Tuesday, January 30, 2007

Delik Agama Harus Dihapus

Matahari condong ke Barat, tanggal 21 Desember, berbagai kelompok agama dan keyakinan berkumpul di rumah No. 34 jalan Cempaka Putih Barat XXI Jakarta Pusat. Ada komunitas Eden, Ahmadiyah, penghayat kepercayaan, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, dan lain-lain. Mereka duduk bersama melakukan refleksi keberagamaan sekaligus syukuran vonis bebas Abdul Rahman, Nabi Muhammad ala komunitas Eden. Rahman adalah salah satu korban, yang selamat, akibat tuduhan penodaan agama. Di sela-sela itu, Abdullah Ubaid Matraji, wartawan Syir’ah, melakukan wawancara dengan Johannes N. Hariyanto, Ketua I Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), seputar kasus-kasus penodaan agama.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Ini sangat kuat terkait dengan perselingkuhan antara agama dan kekuasaan. Jika kekuasaan kawin dengan ekonomi maka jadilah korupsi, dan jika kekuasaan kawin dengan agama, yang terjadi adalah abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan, atas nama agama.

Kaitannya dengan pasal 156a?

Jelas terkait. Itu legalitas hukum yang berlaku. Saya menyebutnya sebagai pasal penghinaan kepada Tuhan. Apa layak orang mengklaim atas nama Tuhan atau agama? Agama itu kan produk tafsir yang multi interpretasi, bukan produk mesin yang baku. Justru yang baku itu adalah hal-hal mengenai prinsip beragama, seperti keadilan, kemanusiaan, saling menghormati, tidak boleh menyakiti, dan lain-lian. Karena itu, delik agama dalam KUHP itu tidak penting.

Berarti, harus di hapus?

Ya.

Mengapa?

Sebab, delik agama bisa dimasukkan pada pasal-pasal lain. Selain itu, hukum itu seharusnya mengedepankan prinsip kemanusiaan dan menjamin hak-hak sipil. Nah, pasal-pasal penodaan agama itu tidak masuk pada wilayah itu, tapi masih berkutat pada simbol-simbol.

Contoh kasusnya bagaimana?

Misal, kalau saya merusak tempat ibadah. Yang dipersoalkan itu seharusnya bukan karena yang rusak itu adalah tempat ibadah. Tapi, bangunan itu adalah milik orang. Ini tidak boleh. Tak peduli bangunan itu untuk apa, sebagai tempat ibadah atau rumah biasa. Karena itu, tidak perlu memasukkan delik agama dalam KUHP. Saya kasih contoh lagi. Setiap orang mendirikan bangunan itu perlu izin. Dan setiap bangunan yang digunakan fasilitas umum, juga harus mendapat izin guna untuk pemakaian. Itu sudah ada aturannya. Jadi, tidak perlu diataur lagi secara khusus mengenai pendirian tempat ibadah.

Adakah kejanggalan lain?

Kalau diteliti, keyakinan agama yang satu dengan yang lain itu tentu ada perbedaan. Yahudi datang sebelum kristen. Islam datang setelah Kristen. Ada banyak hal yang tidak disepakati satu sama lain. Kristen mengkritik Yahudi, Islam mengkritik Kristen, dan seterusnya. Kalau ini dipermasalahkan, ini adalah kebodohan yang tak layak. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007 

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes