Tuesday, December 26, 2006

Penganjur Shalat di Atas Tanah Minta Dialog

Pendapat Mahrous Ali yang melaksanakan shalat di atas tanah banyak bertentangan dengan masyarakat umum dan guru-gurunya. Meski begitu, ia tetap membuka lebar pintu dialog.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Di sebuah rumah kecil di tepi sawah desa Tambak Sumur kecamatan Waru kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, Mahrous Ali (51 tahun) tinggal bersama keluarganya. Sejak tahun 2003, Mahrous mengubah salah satu kamarnya yang berukuran 4X5 meter menjadi masjid. Ubin yang terpasang rapi, satu persatu dicongkeli hingga terlihat tanah di bawahnya.

Melihat kelakuan aneh itu, Hasyim Hambali (48 tahun), mertua Mahrous, yang rumahnya berdempetan heran, apalagi rumah itu pemberiannya. Ia menegur, “Rumah bagus-bagus kok malah diteteli (dicongkeli) ubinnya?” Mahrous menjawab, “Ruangan ini akan digunakan shalat di atas tanah.” Hasyim sontak kaget.

Rumah Hasyim dan Mahrous adalah satu rangkaian. Ukurannya kurang lebih 7,5 X 32 meter. Rumah agak besar itu lalu dibagi menjadi tiga. Tiga perempat untuk kediaman kiai Hasyim dan sisanya dibagi dua. Ruang tengah untuk keponakannya, dan ruang paling belakang untuk putrinya bernama Faizah, yang kini disunting Mahrous.

Hubungan menantu dan mertua itu mulanya berjalan mesra. Kalau ada undangan ceramah atau pengajian, Hasyim yang juga pemangku pesantren Al-Syafi’iyah sering melimpahkan ke Mahrous. Tapi, lama-kelamaan banyak pendengar yang komplain ke Hasyim, banyak isi ceramah Mahrous yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat umum. “Orang-orang bilang omongan Pak Mahrus banyak yang nyeleneh,” kata Hasyim.

Gelagat kenyelenehan Mahrous dirasakan Hasyim sejak tahun 2003, yang puncaknya pada pencongkelan ubin rumahnya dan mewajibkan shalat di atas tanah, tak boleh pakai keramik, karpet, atau sajadah. Pada tahun itu pula, Mahrous mendirikan Jamaah Darul Qur’an, yang hingga kini jamaahnya tak kurang dari 40 orang.

Pendapat Mahrous ihwal shalat di atas tanah bukan tanpa dasar. Sebelum mengeluarkan fatwa itu, ia meneliti tata cara shalat Rasul dalam kitab-kitab hadis. Ternyata, “Tempat sujud Rasulullah dan para sahabat adalah langsung ke tanah,” tegas Mahrous.

Misalnya hadis yang diriwayatkan Imam Muslim (wafat tahun 261 H) dalam bukunya Shahih Muslim, kutip Mahrous. Suatu ketika, mendung menyelimuti masjid lalu hujan tak tertahan membasahi masjid. Saking derasnya, air mengalir deras dari atap masjid, yang waktu itu atapnya masih terbuat dari pelepah kurma. Akibatnya, masjid menjadi becek dan berlumpur.

Kemudian, Rasulullah dan para sahabatnya datang untuk menunaikan shalat shubuh tanpa tikar dan sajadah. “Aku lihat bekas tanah lumpur berada di dahi Rasulullah,” kata Abu Sa’id al-Khudri, salah seorang sahabat.

Lebih dari itu menurut pengakuan Mahrous kepada Syir’ah, dalil utama yang digunakan dasar mengambil keputusan hukum adalah hadis yang berbunyi, “waju’ilat li al-ardh masjidan wa thahûrâ, fa ayyumâ rajulin min ummatî adrokathu al-sholâh fal-yusholli,” bumi ini dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci, siapa pun yang menjumpai waktu shalat maka shalatlah.

Hujjah ini dibantah Hasyim Hambali, gurunya. “Mahrous salah menempatkan dalil,” sergahnya. Hadis yang dikutip Mahrous itu berasal dari kitab Shahih Bukhari (kompilasi hadis shahih versi Imam Bukhari) nomor hadis 335. Keterangan hadis ini telah dijelaskan secara gamblang Ibnu Hajar (ahli hadis lahir 773 Hijriah) dalam Fath al-Bârî (Membuka Tabir Sang Pencipta), juz satu halaman 582, yang menjadi penjelas Shahih Bukhari.

Hadis tersebut menjelaskan ihwal diperbolehkannya tayammum, bersuci dengan debu, sebagai pengganti wudu dengan air. Karena itu, tak bisa dijadikan dalil kewajiban shalat di atas tanah.

Konteks hadis, kutip Hasyim, berkisah tentang keistimewaan umat Nabi Muhammad, dibanding umat terdahulu. Ketika telah datang waktu shalat, tapi tidak ditemukan tempat permanen, dan tidak menemukan air, maka diperbolehkan bersuci dengan debu, lalu shalat di atas tanah.

Anjuran shalat di atas tanah bukan satu-satunya ajaran Mahrous yang berbeda dengan warga setempat. “Mahrous memang unik,” kata salah seorang warga desa Tambaksumur yang tak mau disebut namanya. Dulu, kalau shalat ia selalu mengikatkan sorban di kepalanya. Kurang lebih setahun ini, Mahrous berubah pikiran. Ia melarang anggota jamaahnya shalat memakai sorban. Apa pasal?

Bapak dari 11 anak ini menjawab enteng, “Karena saya baru menemukan hadisnya, dulu belum ketemu.” Rasulullah dan para sahabatnya tak pernah pakai sorban saat shalat. Ia juga mengutip pendapat salah seorang Imam mahdzab empat, Imam Syafi’i. “Saat engkau shalat biarkan rambutmu turun ke tanah untuk ikut sujud kepada Allah,” kata Syafi’i seperti disitir Mahrous. Karena itu, kalau rambut diikat dengan kopiah atau sorban itu justru menyalahi tuntunan.

Dan tak perlu kaget, jika hendak berkunjung ke rumah Mahrous, jangan sekali-kali membawa bungkusan nasi dengan lauk tahu, tempe, atau telur. Sebab Mahrous mengharamkan makanan itu.

Tahu dan tempe, menurut pria kelahiran Telogojero Kebomas Gresik Jawa Timur ini, berasal dari cuka, melalui proses peragian. Sementara cuka terbuat dari hamr (arak), dan hamr adalah najis. Karena itu, tahu dan tempe juga najis dan haram dimakan.

Kalau telur, apa juga najis? “Oh, tidak,” tegasnya. Telor haram dimakan karena hakikat telur adalah janin. Sedang janin adalah cikal bakal binatang. Dalam hal ini, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk memelihara makhluk hidup, untuk keseimbangan ekosistem. Jadi, telor juga haram dimakan. Selain alasan itu, Mahrous juga pernah meneliti kitab-kitab hadis terkait soal ini. Ia berkesimpulan, selama hidup Rasulullah dan para sahabat tidak pernah makan telur.

Syir’ah lalu bertanya, kenapa pendapat Pak Mahrous dinilai orang banyak nyeleneh? “Terserah orang mau bilang apa, yang penting saya hanya meniru perilaku Rasul apa adanya seperti dalam hadis-hadis,” jawabnya.

Pemikiran Mahrous ini lama-kelamaan tidak hanya diketahui warga Tambaksumur, tapi sudah menyebar ke penjuru Nusantara. Media massa lokal dan nasional memberitakan pemikiran pria yang sejak kecil tinggal di lingkungan keluarga Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Kontroversi itu lalu membahana. Hingga puncaknya pada bulan September lalu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Ali Maschan Moesa mengeluarkan pernyataan, “Keyakinan itu tidak benar. Jadi harus segera diluruskan,” tandasnya.

Menurutnya, 90 persen warga Tambaksumur adalah orang NU. Karenanya, ia harus turun tangan. “Saya khawatir, kalau masyarakat terpancing lalu melakukan aksi anarkis,” katanya.

Sementara itu warga Tambaksumur sendiri sebenarnya tidak ambil pusing dengan perilaku Mahrous dan jamaahnya. Bahkan ada yang beranggapan, wujûduhu ka adamihi, keberadaan Mahrous itu tidak berarti apa-apa bagi warga.

Di mata warga Tambaksumur Ahmad Shohifan, aktifitas Jamaah Darul Qur’an sama sekali tidak mempengaruhi warga Tambaksumur. Justru jamaahnya berasal dari luar desa. “Kalau pun ada itu cuma satu orang, tetangganya sendiri,” kata warga RT. 2, RW 1, Tambaksumur itu.

Saat investigasi, Syir’ah tak cukup sekali ke rumah Mahrous. Pasalnya, pria yang hanya mengenyam pendidikan agama ini menyimpan banyak tanda tanya. Terutama soal latar belakang pemikirannya yang kontroversi itu. Menurut pengakuan Mahrous, pemikiran-pemikirannya itu murni dari ijtihad dia sendiri. Bahkan, “Pemikiran saya ini berbeda dengan guru-guru saya,” kisahnya.

Salah satu guru pria kelahiran tanggal 28 Desember 1957 itu adalah Abdullah Faqih, kiai khos yang berasal dari pesantren Langitan Tuban, Jawa Timur. Sejak usia remaja Mahrous nyantri dengan kyai Faqih.

Mahrous dikenal sebagai santri yang cerdas. Selang dua tahun, Mahrous pergi ke Makkah untuk mempelajari al-Quran dan hadis. Ia ikut ngaji di majlis taklim sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, ulama kenamaan di Makkah, yang wafat pada tanggal 29 Oktober 2004. Guru utamanya adalah syaikh Muhammad Yasin bin Isa bin Udiq al-Fadani, wafat di Makkah tahun 1989 M. Ulama asal Padang, Sumatra Barat ini dikenal sebagai ulama yang dirujuk seluruh dunia, terutama mengenai sanad-sanad (silsilah dari guru hingga sahabat atau Rasulullah) pelbagai ilmu.

Saat belajar pada syaikh Yasin ini, Mahrous memperoleh ijazah sanad untuk ribuan kitab-kitab hadis dan fiqih. Berdasar atas kemampuan dan pengalamannya berguru pada ulama-ulama besar inilah ia berani untuk mengeluarkan pendapat sendiri, meski harus bertentangan dengan gurunya.

Tapi, “Kalau kiai Faqih memanggil, saya siap datang ke Langitan untuk berdialog,” katanya. Bahkan, ia mengungkapkan keinginannya untuk dialog secara fair dan terbuka dengan Majelis Ulama Indonesia, tokoh-tokoh syuri’ah NU, atau majelis tarjih Muhammadiyah.

Sebelum Syir’ah pamitan, Mahrous berpesan, “Bila ada temen-teman dari NU atau kalangan mana pun yang menemukan hadis bahwa sahabat shalat di atas tikar, saya akan lihat hadisnya, dan saya akan ucapkan terima kasih, karena membantu saya menemukan hadis yang sampai sekarang belum saya jumpai.” []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes