Friday, October 06, 2006

Tidak Diundang Sudah Konsekwensi

Gaya dakwahnya yang tegas dan keras menjadi pilihannya dalam berceramah, meski harus rela tidak lagi diundang oleh jamaah

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Sosok pria ini berkulit sawo matang. Berjenggot lebat tapi tidak panjang. Tampak dari dekat ada uban tumbuh sedikit nyempil di rambut, kumis, dan jenggotnya. Kurang lebih 160 cm tinggi pria kelahiran 14 September 1948 itu.

Bakda maghrib, pertengahan September lalu, Syir’ah memencet nomor telpon pria yang berdomisili di Bandung Jawa Barat tersebut. Usai kenalan singkat dan sedikit basa-basi, Syir’ah memulai pembicaraan. “Bagaimana pak kiai merespon realitas keragaman yang ada di Inonesia ini?” tanya Syir’ah. Pelan tapi mantap, suara kiai itu terdengar nyaring di telpon.

Ia membuat ibarat antik. “Kepala ente kalau pakai peci pasnya nomer enam. Sementara peci yang ada itu nomor lima. Kalau begitu, agar peci bisa masuk, kepala ente yang dikecilkan apa pecinya yang digedein? Tentu pecinya yang harus dirubah dan disesuaikan, jangan kepalanya yang dikempesin.”

Kepala yang dimaksud adalah Alquran dan hadis, sedang peci adalah tradisi yang berkembang di masyarakat. Jadi, kalau ada pertentangan antara sumber pokok hukum Islam (al-Quran dan hadis) dengan tradisi masyarakat, maka yang harus menyesuaikan adalah tradisinya. Jangan al-Quran yang menyesuaikan dengan tradisi. “Itu logika yang terbalik,” terangnya kepada Syir’ah.

Hassanoedin Bandung, nama lengkap pria itu. Kiai yang pemikirannya menjadi rujukan masjid Cut Mutia Menteng Jakarta Pusat ini sengaja menambahkan kata Bandung di belakang namanya. Mengapa? “Karena saya lahir di Bandung, jadi saya bumbuhi Bandung di belakang Hassanoedin,” imbuhnya.

Pada kesempatan lain, beberapa hari usai wawancara via telpon, Syir’ah menemui Hassanoedin di Cut Mutia berniat mendengarkan ceramah sekaligus mengambil gambarnya.

Tidak ada surban melingkar di leher pengasuh pondok pesantren Al-Wahhab Bandung ini, hanya ada kopyah hitam melekat di kepalanya. Bagian bawah tubuh dibalut dengan celana. Dengan penampilan sederhana itu, Hassanoedin menemui Syir’ah untuk diambil gambarnya.

Sayang, kala itu, Hassanoedin urung menyampaikan ceramah, karena ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Syir’ah lalu mengarahkan pandangan di sudut masjid. Tampak sosok pria berkulit sawo matang berkopyah hitam menundukkan kepalanya.

“Assalamu’alakum Bapak..” sapa Syir’ah sembari mengajak berjabat tangan.
“Wa’alaikumussalam,” jawabnya singkat.
Perkenalan dan dialog pun terjadi. Ahmad, nama pria itu. Ia mengaku sudah tiga kali mendengarkan ceramah Hassanoedin. Ia tidak tinggal di daerah sekitar masjid, tapi bekerja di daerah sekitar situ.
“Saya di sini biasanya hanya shalat saja kok, kalau ada pengajian ya sekalian didengarkan,” katanya saat di tanya Syir’ah, apakah Bapak sengaja menghadiri pengajian kiai Hassanoedin?

Menurut pengakuannya, ia terakhir dengar ceramah Hassanoedin tentang dizikir ala Arifin Ilham dan Jaringan Islam Liberal. Apa kata kiai alumnus Institut Islam Siliwangi Bandung itu? “Keduanya adalah sesat dan menyesatkan, maka harus dibrantas, karena ini adalah bagian dari nahi munkar,” kata Hassanoedin seperti diceritakan Ahmad.

Saat dikonfirmasi Syir’ah via telpon, Hassanoedin mengiyakan. Contoh konkrit “kepala yang dikempesin” tadi adalah kelakuan Jaringan Islam Liberal (JIL). Menurutnya, JIL telah melecehkan alquran. Sebab mereka telah memaksa alquran harus menyesuaikan dengan permasalahan zaman, bukan sebaliknya. Begitu pula dengan Arifin Ilham. “Sama-sama sesat dan menyesatkan,” tegasnya.

Baginya, ibadah dzikir ala Arifin Ilham dengan mencucurkan air mata dan mengeraskan suara adalah telah keluar dari tuntunan dzikir dalam Alquran. Seperti tersurat dalam surat al-A’raf ayat 55, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut..”, dan ayat 205, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara...”. “Pemahaman Arifin Ilham harus segera diluruskan!” imbuhnya.

Sebelum dikenal sebagai dai, Hassanoedin mengasah ilmu keislamannya di pesantren Persatuan Islam (Persis) Bandung dan kuliah di Institut Islam Siliwangi Bandung. Untuk memperdalam bahasa Arab, ia tempuh di Ummul Qura Makkah, selama tiga tahun. Selain itu, pria yang sudah punya tiga cucu ini gemar melahap karya-karya pemikiran tiga serangkai tokoh pemurnian Islam di indonesia: Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah tahun 1912, Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad tahun 1916, dan Ahmad Hasan pendiri Persis tahun 1921.

Apa yang dilakoninya sekarang adalah bagian dari nahi munkar. Kebanyakan ulama hanya amar makruf, jarang yang nahi munkar. Apa resiko dakwah nahi munkar? “Resiko tidak diundang lagi karena dianggap ekstrim,” katanya, “Tapi, itu sudah konsekuensi yang harus ditanggung.”

Karena pendiriannya itu, ia tak luput dari protes jamaah. Saat lagi ramai-ramainya media mengekspos pernyataan Abdurrahman Wahid, “al-Quran kitab suci yang paling porno.” Hassanoedin mengisi pengajian rutin Kamis malam Jum’at bakda Maghrib di masjid Cut Mutia. Temanya pun seputar itu.

“Gus Dur telah keluar dari koridor al-Quran! Gus Dur hanya menafsirkan Alquran dengan akalnya sendiri! Gus Dur tidak menggunakan dalil proporsional!” Kata-kata Hassanoedin ini ternyata menyinggung salah satu pendengar. Sekejap, orang itu langsung berdiri dan bersuara lantang memprotes keras pernyataan Hassanoedin yang dianggapnya kelewat batas menghasud Gus Dur. Tak lama, akhirnya orang tersebut diamankan oleh jamaah lain. Ia pergi dan pengajian terus berlangsung.[]

Syir'ah/58/Oktober/2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes