Friday, October 06, 2006

Potret dari Mimbar ke Mimbar

Dakwah yang seharunya berorientasi pada edukasi dan pencerahan, kini berubah menjadi sebuah komoditi, bahkan ajang menebar kebencian.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Cendekiawan muslim Indonesia Jalaluddin Rakhmat, ketika ziarah ke tanah suci Makkah, beberapa tahun lalu, bertemu seorang kiai. Kang Jalal, begitu biasa disapa, berniat memberi hadiah kitab berjudul Wasiyyah al-Nabiyy, Wasiat Nabi, kepada kiai yang juga berasal dari Indonesia itu.

“Ini pak.. kitab dapat digunakan sebagai bahan dakwah,” kata Kang Jalal. Pemberian buku tanpa diminta itu ternyata ditolak oleh Sang Kiai.

“Wah..! dakwah sekarang tidak perlu yang seperti ini, yang diperlukan adalah bagaimana membuat dagelan, kalau bisa ada nyanyian dan tarian-tariannya sedikit,” jawab kiai itu berargumen.

Kisah itu diceritakan Kang Jalal dalam tayangan program talkshow Islam Indonesia yang bertajuk Metode Dakwah Kontemporer di Metro TV, hari Kamis tanggal 21 September.

Apa yang dikisahkan Kang Jalal hanyalah sebuah ilustrasi kecenderungan sebagian para da’i sekarang yang lebih banyak menampilkan sisi lucunya. Hanya ingin membuat mad’u atau audiens senang tertawa terpingkal-pingkal, namun esensi dakwahnya kabur entah kemana.

Pembicara lain yang tampil sore itu, Khoirul Huda Basyir, itu mengamini. Menurut sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) ini, pendekatan dakwah di Indonesia memang banyak menggunakan cara-cara ala srimulat, melawak. Karena itu, mimbar dakwah masih diwarnai khitâbah, sekedar orasi atau pidato, belum sampai pada peran sebagai media dakwah, menyeru umat pada kebaikan sekaligus mencegah kemunkaran.

Bagi Kang Jalal, fenomena dakwah model ini tak ubahnya entertainment, hiburan, yang setiap hari menyapa di televisi. Tak pelak lagi, gelak tawa, sikap lucu, dan musik, adalah prasyarat wajib sebuah acara hiburan. “Ini adalah bagian dari industrialisasi dakwah,” tegas ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia ini.

Kalau bicara realistis, tambah Kang Jalal, manusia sekarang hidup di era globalisasi, berbarengan dengan itu, kapitalisme international menguasai media yang digunakan sebagai alat ideologi. Jadi, dakwah sekarang telah diwarnai kecenderungan kapitalistik, bagaimana meraup untung sebesar-besarnya dengan berdakwah. Karena itu, dakwah harus patuh pada hukum-hukum marketing atau pemasaran: dakwah akan didengar jika mengikuti selera pasar. Untuk menjaring pasar, seorang dai harus pintar packizing, mengemas pesan-pesan agama agar laku di pasaran.

Pengemasan ini, menurut Huda yang alumnus Universitas al-Azhar Mesir ini, adalah sebuah keniscayaan. Dakwah bukan berarti tidak boleh dikemas atau dimodifikasi. Kemasan itu harus, agar dapat menarik audiens. Tapi yang perlu diperhatikan adalah porsi dakwah sebagai tuntunan itu harus lebih dominan daripada sekadar sebagai tontonan.

Ini adalah satu soal. Pada sudut lain, kata Huda, pola dakwah juga masih diwarnai gaya penyampaian yang provokatif, membakar semangat massa. Misalnya dengan mengkhotbahkan, si fulan itu kafir, sesat, murtad, dan masuk neraka. Atau, kelompok anu itu tidak Islami, keluar dari jalur Islam, makanya harus diserang, dan seterusnya.

Belakangan kasus seperti ini terjadi pada seorang dai yang dalam ceramahnya mencaci-maki KH Abdurrahman Wahid di atas mimbar, saat menjadi khotib shalat Jumat di sebuah masjid di Jakarta, akhir Agustus lalu. Ia pun menuai protes dari sejumlah jamaah. Kalau sudah begini, “Dakwah yang seharusnya berpesan edukatif berbalik arah menjadi ajang justifikasi, bahkan fitnah,” terang Huda.

Sebagai akademisi yang consern di bidang komunikasi massa, Kang Jalal melihat dari sudut pandang ilmunya itu. Untuk menarik pendengar, ceramah model ini memang cespleng. Sebab, menurutnya, yang menarik perhatian publik itu ada dua, bloods (darah, adegan kekerasan) dan bras (kutang, sesuatu yang berbau porno). “Untuk kategori kedua, saya tidak akan bahas di sini,” kelakarnya yang disambut gelak tawa kru Metro TV sore itu.

Yang berdarah-darah dan provokatif itulah yang menyenangkan orang. Ia lalu memberikan tamsil. “Coba tawarkan ke televisi program pendidikan yang serius dan mencerahkan, pasti akan ditolak, karena tidak menarik, tidak ada unsur blood tadi,” papar Kang Jalal.

Agar penceramah tidak terjebak dalam gaya dakwah yang keras dan provokatif, Huda menjelaskan strategi LDNU, yaitu dengan sertifikasi dakwah. Setiap dai yang hendak terjun ke lapangan hendaknya memiliki sertfikasi standar yang diberikan LDNU. “Ini tidak dimaksudkan untuk memformalkan seorang dai. Tapi, memberikan standar kompetensi,” katanya. Sertifikasi ini tidak diberikan begitu saja. Agar standar kompetensi tercapai, seorang dai harus melewati fase-fase pendidikan dan pelatihan. Selain materi keislaman, seorang dai juga harus dibekali etika gaul dalam bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan begitu diharapkan dai yang digodok di LDNU memiliki kemampuan yang memadai. Secara garis besar, LDNU ingin mengembangkan dakwah yang sejuk dan humanis. Metode ini seperti tercermin dalam surat Thaha ayat 43 sampai 44. Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Raja Firaun, yang dikenal otoriter dan keras kepala.

Apa perintah Allah? “Faqûlâ lahû qaulan layyinan..” sampaikan dakwah itu dengan kata-kata yang lembut, supaya dia ingat atau takut. Meski menghadapai Fir’aun yang kejam dan suka menindas Musa dan Harun tetap diperintahkan untuk lemah lembut dan santun. “Saya kira, di sinilah dakwah harus ditempatkan,” tegas Huda. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes