Friday, October 06, 2006

Menapak Jejak Islam Indonesia

Islam masuk ke Indonesia dari jalur yang beragam. Karenanya, corak Islam Indonesia pun menjadi tidak tunggal.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Menjelang diskusi usai, sosok berkulit putih dan berkaca mata mengangkat tangan kanan. Rupanya dia ingin bertanya. “Silahkan Mas yang berada di belakang,” kata moderator.

Pria pemilik nama Wandy Nicodemus Tuturong itu pun berdiri, menyambar mik di atas meja, lalu mulai angkat bicara. “Hingga sessi kedua ini, saya belum menemukan jawaban, atau sedikitnya rumusan, apa itu Islam Indonesia yang menjadi tema sentral diskusi ini,” kata pria tambun berusia 34 tahun itu, “Menurut saya, Islam Indonesia itu Islam yang sesuai dengan Pancasila, betulkah demikian?”

Ups.. ternyata dia tidak hanya bertanya, tapi juga mengkritik arah pembicaraan narasumber yang tidak karuan juntrungnya. Itulah cuplikan diskusi bertajuk Reinventing Islam in Indonesia, Menemu-Ciptakan Islam Indonesia, digelar di wisma Antara, Sepetember silam. Diskusi yang digelar dalam rangka milad Syir’ah yang kelima ini, bermaksud menemukan definisi, atau paling tidak, kategori untuk menjelaskan Islam Indonesia.

Deputi Rektor Universitas Paramadia Yudi Latif, mengkritik tema yang diusung panitia. “Tema yang berbahasa Indonesia itu sudah benar, tapi tema Inggrisnya yang menurut saya kurang tepat,” tandas narasumber yang duduk ditengah berdampingan dengan KH. Ma’ruf Amin, Muslim Abdurrahman, dan Zuhairi Misrawi itu. Menurutnya, yang lebih pas adalah Reinventing Indonesianis Islam. Jadi, harus dibedakan: antara istilah “Islam di Indonesia” dan “Islam Indonesia”.

“Islam di Indonesia” berarti sesuatu yang datang dari luar, tanpa ada proses akulturasi dengan budaya lokal. Jadi bentuk Islam itu satu dan seragam, di manapun berada. Berbeda halnya dengan Islam Indonesia. “Islam Indonesia” berarti Islam khas Indonesia, Islam yang sudah kawin dengan tradisi masyarakat lokal. “Jadi Islam itu bentuknya beragam: ada Islam Indonesia, Islam Mesir, Islam Iran, Islam Amerika, dan seterusnya,” katanya. Apa iya begitu?

Bisa iya bisa tidak, sebab pencarian itu belum berujung. Jangankan menemukan karakteristik paripurna Islam Indonesia, dari sisi sejarah masuknya saja, masih debatable. Kalau diteliti dalam buku-buku sejarah masuknya Islam di Indonesia, pasti ditemukan banyak versi. Setidaknya, yang pernah mengemuka ada empat teori. (1) Teori Gujarat, seperti yang meyakini, asal muasal Islam masuk di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.(2) Teori Persia, yang menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia.

(3) Teori Arabia, yang mendasarkan teorinya pada peranan dominasi pedagang Arab dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Dan yang terakhir (4) teori Cina, yang berdasar atas bukti kesamaan mahdzab (Sunni-Syi’ah) kaum muslim Cina dengan bangsa-bangsa muslim sepanjang Jalan Sutera, termasuk Indonesia.

Manakah teori yang paling benar? “Teori itu benar semua, sebab Islam masuk tidak dari jalur tunggal, tapi dari berbagai arah,” cetus Jadul Maula. Menurut direktur Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) ini, dampak yang terpenting dari jalur yang tidak tunggal itu adalah multikultural, atau warna-warni wajah Islam di Indonesia.

Berarti, sejak dulu, keberadaan Islam Indonesia itu multikultural (majemuk), tidak mengacu pada satu tradisi tertentu, Arab atau Gujarat sentris misalnya. Apalagi kalau kita baca naskah kuno semisal Hikayat Semaun, Amir Hamzah, atau serat menak. Serat dan hikayat itu membuktikan, latar awal Islam Indonesia itu tidak langsung mengacu ke Arab, tapi campur baur dengan budaya Persia, Arab, Cina, dan yang lainnya.

Seiring perkembangan zaman, ada tiga gambaran Islam di Indonesia. Pertama, model sufistik. Ini berkembang sejak abad ke 13-15 dan arsiteknya adalah Wali Songo. Islam model ini berupaya untuk mengakomodir tradisi lokal. Waktu itu, Wali Songo sadar bahwa sebelum Islam datang, Indonesia dikuasai kerajaan Hindu dan Budha. Karenanya, mereka tahu diri, akhirnya tradisi dua kerajaan tersebut tidak digerus, tapi dikawinkan dengan ajaran Islam. Model ini banyak melahirkan organisasi-organisasi sufi yang biasa disebut tarekat: Syattariyyah, Naqsyabandiyah, Rifaiyyah, Qadiriyah dan lain-lain.

Kedua, model puritan. Model ini cenderung anti-tradisi lokal. Pemahaman Islam yang disebarkan mengacu pada alquran dan hadis secara murni, serta menolak bid’ah. Model yang berkembang pada abad ke-19 ini menamakan gerakannya dengan istilah pembaruan. Di sini, Muhammadiyah disebut-sebut sebagai motor penggerak. Di abad ini pula lahir Nahdlatul Ulama, sebagai anti-tesa Muhammadiyah.

Terakhir, model Islam radikal. Berkembang sejak 1980-an sampai sekarang. Tumbuhnya gerakan ini kebanyakan didasarkan kekecewaan politik atau diskriminasi umat Islam oleh pemerintah. Gagasan utamanya adalah menolak Pancasila dan penegakan syariat Islam. Kelompok yang ada di barisan ini antara lain Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam dan Jama’ah Tarbiyah.

Begitulah ragam Islam di Indonesia. Jelas sudah, hingga kini, warna dasar Islam Indonesia masih tetap seperti semula, majemuk dan tidak tunggal. Jika ada kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki keseragaman, maka ia sejatinya tercerabut dari akar dan jati diri Indonesia. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes