Poligami tak diperintahkan. Ia dibolehkan dengan syarat yang ketat. Praktiknya disesuaikan dengan dampak fositif dan negatifnya.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
“Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, lentera hidup ini”. Penggalan lirik lagu ini tak asing lagi. Abdullah Gymnastiar, biasa disapa Aa Gym, adalah sang empu sekaligus sang pelantun. Melalui resep Menejemen Qalbu (MQ) yang diramunya, nama Aa Gym melambung. Kian hari kian naik daun. Hingga akhirnya, di penghujung tahun ini, Aa Gym memutuskan untuk menikah kali kedua, atau lazim disebut poligami.
Pro-kontra pun hingar-bingar. Wajar saja, sebagai dai kondang, gerak-geriknya menjadi panutan banyak orang. Sementara, poligami adalah satu hal yang problematik di benak masyarakat. Ada yang menerima dengan alasan mencontoh prilaku Nabi saw, ada pula yang menolak dengan dalih merugikan kaum perempuan. Bagaimana duduk perkara masalah ini?
Poligami, sejatinya, telah diatur dalam fikih. “Ini tergolong sunnah fi’liyah, mencontoh perilaku Rasul,” kata Lutfiyah Sungkar, penceramah agama. Ia memperkokoh argumentasi ini dengan mengutip ayat 31 surat Ali Imran. “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu....” Poligami yang dilakukan Nabi, tak asal menikah. Wanita yang dipilih adalah janda-janda yang terlantar karena suaminya gugur di medan perang. “Jadi yang sunah Rasul itu yang seperti ini, bukan poligami dengan perempuan yang masih imut-imut,” tambahnya.
Menurut aktifis Kaukus Perempuan Badriyah Fayumi, masalah poligami tak sekadar halal-haram, sunnah apa makruh. Jangankan poligami, monogami (nikah dengan satu wanita) saja hukumnya dapat berubah. Monogami bisa menjadi haram kalau membawa madlarat bagi salah satu pihak. “Apalagi poligami sebenarnya bukan perintah, hanya sedikit saja dibukakan pintu, sebab ada persoalan sosial,” kata perempuan yang juga berprofesi sebagai pencaramah ini. Bagi Badriyah, konteks turunnya ayat 3 Surat An-Nisa, yang biasa dijadikan dasar bolehnya poligami, adalah dalam rangka melindungi perempuan dan anak yatim. Jika tidak untuk tujuan itu, poligami menjadi bermasalah.
Lutfiyah tetap pada pendirian, hukum poligami itu jelas sunnah. Karena disitir dalam al-Quran dan dicontohkan Nabi. Syaratnya harus adil dan wanita yang dinikahi itu dalam kondisi terlantar dan butuh pertolongan. Pada sisi perlindungan terhadap perempuan, Badriyah sependapat. Spirit poligami hakikatnya adalah perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Jadi, jangan jadikan poligami sebagai justifikasi untuk melegalkan nafsu syahwat yang tak terkendali. Kalau mengedepankan syahwat, maka poligami telah melenceng dari ajaran syariat. “Di samping memenej qalbu, perlu juga memenej syahwat,” tandas wanita yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat pusat itu. []
Syir`ah/edisi 61/Januari 2007.