Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Dzul Hijjah, dalam penanggalan Hijriyah, biasa juga disebut bulan Haji. Pada bulan ini, umat Islam berbondong-bondong menuju kota suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Abdul Munir dan Istrinya tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dua sejoli yang baru dikarunia satu anak ini berniat naik haji. Sebelum melakoni niatnya itu, ia berkonsultasi dengan orang pintar di kampungnya. Ustadz Rahmat, begitu dia biasa disapa warga.
“Apa benar, katanya kamu mau naik haji?” tanya ustad Rahmat.
“Iya ustadz.”
“Syaratnya sudah dipenuhi?”
“Alhamdulillah sudah. Saya punya kelebihan harta, karena itu saya gunakan untuk menyempurnakan rukun Islam.”
“Baiklah. Saat ini, berapa jumlah tetanggamu yang masih miskin?”
“Banyak….”
“Anak-anak yang putus sekolah?”
“Juga tak kalah banyaknya.”
“Kalau begitu, jangan naik haji dulu deh!”
“Lho kok…? Munir terperanjat dan seketika kepalanya dipenuhi tanda tanya.
Ustadz jebolan lembaga pendidikan di Timur Tengah itu lalu menjelaskan dengan santun dan penuh wibawa. Ia menyitir hikayat Abdullah bin Mubarak, tokoh generasi tabi’in yang terkenal dengan kesalihan ilmunya.
Saat memimpin rombongan kafilah haji berangkat ke Mekkah, Abdullah bertemu seorang wanita di tengah perjalanan. Ia tertegun, wanita itu ternyata menyuapi anaknya dengan daging bangkai.
“Apakah kamu tidak tahu kalau bangkai itu haram dimakan?” tanya Abdullah.
“Saya mengerti,” jawab wanita itu.
“Lalu mengapa kamu makan?”
“Ini sudah terpaksa. Tidak ada makanan lain.”
Mendengar penjelasan tersebut, tokoh yang wafat tahun 181 H itu mentitahkan kepada rombongan untuk mengurungkan perjalanan dan menyerahkan perbekalan kepada wanita malang itu. “Tak wajib haji selagi ada yang melarat,” ungkap Abdullah seperti ditulis Ibnu Abi Syaibah Al-Kufi (159-235 H) dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, kompilasi Ibnu Abi Syaibah.
Melalui kisah ini, ustad Rahmat menghimbau Munir, ibadah itu tidak hanya berorientasi ketuhanan tapi juga kemanusiaan. Membantu pendidikan anak-anak yang putus sekolah dan menyantuni fakir-miskin itu juga anjuran agama yang juga mesti ditunaikan. “Masak kamu enak-enakan naik pesawat, sementara tetanggamu kelaparan,” sindir ustad Rahmat.
Munir pun manggut-manggut. Ia lalu mengurungkan niat Haji, dan memanfaatkan hartanya untuk memberi beasiswa kepada anak-anak putus sekolah, dan pembinaan keterampilan, serta santunan keluarga fakir-miskin. [AUM]
Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.