Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Dua hari paska pembacaan teks proklamasi, rapat sederhana digelar untuk mendiskusikan beberapa kementerian yang akan menopang kerja pemerintah Indonesia yang baru merdeka. Waktu itu, tampak hadir antara lain Kasman Singodimejo, tokoh Muhammadiyah masa awal kemerdekaan, Sutardjo Kartohadikusumo, Wakil Ketua I Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan Latuharhary, Wakil Ketua II KNIP. Mereka adalah panitia yang menggodok pembentukan kementerian yang akan membantu kerja presiden.
KNIP adalah lembaga legislatif setingkat Dewan Perwakilan Rakyat pada awal kemerdekaan. Saat rapat, menginjak pembahasan kementerian agama, Latuharhary keberatan. “Masalahnya siapa yang akan menjadi menteri agama yang dapat diterima semua pihak?” keluhnya. Singkat cerita, akhirnya, kementerian agama ditangguhkan. Untuk sementara, urusan agama dimasukkan dalam kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Kurang lebih tiga bulan setelah rapat pembahasan, KNIP menggelar sidang pleno di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tanggal 24-28 Nopember 1945. Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta, wakilnya, serta anggota KNI Daerah (KNID) turut memadati gedung kampus yang terletak di Salemba, Jakarta Pusat itu.
Hasil rapat yang digelar sebelumnya diplenokan di sini. Ruangan menjadi riuh saat pandangan umum dari wakil-wakil KNI Daerah. Mereka menyuarakan berbagai aspirasi yang dibawa dari berbagai daerah. Terutama, saat pandangan umum dari wakil KNI Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. KH. Saleh Suaidi, yang berperan sebagai juru bicara unjuk pendapat, “Hendaknya janganlah urusan agama di negara yang baru merdeka ini diikutkan kepada kementerian pendidikan dan kebudayaan saja, tetapi mestinya didirikan kementerian agama yang khusus dan tersendiri,” usulnya.
Gagasan tersebut, ternyata, mendapatkan dukungan mayoritas, secara aklamasi, dari utusan golongan dan Badan Pekerja (BP) KNIP, semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat tempo dulu. Kementerian ini kemudian disahkan berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor I/SD, tanggal 3 Januari 1946, bertepatan tanggal 24 Muharram 1364 H. Menteri pertamanya adalah Mohammad Rasyidi. Hari lahir ini kemudian dinamai sebagai Hari Amal Bhakti Departemen Agama.
Seiring perjalanan waktu, Depag kini menuai banyak kritikan. Baru-baru ini di aula Sekretariat DPRD Kabupaten Aceh Selatan, tanggal 12 Desember, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Amin Sunaryadi menyatakan, hingga kini Departemen Agama masih menggondol juara lembaga terkorup di Indonesia. Belum lagi, kritik beberapa kalangan, yang menganggap Depag terlalu jauh mencampuri urusan agama, keyakinan, rumah tangga, atau ruang-ruang privat lain warga negara. [AUM/ANTARA/DEPAG]
Syir`ah/edisi 61/Januari 2007