Tuesday, January 30, 2007

Pernikahan yang “Ditegur” Rasul

Ada banyak jenis pernikahan di zaman Nabi. Rasul tak jarang memperingatkan sahabat agar berhati-hati dan waspada. Bagaimana saja ragamnya?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Segerombol lelaki, tak lebih dari sepuluh orang, bermaksud menemui seorang wanita. Mereka menjumpainya di rumah sederhana. Di sebuah desa tak jauh dari jalan raya. Satu per satu lelaki itu meniduri si wanita. Sudah menjadi kebiasaan.

Usai melampiaskan syahwat, mereka berkumpul di samping wanita pujaan. “Kalian telah mengetahui urusan kalian masing-masing,” kata wanita tersebut. Ungkapan ini mengisyaratkan, suatu ketika di antara lelaki gagah itu harus ada yang bertanggung jawab.

Tak lama, paska kejadian itu, si wanita hamil lalu melahirkan. Ia memanggil salah satu lelaki yang menghamilinya tempo hari. “Ini adalah anakmu, wahai fulan. Berilah nama sesukamu,” ujarnya.

Bayi yang masih merah itu diserahkan kepada Bapaknya. Dan pria yang ditunjuk sebagai bapak tak bisa mengelak dari kenyataan. Apapun resikonya harus ditanggung. Karena aturan yang berlaku memang seperti itu.

Model hubungan seperti ini memang benar-benar terjadi, yaitu pada masa jahiliyah sebelum Islam datang. Hal ini direkam oleh Imam Bukhari (194-256 H) dalam Shahih Bukhari nomor 5127 dan Abu Daud (w. 316 H) dalam Sunan Abu Dawud nomor 2272. dalam hadis itu Nabi melarang, sebab pernikahan ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan menodai kehormatan wanita. Model ini disebut nikah al-rahth, yaitu sejumlah orang berhubungan intim dengan seorang wanita.

Pada masa awal Islam memang ada banyak jenis pernikahan. Waktu itu pernikahan masih dimaknai sebagai sekadar hubungan antara laki dan perempuan, terutama dalam seks. Untuk itulah ada beberapa model yang kemudian dilarang oleh Nabi. Selain nikah al-rahth juga ada beberapa model lain.

Pernikahan Rekayasa
Ceritanya bermula dari seorang sahabat perempuan bernama Maimunah yang ditalak tiga kali oleh suaminya, Majid. Usai mengambil keputusan itu, sang suami merasa bersalah. Istri tercintanya hidup menjanda. Mantan istrinya tersebut tak bisa dikawini lagi. Kecuali dia dinikahi orang lain, kemudian diceraikan suaminya yang kedua.

“Ya! Itulah satu-satunya jalan keluar,” kata Majid. Ia pun merancang strategi, agar dapat merujuk Maimunah. Ia menyuruh Zaid, temannya, untuk menikahi Maimunah. Zaid menerima tawaran itu. Karena sudah sah menikah, keduanya berprilaku layaknya hubungan suami istri. Tak lama setelah itu, Zaid menceraikan Maimunah. Rencana Majid berjalan sesuai rencana. Akhirnya, Majid dapat menikahi Maimunah lagi.

Pernikahan inilah yang dinamakan nikah tahlil. Maksudnya, menikahi wanita yang telah ditalak tiga, setelah berakhir masa iddahnya, lalu menceraikannya kembali untuk diberikan kepada suaminya yang pertama. “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lah,“ sabda Nabi dalam Sunan Turmudzi hadis nomor 1129.

Dalam konteks ini, Zaid berperan sebagai muhallil. Orang yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya. Lalu melakukan kongkalikong dengan mantan suaminya agar mantan istrinya itu dapat dinikahi lagi. Sedangkan muhallal lah adalah Majid. Dialah orang yang telah menjatuhakn talak tiga kepada istrinya, kemudian meminta laki-laki lain menikahinya, lalu menceraikannya kembali, agar suami pertama dapat menikahinya lagi.

Nabi mengumpamakan pelaku pernikahan ini bak binatang rusa. Suatu ketika, Rasulullah sedang berkumpul dengan para sahabat.
”Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?“ Nabi bertanya.
“Tentu saja. Wahai Rasulullah.“
“Ia adalah muhallil...“ sabda Nabi seperti diriwayatkan Ibn Majah.

Nabi tidak memperbolehkan nikah ini sebab pernikahan berlangsung secara tidak wajar dan tidak apa adanya. Tapi, di dalamnya terdapat rekayasa. Inilah poin penting penyebab nikah ini menjadi bermasalah. Kewajaran dan tanpa ada unsur paksaan dalam perkawinan, sejatinya adalah spirit utama membina keluarga yang sakinah, saling terbuka, dan penuh rahmah.


Mencari Bibit Unggul
Tidak berbeda dengan zaman sekarang, dulu orang tua juga menghendaki anaknya menjadi orang besar. Dan hal itu, dalam pandangan mereka karena faktor keturunan. Untuk itu bagi pasangan yang berasal dari kalangan biasa saja memiliki trik tersendiri untuk mencapai keinginannya itu.

Para suami meminta kepada istrinya untuk tidur bersama orang besar yang diinginkannya. “Pergilah kepada si Fulan. Lalu tidurlah bersama dia,” katanya. Setelah peristiwa itu, suaminya tak pernah berhubungan badan dengannya, hingga nampak tanda-tanda kehamilan.

Pernikahan seperti ini disebut dengan nikah istibdha’. Artinya, seorang suami menyerahkan istrinya kepada orang yang diinginkannya, agar sang istri melahirkan anak darinya. Nabi pun tidak mengizinkannya. Simak saja kisah itu dalam Shahih Bukhari bab pernikahan dan Sunan Abu Dawud bab talak.


Saling Bertukar Anak
Pernikahan ini disebut nikah syighar. Yaitu menikahkan seseorang dengan putrinya, dengan syarat orang tersebut juga menikahkah putrinya kepada orang yang menikahkannya itu. Bahasa mudahnya, saling bertukar anak gadis.

Biar mudah dimengerti, taruhlah satu misal. Hamdan punya anak namanya Latifah. Gadis itu dinikahkan dengan Zaid, teman bapaknya. Tapi dengan syarat. Zaid juga harus menikahkan anak gadisnya kepada Hamdan.

Para ulama sepakat soal pengharaman nikah ini, selain alasan ada hubungan darah (mahram), nikah ini juga berpotensi menjadi pemicu perdagangan anak. Nabi dengan jelas melarang pernikahan ini. “Lâ syighâra fî al-Islâm, tidaka ada nikah syighar dalam Islam,” sabda Rasul dalam Shahih Muslim. Al-Turmudzi juga meriwayatkan hadis seirama, Lâ jalaba wa lâ janaba wa lâ syighâra... tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, dan tidak boleh melakukan nikah syighar.


Kawin Kontrak
Berbeda dengan pernikahan yang lazim di masyarakat, pernikahan ini dibatasi tenggat. Jika waktu telah habis, perceraian otomatis terjadi. Tidak ada wali dan saksi dalam pernikahan ini. Yang ada hanya dua pasang insan yang memadu kasih dan syarat mahar yang terlah ditentukan calon istri.

Nikah ini disebut nikah mut’ah. Nabi pernah memperbolehkan. Alkisah, Abdullah bin Mas’ud dan beberapa sahabat Nabi yang lain berperang bersama Rasulullah. Tak seorang yang membawa istrinya dalam medan perang. Salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Bolehkan kami mengebiri diri sendiri?” “Jangan, menikahlah kalian dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu,” jawab Nabi seperti termaktub dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Tapi, ada yang berpandangan, nikah ini lalu diharamkan oleh Nabi. Seperti termaktub dalam riwayat al-Bukhari nomor 1406 dan Ahmad bin Hambal juz 3 halaman 404, “Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan,” sabda Nabi.

Sebagian berpendapat, nikah ini masih diperbolehkan. Zainuddin al-Malibari, pengikut mazhab Syafi’i, dalam kitab fikih Fathul Mu'în (Terbukanya Sang Penolong) menghukumi, nikah mut’ah haram, tapi pelakunya tidak sama dengan zina. Rumit kan? Karena itu, pernikahan ini tergolong kontroversial sampai sekarang. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes