Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Belum genap seminggu ditinggal bulan Ramadhan, warga kampung Bobojong desa Petir kecamatan Darmaga kabupaten Bogor menjadi kalap. Di hari yang masih fitri itu tanah Bobojong dilumuri darah Muhammad Alih Sobari, tanggal 26 Oktober. Usai menjalankan shalat Isya di masjid Uswatun Hasanah, tak jauh dari rumahnya, Alih tiba-tiba dihadiahi bogem, pukulan, dan tendangan oleh massa hingga ajal menjemput.
Apa pasal? Alih dituduh menyebarkan aliran sesat di kampung pedalaman yang jauh dari jalan raya itu. Tuduhan itu berakhir harus dibayar dengan nyawa.
Aksi main hakim sendiri ini, bukan kasus kali pertama. Sebelumnya, kejadian serupa juga menimpa, antara lain, Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Bogor, Lia Eden di Jakarta, tarekat Siratal Mustaqim di Nusa Tenggara Barat. Tindakan massa yang brutal itu acap berdalih memberantas pemikiran atau aliran sesat.
Atas kejadian yang menimpa Alih, pembina Yayasan Kharisma Usada Mustika (Yaskum) M. Hasiri Muttaqien yang hadir saat Talkshow Islam Indonesia menyayangkan. Ia kecewa dengan tuduhan-tuduhan sepihak yang tidak beralasan itu. Mestinya, jika Alih dinyatakan sesat, paling tidak ada konfirmasi ke level pusat. "Kami tak tahu apa-apa, tiba-tiba saja dengar kabar Alih telah meninggal," sesalnya. Alih adalah salah seorang anggota Yaskum ranting Bobojong.
Abdul Muqsith Ghazali, konsultan rubrik fikih majalah Syir`ah, berpendapat bahwa devinisi "sesat" sebenarnya sering kali terjadi bias, antara tafsir mayoritas dengan kelompok minoritas. Kasus di Bogor itu lebih menggambarkan dominasi mayoritas terhadap kaum minoritas. Artinya, belum tentu ajaran yang diajarkan oleh Alih itu sesat. Itu hanyalah persepsi mayoritas.
Kalau begitu, siapa yang punya otoritas untuk mengatakan sesat atau tidak sesat? "Sepeninggalan Nabi Muhammad tidak ada lagi orang yang punya otoritas untuk menyatakan sesat atau tidak," tegas Muqsith. Terlebih dalam kasus Bobojong ini, tidak ada hal-hal yang dilanggar menyangkut prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Muqsith bahkan menduga, ini bukan murni persoalan agama, bisa jadi dipicu oleh persoalan sosial, ekonomi, atau politik.
Agar tak terulang lagi, tambah Muqsith, untuk menyelesaikan kasus semacam ini harus ditempuh dengan jalur hukum, dan jangan sekali-kali main hakim sendiri. Usul ini pun diamini Hasiri. [AUM]
Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.