Tuesday, January 30, 2007

Tidak untuk Selamanya


Dengan dalih agama, Usep meyakinkan Hesti untuk mau menikah mut’ah, tanpa wali dan saksi. Hesti pun setuju meski tanpa mengantongi restu.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Januari 2005. Gadis berusia 21 tahun itu sontak tertegun. Lelaki yang dicintai ternyata menolak diajak berpacaran. Sebut saja namanya Usep. Berbadan tegap, tingginya 160 centimeter, hidung mancung, dan warna kulit mirip orang Jawa pada umumnya. Hitam manis, kata orang-orang. Usep berpendirian, pacaran itu dilarang keras dalam agama Islam.

Begini lho Islam itu,” Usep mulai menjelaskan, “Pacaran itu dilarang, dan solusinya adalah nikah mut’ah.”
“Apa itu nikah Mut’ah?” tanya wanita itu.

Usep membeber argumentasi. Hubungan antara laki-laki dan perempuan, di luar ikatan pernikahan, itu hukumnya haram. Hubungan ini juga berpotensi menjerumuskan seseorang pada perbuatan zina, hubungan intim antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan. Agar tak terjerumus, Islam menganjurkan nikah mut`ah. Nikah mut’ah adalah nikah berjangka, pernikahan yang dibatasi waktu yang telah disepakati. “Ajaran ini dijelaskan dalam surat al-Nisa ayat 24,” tegasnya.

Ayat tersebut berbunyi, “...fa mâstamta’tum bihî min hunna fa âtû hunna ujûrahunna farîdhah...,” maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban.

Hesti, nama samaran wanita itu, terbelalak mendengar penjelasan itu. Ia baru ngeh kalau dalam agama Islam ada ajaran semacam itu. Ia belum pernah mendengar sebelumnya. Pantas saja, meski sama-sama beragama Islam, Hesti dan Usep berbeda aliran. Usep adalah warga komunitas Syi’ah Ja’fariyah yang memang memperbolehkan nikah mut`ah. Sedang Hesti, seperti kebanyakan warga Indonesia yang mengikuti mahdzab Imam Syafii, atau yang disebut Sunni, ahlussunnah wal jama`ah.

Syi’ah Ja’fariyah juga biasa disebut Imamiyah Itsna `Asyariyah, sekte dalam Syi’ah, komunitas pengikut Ali bib Abi Thalib, keponakan sekaligus menantu Nabi, yang mempercayai dua belas Imam sebagai pemimpin tertinggi. Mulai dari Ali, Hasan, Husain sampai yang terakhir Imam Mahdi al-Muntadzar. Di Indonesia, konon jumlah pengikut sekte ini berjumlah puluhan ribu.

Andai menerima tawaran laki-laki kelahiran tahun 1975 itu, Hesti juga harus siap menjadi istri keduanya. Bulan November 1996, Usep telah melepas masa lajangnya. Kini ia dikaruniai tiga anak: dua laki-laki, dan satu perempuan. Bagi Usep ini adalah hal yang wajar bagi seorang laki-laki. “Lo nggak masalah, lo mencintai gue. Wanita yang belum bersuami berhak mencintai laki-laki yang beristri dan punya anak. Tapi jangan sekali-kali, wanita yang sudah bersuami, mencintai laki-laki yang bujangan atau yang sudah beristri,” katanya.

Usai panjang lebar menjelaskan, Usep berpesan, “Kalau lo mau berbagi kasih sama gue, gue tawarin seperti ini. Kalau lo udah paham, uda siap, lo silahkan hubungin guwe. Lo juga boleh bertanya apapun saja.” Pesan ini jadi renungan mendalam bagi Hesti. Ia tak bisa langsung mengambil keputusan kala itu. Hesti butuh beberapa minggu untuk menjawabnya.

Awal mula pertemuan dua insan yang memadu kasih ini, sebenarnya, tanpa direncanakan. Ini terjadi saat Usep berkunjung ke rumah salah seorang temannya di Ciledug Jakarta Selatan. Usep dikenalkan temannya kepada Hesti. Momen itulah yang membuat pandangan pertama langsung turun ke hati. Meski awalnya Usep tak sadar, kalau Hesti menaruh hati padanya.

Februari 2005. Sore hari selepas kerja, Hesti janjian dengan Usep di kawasan Kebayoran Lama. Di sebuah rumah, yang alamat detilnya dirahasiakan, Hesti mengamini tawaran Usep, nikah mut`ah. Di tempat itu juga, akad nikah berlangsung. Tak ada orang yang terlibat, kecuali pasangan muda-mudi ini. Saksinya siapa dong? Walinya di mana?

Hey..., jangan kaget dulu, tradisi pernikahan di Syi`ah memang berbeda dengan layaknya pernikahan di Indonesia. Wali dan saksi bukan rukun dalam pernikahan ala Syi`ah. Konsep perempuan harus menggunakan wali kalau menikah, ditentang komunitas Syi’ah. Pernikahan adalah milik dirinya sendiri, tak bisa diwakilkan kepada wali. Perempuan yang sehat akalnya adalah wali terhadap dirinya sendiri, sebagaimana laki-laki. Saat ditanya, “Mengapa wali tidak wajib?” Usep menjawab dengan enteng, “Yang nikah ini siapa sih, anaknya apa bapaknya?”

Begitu pula dengan syarat saksi. Keharusan saksi dalam pernikahan tidak bersumber dari ayat al-Qur’an, melainkan tradisi atau fatwa ulama berdasarkan suatu hadis. “Keberadaan hadis itu berfungsi memperjelas kandungan al-Qur’an, bukan menetapkan ajaran baru di luar al-Qur’an,” tegasnya.

Praktik nikah mut’ah di Indonesia biasa disebut nikah kontrak. Syarat-syaratnya hanya tiga: baligh (dewasa), berakal, dan tak ada halangan. Maksud halangan di sini adalah halangan untuk melangsungkan pernikahan, seperti ada pertalian nasab, saudara satu susuan, atau masih berstatus sebagai istri orang lain.

Landasan utamanya surat al-Nisa ayat 24. Ahli tafsir dari Makkah, lahir tiga tahun sebelum Hijriyah, Abdullah bin Abbas, membaca ayat ini dengan bacaan versi lain, dengan menambahkan kalimat ilâ ajalin musammâ (sampai waktu yang ditentukan) setelah kalimat fa mâstamta’tum bihî min hunna. Kalimat tambahan inilah yang menegaskan dengan jelas, ayat ini membicakan nikah mut`ah. Ketika Ibn Abbas membaca kalimat tambahan itu, para sahabat tak ada yang menyangkal. Berarti, sahabat sepakat dengan dua versi bacaan ayat tersebut.

Pernikahan Usep dan Hesti berjalan mulus, meski dijalani diam-diam, tanpa sepengetahuan kedua orang tua Hesti. Banyak poin yang disepakati saat kontrak berlangsung. Antara lain, pernikahan hanya berjangka enam bulan, terhitung dari bulan Februari. Membayar mahar seharga satu gram emas. Usep harus selalu mengantar dan menjemput saat Hesti bekerja. Tak tinggal serumah, dan kalau jalan harus digandeng.

“Kontrak ini hanya diucapkan, tak ada yang tertulis,” papar Usep.

“Bagaimana kalau dilanggar?”

Nggak kenapa-napa,” sampai ada hubungan intim, walaupun di perjanjiannya tidak ada, itu tidak masalah, perkawinan ini kan layaknya hubungan suami istri,” jawab Usep sambil tertawa santai.

Ia memberikan tamsil. Jika dalam kontrak itu, ada satu perjanjian: boleh berhubungan, tapi tidak boleh sampai punya anak. Tapi di tengah perjalanan, eh... kok malah hamil dan punya anak. “Ya tak masalah,” katanya.

Meski begitu, Usep tak mau ingkar kontrak. Hesti tidak mengizinkan Usep berhubungan intim dengannya. Hubungan kedua insan ini layaknya pasangan yang lagi pacaran. Usep pun bisa mengerti. “Ya... paling cuma pegang-pegang... cipika-cipiki... gitu lho...,“ aku Usep. Cipika-cipiki akronim dari cium pipi kanan, cium pipi kiri.

Begitu pula dengan nafkah bulanan. Usep tak punya beban menanggung itu. Ya, lagi-lagi, karena di kesepakatan saat kontrak, tidak ada perjanjian itu. Maka dia pun tak punya kewajiban tersebut. Aktifitas yang wajib dilakoni Usep tiap hari adalah mengantarkan hesti berangkat kerja dan menjeput saat pulang.

Mei 2005. Bahtera rumah tangga pasangan yang sedang berbinar sinar bahagia ini sedikit tergoncang. Ibu Hesti mengetahui pernikahan anaknya dengan cara nikah mut’ah. Sang ayah tidak banyak komentar. Ia setuju-setuju saja dengan pilihan hidup putrinya itu. Ibu gadis itu sempat mendamprat.

Untung, Usep segera datang dan menjelaskan status hubungan, antara dirinya dan Hesti. Tak jauh berbeda dengan caranya saat meyakinkan Hesti. Ibu itu dibeberkan Usep sejumlah pemikiran dalil-dalil agama Islam seputar nikah mut’ah. Atas bantuan Hesti pula, sang Ibu akhirnya bisa memaklumi hubungan anaknya itu.

Paskakejadian itu, hubungan dua sejoli ini tambah mesra. Usep tak perlu canggung-canggung lagi untuk menghabiskan akhir pekan di rumah mertunya di kawasan Ciledug Jakarta Selatan. Begitu pula dengan Hesti. Ia malah sering diajak Usep berkunjung ke rumah istri pertamanya, Hasanova (samaran), di jalan Rasuna Said Jakarta Pusat.

Hesti bekerja pada salah satu perusahaan di daerah Blok M Jakarta Selatan. Sedang Usep bekerja di tempat yang tak menetap. Ia lebih sering bekerja di lapangan daripada di ruangan. Di sela-sela hari libur, Usep menyempatkan diri membawa kedua istrinya untuk berlibur. Blok M adalah pilihan tempat favorit. Melepas lelah sembari jalan-jalan bersama dua wanita pujaan hati merupakan karunia tersendiri bagi lelaki kelahiran Bandung ini.

Meski sama-sama istri Usep, Hesti dan Hasanova berbeda status. Hesti adalah istri hasil nikah mut’ah atau nikah kontrak, yang jangkanya hanya enam bulan. Setelah itu, statusnya sebagai istri hilang begitu saja. Berbeda dengan Hasanova. Statusnya sebagai istri tak terbatas waktu. Ia menikah dengan Usep, bulan November 1996, dengan pernikahan daim. Nikah ini adalah nikah permanen, tak terbatas waktu. Ya seperti galibnya pernikahan-pernikahan di Indonesia.

Juli 2005. Usep dan Hesti berpisah. Waktu itu limit masa kontrak telah habis. Secara otomatis, hubungan pun berakhir. Dalam tradisi Syi’ah, ketika jangka kontrak telah habis, ada tiga kemungkinan yang bisa dilakukan. Pertama, kontrak selesai, hubungan pun usai. Kedua, kontrak diperpanjang lagi. Ketiga, meneruskan ke jenjang pernikahan daim. Tiga kemungkinan itu diserahkan pada pihak wanita. Mau milih yang mana.

Pilihan ini, biasanya dijatuhkan saat tempo kontrak habis, bukan pada saat di awal kontrak. Pada waktu itulah, “Wanita harus mengambil keputusan, memilih antara selesai, diperpanjang, atau ke jenjang nikah daim,“ kata Usep.

Hesti memilih opsi pertama, kontrak selesai hubungan pun usai. Dia tidak mau memperpanjang atau melanjutkan ke nikah daim. Usep sendiri tidak tahu alasan pasti, mengapa ia memilih itu. Usep hanya teringat dengan ucapan Hesti yang terakhir, “Terima kasih atas pengetahuannya yang selama ini saya tidak tahu.” Meski telah berpisah, Usep masih sering komunikasi. Kecuali beberapa bulan terakhir ini. Usep kehilangan jejak nomor hand phone Hesti.

Ketika hendak mewawancarai Hesti, Syir’ah minta nomor kontaknya ke Usep. “Sorry gue juga kagak tahu nomornya yang sekarang. Nomor yang dulu mail box terus,” katanya.

Bagi Usep, nikah mut’ah ini tak punya kelemahan. Justru banyak enaknya. Ia mencontohkan. Saat ini, banyak remaja yang sebenarnya punya kemauan menikah yang tinggi. Tapi, terhalang faktor materi. Maka pacaran sebagai pelarian. Pacaran adalah hubungan yang tidak jelas sampai batas waktu kapan, dan perbuatannya biasanya di luar norma agama Islam. Bahkan ada yang sampai “kumpul kebo”, berhubungan intim tanpa izin menikah. Prinsipnya hanya kesenangan dan pelampiasan.

Berbeda dengan nikah mut’ah. Pergaulan bebas yang haram itu bisa menjadi halal dengan nikah mut’ah. “Daripada orang-orang jajan di jalan, kan mending mut’ah,” katanya. Dengan mut’ah, tambahnya, kehormatan wanita lebih diangkat dan dihormati.

Praktik nikah ini, ditentang Neng Dara Affiah, anggota komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Menurutnya, ini adalah salah satu bentuk praktik kekerasan terhadap perempuan. Meski dengan dalih agama untuk menghargai perempuan, pada praktiknya justru yang banyak menjadi korban adalah perempuan. Andai saja terjadi cek-cok dalam pernikahan, maka istri tidak punya kekuatan untuk menggugat di pengadilan. “Pernikahannya tak diakui, karena tidak tercatat,“ katanya.

Terlepas dari pendapat itu, Usep tetap mantap dengan pendiriannya. Tak punya niat untuk mut’ah lagi? “Kan sekarang belum ada yang mau. Kalau ada yang naruh hati lagi ama gue. Apa salahnya?“ ujarnya sambil tertawa. []

Beda Sunni dan Syi’ah dalam Pernikahan

Perbedaan

Sunni

Syi`ah

Model pernikahan

Nikah permanen

Ada dua jenis: nikah permanen (daim) dan nikah kontrak

Wali

Rukun nikah

Syarat tidak wajib

Saksi

Rukun nikah

Syarat tidak wajib

Prioritas yang harus terpenuhi

Rukun menikah: adanya laki-laki, perempuan, wali, saksi, ijab-kabul, mahar.

Syarat menikah: kedua pasangan adalah baligh, berakal, tidak terhalang, mahar.

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007.