Friday, October 06, 2006

Dakwah Bukan dengan Gaya Keras

Setelah lama berdakwah dengan gaya keras dan ekstrim, dai muda ini sadar bahwa dakwah bukanlah berbentuk hujatan tapi mengajak pada Islam yang damai.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Dai muda ini tinggal di Klender, Jakarta Timur. Sosoknya yang kalem dengan kacamata membuatnya terlihat adem. Sepanjang karirnya berdakwah ia masih teringat kisah yang membuatnya berubah hingga sekarang.

Waktu itu hari Sabtu malam Minggu, masjid Nahdlatul Muslimin Cakung Jakarta Timur mulai ramai dikunjungi masyarakat sekitar. Tidak jauh dari masjid itu, ada Gereja. Di tempat itu, digelar acara Tabligh Akbar dalam rangka peringatan Maulid Nabi. Nurul bertindak sebagai penceramah agama. Kira-kira pukul 11.00 Nurul mulai berkhotbah di atas mimbar. Tema yang diangkat adalah soal reaksi umat terhadap kristenisasi.

“..Kristen adalah musuh nyata umat Islam. Mereka telah memurtadkan saudara-saudara kita yang miskin. Neraka adalah tempat yang layak baginya. Karena itu, gereja harus dibakar karena menghancurkan umat Islam..” Ungkapan itu keluar dari mulut Nurul, yang masih diingatnya, seperti diceritakan kepada Syir’ah di Wisma Antara Jakarta Pusat. “Waktu itu, saya memprovokasi masa untuk menolak kehadiran gereja di sekitar masjid,” aku alumnus IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Tepat pukul 01.00 dini hari, dai kelahiran Jakarta tanggal 17 Mei 1975 itu turun dari mimbar. Hari minggu sore, ia ditelpon seseorang. “Pak ustad, sebagian teman Bapak dan pengurus masjid berada di kantor Polisi karena telah merusak greja,” kata penelpon itu dengan suara tergopoh-gopoh. Sungguh peristiwa yang tak terduga, “kok bisa sampai brutal begini?” pikir Nurul saat itu.

Waktu itu Nurul masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Al-Falah Klender Jakarta Timur. Ia sosok dai yang masih muda dan gagah. Mukanya bersih, tak satu helai rambut pun tumbuh di atas dan di bawah bibirnya. Badannya tegap, kurang lebih 170 cm. Rambutnya selalu rapi tak kelihatan kering. Ada kaca mata tipis di depan matanya.

Saat ditemui Syir’ah ia memakai lengan panjang bermotif batik kotak-kotak berwarna hitam dan kuning emas. Ia bercerita panjang lebar kejadian yang pernah menimpa dirinya itu.

Peristiwa ini terjadi tahun 1991. Paska tragedi itu ayah dari empat orang anak ini sering berfikir reflektif, “Apakah benar apa yang selama ini saya dakwahkan?” gundahnya. Akhir tahun 1993, ia mulai berani mengambil kesimpulan, “Saya harus merubah orientasi dakwah saya,” tandasnya.

Kok bisa berubah begitu? “Perubahan orientasi ini tidak asal berubah, tapi hasil dari sebuah pencarian,” akunya. Ia mengkaji kembali buku-buku sejarah Islam, tafsir alquran, sebab turunnya ayat Alquran (asbab al-nuzul), dan sebab turunnya hadis (asbab al-wurud). Setelah itu ia baru sadar, setiap kali ayat turun, itu pasti ada konteksnya. “Jadi, ini yang menarik saya,” katanya. Ia dulu memahami, Alquran turun tak ubahnya tablet yang harus ditelan bulat-bulat, dan harus diikuti oleh semua umat manusia, bagaimanapun kondisinya.

Latar belakang pendidikan Nurul Huda dijuluki temannya dengan istilah “track surga”. Bagaimana tidak, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, ia tempuh di madrasah, pondok pesantren, dan IAIN. Pesantren yang pernah disinggahi antara lain: Al-Falah Ploso Kediri Jawa Timur, Mambaul Huda Magelang Jawa Tengah, Darul Hadis Malang, dan Al-Wathaniyah Bekasi Jawa Barat.

Selain mengisi majlis taklim di beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya—masjid Baitus Salam Cakung, masjid Nurul Yakin Buaran, Musalla Alhidayah Cakung, masjid Baitul Mukminin Depok—sejak Tahun 2000, ia juga menjadi penghulu di Kantor Urusan Agama Pancoran Jakarta Selatan.

Paska perubahan orientasi itu, bukan berarti dakwah Nurul menjadi mulus. Peringatan Maulid Nabi dua tahun silam, Nurul diundang sebagai penceramah di mushalla Al-Taqwa di Klender Jakarta Timur. Waktu itu, ia mendapat giliran terakhir. Ustad pengagum Nur Cholis Madjid (alm.), budayawan Mh. Ainun Najib, dan Jalaluddin Rakhmat ini mengusung tema Islam Rahmatan lil Alamin. Sepuluh menit pertama suasana hadirin masih tenang.

Nurul mengutip surat Al-Imran ayat 159, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (orang Islam) berlaku lemah-lembut terhadap mereka (orang kafir). Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka..”

Tatakala mengupas ayat itu, tiba-tiba ada segerombolan orang masuk musholla dan meminta Sang Penceramah turun. “Dia sudah anti-islam, dia sudah anti perjuangan,” tuduh mereka kepada Nurul. Untung saja mereka segera diamankan panitia. “Jangan rusak suasana maulid ini,” himbaunya. Keesokan harinya, mereka datang ramai-ramai bersama lasykarnya ke rumah Nurul yang juga di daerah Klender.

Hanya empat orang yang masuk rumah, sementara yang lain menunggu di luar. Tapi sayang, dialog belum usai mereka pergi dengan ungkapan, “Perintah pimpinan kami tidak ada dialog dengan orang seperti Anda,” ujar salah satu dari empat orang itu. Menurut pengakuan Nurul Huda, mereka adalah kelompok Front Pembela Islam. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes