kejadian serupa menimpa warga Kristen kecamatan Payahe Kabupaten Halmahera Tengah. Dari tanggal 7 sampai 11 Nopember 1999 tercatat, 300 orang meninggal dunia, serta gereja dan sekolah Kristen diobrak-abrik oleh pasukan Jihad.
Apa pasal kok jadi runyam begini? Tak ada alasan jelas hingga kini, masih sebatas telaah dan dugaan. Pada permukaan, memang ada kesan perang antaragama. Sejatinya, konflik di Halmahera tidak bisa dipandang parsial, tapi terkait erat dengan perseteruan di kepulauan Maluku secara lebih luas, terutama karena persoalan politik dan ekonomi.
Dan anehnya, menurut keterangan beberapa saksi, aksi-aksi kekerasan dan pembantaian di Halmahera itu terjadi sepengetahuan aparat keamanan. Tapi, aparat tinggal diam. [AUM/BERBAGAI SUMBER]
Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.