Tuesday, December 26, 2006

Upaya Mengikis Diskriminasi

Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang esensinya untuk menghapus diskriminasi, ternyata masih ditemukan beberapa celah.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang dijadikan landasan konstitusi bangsa ini, dengan jelas memberikan jaminan hak asasi kepada warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Namun, spirit kebebesan ini sering tumpang tindih dengan peraturan-peraturan di bawahnya. Akibatnya, jaminan yang termaktub dalam pasal 28E ayat 1 dan 2 UUD itu bak janji tanpa bukti.

Tilik saja surat edaran Mendagri nomor 477/74054 Tanggal 18 Nopember 1978. Surat itu hanya mengakui Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu sebagai agama. Baru pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, presiden RI keempat, surat edaran Mendagri itu dicabut dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Bagaimana nasib warga negara yang agamanya selain enam agama itu? Haknya pasti teramputasi.

Lebih parah lagi, aturan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan instruksi Menteri Agama tahun 1978. Dua aturan itu menyiratkan, aliran kepercayaan bukan agama, tapi bagian dari budaya yang harus dibina. Karena itu, kelompok aliran kepercayaan selalu terlunta-lunta dan sering mendapat perlakuan tidak adil. Ini diakui Engkus Ruswana, salah seorang penghayat kepercayaan.

Hingga kini, kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk Engkus ditandai dengan tanda strip. Gara-gara tanda ini, Engkus sering menerima perlakuan diskriminasi di masyarakat. Engkus pernah dituduh mantan anggota Partai Komunis Indonesia, bahkan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang kurang beradab, karena tidak punya agama.

Meski terkesan sepele, tanda strip itu juga berimbas pada perkawinannya. Sejak menikah tahun 1995, Engkus tak pernah berhasil mengurus akte perkawinannya. Tanpa disadari, ini ternyata berakibat buruk kepada buah hatinya. Masyarakat kebanyakan menyebut anaknya sebagai anak haram. Untuk menghilangkan stigma itu, Engkus mengurus akte kelahiran di kelurahan. Engkus memohon agar nama kedua orang tua buah hatinya itu dicantumkan dalam akte kelahiran.

Seribu jurus sudah dikeluarkan, tapi hasilnya belum juga sesuai keinginan. Akte itu hanya tertulis, “Telah lahir ... dari seorang perempuan.” Jadi nama ibunya tidak dicantumkan. “Anak saya dianggap anak haram,” keluh Engkus saat hadir sebagai narasumber pada acara Talkshow Islam Indonesia kerjasama Syir’ah dan Metro TV.

Problem yang timbul akibat soal administrasi kependudukan ini jika dibiarkan tentu akan berlarut-larut. Karena itu, lahir Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, disingkat RUU Adminduk, untuk menghapus diskriminasi dan ketidakadilan warga negara terkait administrasi kependudukan.

Ketua Tim Perumus RUU Adminduk Sayuti Asyathri mengatakan, hakikat dari undang-undang ini adalah penghapusan segala bentuk diskriminasi. “Wilayah kerjanya meliputi dua bidang,” katanya kepada Syir’ah. Pertama, pendaftaran penduduk. Ini mencakup apapun yang terkait kependudukan, seperti perubahan alamat, perpindahan penduduk, dan pendataan penduduk, yang termasuk di dalamnya antara lain biodata, KTP, dan surat keterangan kependudukan lainnya.

Kedua, pencatatan sipil. Setiap peristiwa penting yang dialami penduduk semuanya akan tercatat. Antara lain kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, perubahan nama, hingga perubahan status kewarganegaraan, termasuk kelahiran dan kematian setiap Warga Negara Indonesia di luar negeri.

Benarkah RUU yang kini masih dibahas Komisi II DPR RI dengan Departemen Dalam Negeri serta Departemen Hukum dan HAM ini telah mencerminkan kesetaraan? Ternyata tak semulus yang diharapkan.

Pencatatan Kartu Keluarga (KK) bagi penganut kepercayaan ternyata tak tersurat dalam RUU itu. Pada pasal 68 ayat 1 RUU Adminduk disebutkan, “Kartu keluarga paling sedikit memuat keterangan nomor KK, nama lengkap kepala keluarga, alamat, nama anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan dan pekerjaan.” Aliran kepercayaan tidak disebut di situ. Idealnya, rumusan pasal 68 (1) RUU Adminduk disempurnakan dengan menambahkan kata “kepercayaan” setelah kata agama.

Ihwal pengakuan aliran kepercayaan sebagaimana agama, ternyata juga menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat. Kiai sepuh Nahdlatul Ulama asal Jember Abdul Muchid Muzadi menolak tegas rencana pemerintah untuk mensejajarkan aliran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dengan agama. Ia menilai rencana itu berpotensi menyulut masalah baru atau konflik dalam kehidupan sosial-beragama masyarakat Indonesia.

Melihat gelagat itu, peneliti The Wahid Institute Rumadi menanggapi, penolakan itu sebenarnya salah persepsi, tidak tepat sasaran. Sebab, mengakui aliran kepercayaan dalam kolom agama itu bukan berarti menyamakan posisi agama dengan aliran kepercayaan. “Tapi, hak orang-orang yang memluk agama atau aliran kepercayaan itu yang disetarakan, bukan agama atau aliran kepercayaannya,” katanya kepada Syir’ah. []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes