Tuesday, January 30, 2007

Poligami = Makan Pete

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Akhir tahun kemarin isu yang menjadi buah bibir spesial mengenai hubungan antara laki dan perempuan. Pasalnya keputusan dai kondang asal Bandung untuk menikah kali kedua dengan janda cantik, hidung mancung, berkulit halus, kaya lagi... menjadi heboh. Ditambah lagi beredarnya video biru seorang penyanyi dangdut dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pusat. Klop sudah.

Kehebohan itu sampai terasa di salah satu ruangan hotel Borobudur. Di hotel yang bersebrangan jalan dengan Departemen Agama Jakarta Pusat itu, digelar halaqah ilmiah, hari Jumat malam, tanggal 8 Desember. Para tokoh politik dan intelektual tengah berkumpul di ballroom hotel.

Ada Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, salah seorang Ketua PBNU Said Aqil Siraj, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, mantan Menteri BUMN Rozi Munir, pengamat politik Fakhri Ali, mantan juru bicara Gus Dur Adi Masardi, dan masih banyak yang lain.

Mereka bercengkrama dan mendiskusikan buku anyar berjudul Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Saat sesi tanya jawab, sosok pria berambut gondrong, membawa tas pinggang, tubuhnya tidak begitu tinggi, bertanya ke Said Aqil selaku penulis buku tersebut.

“Tadi Bapak berbicara bahwa tasawuf bisa menjadi solusi kemaslahatan. Tasawuf juga lebih mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Sekarang saya bertanya, bagaimana jika poligami dipandang melalui kaca mata tasawuf?,” tanya pria yang berprofesi sebagai wartawan itu.

”Gerr...” Tawa para undangan yang memadati gedung itu pun langsung gemuruh. Said Aqil yang waktu itu bersama istrinya menjawab dengan tenang. ”Saya akan menjawabnya dengan tulus dan ikhlas dari lubuk hati,” kata Said yang langsung disambut tawa hadirin.

Kiai jebolan Umm al-Qura Makkah dengan predikat Summa Camlaude ini mengibaratkan orang yang berpoligami itu sama dengan orang yang makan pete. Pete adalah sejenis buah yang biasa dijadikan lalapan. Rasanya nikmat, dan bikin orang ketagihan. Tapi, efek yang ditimbulkan, wuh...! Bau mulut menjadi tak sedap, dan bisa tercium radius satu meter.

”Jadi, hukum poligami itu kondisional, kayak orang mau makan pete,” terang Said yang, lagi-lagi, disambut tawa hadirin. Kondisional maksudnya adalah jika saatnya tepat, maka boleh-boleh saja. Tapi, jika situasinya tidak tepat, maka hukumnya tidak boleh. “Hmm… Pak Said mah ada-ada saja,” gumam seorang wanita sembari tersenyum sipu, yang berdiri di sudut ruangan itu. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007. 

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes