Tuesday, December 26, 2006

Menarik Agama dalam Konflik

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Kekerasan demi kekerasan tampak terus menerus menetes membasahi tanah air Indonesia. Kekerasan di Poso Sulawesi Tengah yang mulai mereda, kini kembali terusik. Bulan Oktober lalu, aparat Brimob bentrok dengan warga dan mengakibatkan dua warga sipil tewas. Kekerasan di Poso, selintas, tampak akibat pertikaian dua kubu, Islam dan Kristen.

Benarkah adegan kekerasan itu terjadi karena sentimen agama? Mengapa agama sangat mudah dipelintir dan dipolitisir? Awal November lalu, Syir`ah mengangkat topik ini dalam Talkshow Islam Indonesia di Metro TV.

"Agama itu sangat melekat pada manusia sehingga mudah sekali ditarik dalam konflik," kata Rohaniawan Katolik Frans Magnis-Suseno mengawali pembicaraan. Pemahaman keagamaan yang melekat pada seseorang sangat berpengaruh pada cara pandang dalam menghadapi realitas. Karena itu, agama mampu memberikan dorongan psikologis kepada seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik.

Problemnya adalah terletak pada pemahaman keagamaan yang sempit dan fanatik, yang kadung kaprah dianggap baik. Menurut Romo, pemahaman model ini mampu membentuk dorongan psikologis seseorang untuk membatasi diri dari kelompok lain dan merasa benar sendiri. Di sinilah benih-benih konflik bercokol. Maka, tak begitu sulit membangunkan segala macam prasangka dan kecurigaan yang jauh-jauh hari sudah tertanam itu. Begitu disulut, segeralah meletup.

Orang-orang seperti di atas, menurut pandangan Said Aqil Siradj, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sejatinya belum memahami betul misi agama. "Percuma saja masjid dan gereja di bangun besar-besar, menghabiskan puluan milyar, tapi tingkah laku umatnya masih jauh dari nilai-nilai agama yang sebenarnya," katanya. Kalau ada fanatisme dan kekerasan kok dilakukan orang yang beragama, berarti ia jauh dari hakikat agama.

Tak ada agama manapun yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Tak terkecuali, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi cinta dan kasih sayang. Said lalu menyitir kisah tauladan dari sebuah hadis.

Said mengisahkan ada orang Islam bertengkar dengan orang Yahudi. Lalu, orang Islam tadi berhasil membunuhnya. Mendengar kejadian itu, Nabi pun geram dan berkata, "Man qatala dzimmiyyan fa`ana khosmuhu, siapapun yang sekali lagi membunuh non-muslim maka ia akan berhadapan dengan saya," kata Nabi seperti ditirukan Said.

Pada akhir diskusi, Romo dan Said senada, agama bukan faktor utama penyebab konflik. Agama hanya ditarik ke wilayah konflik untuk memperkeruh dan mendramatisir suasana. Ada faktor utama sebenarnya yaitu politik dan ekonomi. [AUM]


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes