Tuduhan penodaan agama terus menelan korban. Pasal 156a KUHP disinyalir sebagai borgol kebebasan berkeyakinan. Bagaimana dengan rencana revisi KUHP?
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terletak di jalan Gadjah Mada dipenuhi rasa haru dan tetes air mata. Bibir pria berumur 36 tahun yang menjadi pusat perhatian, terlihat tersenyum simpul, tanda bahagia. Rabu, tanggal 6 Desember, hakim mengetok palu tanda vonis bebas untuknya. Seketika, kerumunan orang berbalut kain serba putih meletakkan jidatnya ke lantai, sujud syukur.
Pria itu adalah Abdul Rahman, yang diyakini komunitas Eden sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad saw. Sementara orang-orang yang berpakaian serba putih adalah para pengikutnya. Rahman dituntut lima tahun penjara karena dianggap melanggar pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama.
Rahman terbilang bernasib baik. Ia tak terbukti bersalah, lalu dibebaskan. Berbeda dengan Lia Aminuddin alias Lia Eden, malaikat Jibril yang diyakini komunitas Eden. Tanggal 29 Juni, ia divonis dua tahun penjara. Ia dikenakan pasal yang sama, dituduh telah melakukan penodaan agama. Lia Eden dan Rahman menyebarkan keyakinan baru, agama Salamullah. Sejak tahun 2003, Salamullah memegang kepercayaan, setiap agama adalah benar adanya. Perkumpulan yang diketuai Lia Eden ini, belakangan dikenal sebagai komunitas Eden.
Keyakinan inilah yang menyebabkan keduanya diseret ke meja hijau. Peneliti The Wahid Institute, Rumadi, ketika hadir di Talkshow Islam Indonesia, kerjasama Syir’ah-Metro TV, pertengahan Desember lalu, berpendapat, keyakinan itu tak bisa diadili, yang bisa diadili adalah ekspresi penganut keyakinan. Satu misal, ada orang punya keyakinan tertentu. Karena menghayati keyakinan itu, ia lalu menganjurkan permusuhan, menimbulkan ancaman, kekerasan, dan ketidakamanan. Orang yang punya ekspresi seperti ini yang harus diadili, bukan keyakinannya.
Kasus yang menimpa Lia dan Rahman adalah jenis kriminalisasi keyakinan. Ini bukanlah hal baru. Kasus-kasus serupa juga telah mencoreng sejarah kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E. Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyiratkan, kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Tapi, apa yang terjadi? Ternyata, pasal-pasal itu “diborgol” oleh satu pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal sumber masalah itu adalah pasal 156a yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama, dan dijuluki pasal karet. Identik dengan karet, karena bisa modot dan molor ke mana-mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban atas nama agama.
Tahun 2005, pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut diangap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2. Peristiwa itu mengakibatkan gedung yayasan yang terletak di Desa Kerampilan, Kecamatan Besuk, Probolinggo tersebut diserbu, dirusak massa, dan akhirnya ditutup secara paksa.
Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan, Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.
Tentu masih banyak kasus lain korban pasal penodaan agama. Baru satu pasal saja sudah begini, apalagi jika dijabarkan menjadi beberapa pasal. Bisa jadi, soal kebebasan berkeyakinan di negeri ini kian keruh. Gelagat ini tercermin dari Rancangan KUHP (RKUHP) yang merevisi KUHP lama. Pasal penodaan agama diletakkan pada Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan. Bab ini terdiri dari delapan pasal, yang dibagi dalam dua bagian. Pertama, mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Kedua, mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah.
Ihwal revisi ini, Ketua I Indonesian Conference on Religion and Peace Johannes N. Hariyanto berpendapat, RKUHP ini tidak membawa ke arah yang lebih baik. Justru akan memperpuruk iklim kebebeasan berkeyakinan warga negara. Sebab, “Sasaran RKUHP bukan pada substansi beragama, tapi masih berkutat pada simbol-simbol agama,” ujarnya. []
Syir`ah/edisi 61/Januari 2007